Ketika Keinginan Menjadi Benar Berubah Menjadi Bencana

Gambar karya Pawel Kuczynski

Oleh A. Rahadian

Prolog: Liturgi Baru Seorang Lelaki yang Ingin Benar

Pada pukul sebelas malam, Dion—seorang aktivis yang rajin menulis utas tentang patriarki, keadilan gender, dan trauma kolektif—menyetel laptopnya di kafe yang hampir tutup. Di depannya, cangkir kopi dingin separuh habis; di kepalanya, adrenalin bekerja seperti khotbah yang tak sabar dikhotbahkan. Ia baru saja menemukan sebuah komentar “problematis” dari seorang akademisi tua di media sosial—kalimat ambigu tentang “perempuan dan kebebasan tubuhnya.”

Bagi Dion, ini bukan sekadar komentar. Ini adalah tanda dosa baru yang tak boleh dibiarkan lewat begitu saja. Ia mulai mengetik utas panjang dengan ritme yang nyaris liturgis: kalimat pertama moral, kalimat kedua politis, kalimat ketiga penuh emosi—lalu tautan, tagar, dan tangkapan layar. Ia tahu, dalam waktu kurang dari satu jam, utasnya akan beredar, dikutip, ditambahi komentar, dan mungkin—jika algoritma berkenan—mengubah opini publik.

Ketika notifikasi pertama muncul (“thank you for speaking up!”), Dion tersenyum kecil. Ia merasa seperti imam digital yang baru saja memimpin misa keadilan. Tak ada dupa, tak ada nyanyian pujian, tapi ada likes dan retweets—tanda-tanda iman baru. Ia meneguk kopinya yang dingin dan menatap bayangan dirinya di layar. Dalam sorot cahaya biru, wajahnya tampak seperti seseorang yang menemukan keselamatan bukan di surga, melainkan di kolom komentar.

Namun jika diperhatikan lebih dekat, moralitas Dion bukan lahir dari kebencian, melainkan dari kecemasan modern untuk selalu berada di sisi yang benar. Ia tak mau netral, karena di dunia digital, netralitas terasa seperti dosa yang paling malas. Setiap utasnya adalah upaya meraih kemurnian moral di tengah kebisingan dunia—semacam yoga batin dalam bentuk kemarahan terstruktur.

Ia berangkat dari niat baik—dan di situlah ironi terbesar zaman ini bersembunyi. Sebab, dalam semangat menjadi manusia paling sadar, seseorang bisa berubah menjadi cermin yang memantulkan kesalahan semua orang, kecuali dirinya sendiri. Dion tidak sedang mencari kebenaran; ia sedang mengelola citra moral, sebagaimana orang lain mengelola portofolio investasi. Ia menukar kontemplasi dengan validasi, dan menjadikan kemarahan sebagai mata uang spiritual.

Di ujung malam, utasnya viral. Ia menutup laptop dengan rasa lega aneh—campuran lelah, bangga, dan sedikit takut. Di layar yang baru saja padam itu, moralitas modern sedang menatap balik kepadanya: tajam, bercahaya, dan lapar akan kesalahan baru.

Moralitas yang Tampil: Dari Keyakinan ke Performa

Yang menarik dari Dion bukanlah utasnya, melainkan iman yang menggerakkannya. Ia percaya bahwa kebaikan bisa diukur dari seberapa lantang seseorang menegur dunia. Ia tak berdoa pada Tuhan, tapi pada algoritma; ia tak berlutut di altar gereja, melainkan di kolom komentar. Moralitas baginya bukan lagi soal keheningan batin, melainkan performa publik— sebuah seni menampilkan kesadaran.

Riset komunikasi digital oleh Kevin Munger dan Nicholas Phillips (2020) menunjukkan bahwa aktivisme online sering kali didorong oleh “reputational incentives”dorongan untuk tampak bermoral di depan komunitas ideologis.¹ Fenomena ini disebut virtue signaling: deklarasi nilai moral sebagai penanda kesalehan simbolik, bukan komitmen etis yang mendalam.

Namun, moralitas performatif bukanlah ciptaan baru. Mary Douglas menulis sejak 1966 bahwa setiap masyarakat membangun kategori “najis” untuk menandai batas moralnya.² Dunia sekuler tidak meniadakan kategori itu; ia hanya mengganti objeknya. Yang dulu najis adalah dosa terhadap Tuhan, kini najis adalah pelanggaran terhadap consent atau sensitivitas sosial

Dosa Baru era Sosial Media  : Cancel Culture sebagai Liturgi Sekuler

Charles Taylor menyebut kondisi ini the immanent frame: masyarakat sekuler menggantikan iman metafisik dengan moralitas humanistik.³ Yang suci kini bukan lagi Tuhan, tetapi tubuh dan trauma.

Data Pew Research (2022) menunjukkan bahwa 73 persen responden generasi muda di Barat menilai hubungan seksual pranikah “secara moral dapat diterima,”⁴ namun 87 persen dari kelompok yang sama menilai pelanggaran consent sebagai dosa sosial yang tak dapat dimaafkan. Ini adalah transposisi moral: dari moralitas kesucian menuju moralitas anticedera.

Durkheim sudah lebih awal menulis bahwa masyarakat membutuhkan ritual untuk meneguhkan diri.⁵ Dulu ritual itu misa; kini ritual itu hashtag justice—#MeToo, #Boycott, #Cancel. Media sosial menjadi katedral baru tempat umat menegaskan batas sakralnya.

Dari logika tersebut,kita tidak perlu terkejut menyaksikan Cancel culture lahir  sebagai mekanisme moral spontan tanpa imam dan tanpa liturgi pengampunan. Stanley Cohen menyebut fenomena seperti ini moral panic: kepanikan sosial terhadap penyimpangan yang dianggap ancaman eksistensial.⁶ Joseph Gusfield menamainya moral entrepreneurship: proses ketika sekelompok orang menentukan makna baru tentang dosa dan menegakkan sanksinya.⁷

Riset Universitas Indonesia (Syam & Hidayat, 2021) menemukan bahwa 68 persen responden muda memandang “mengungkap kesalahan publik seseorang secara daring” sebagai tindakan moral.⁸ Dalam konteks ini, cancel culture bukan sekadar pengucilan, melainkan bentuk pengawasan sosial digital yang dilegitimasi sebagai solidaritas.  Lebih jauh penelitian William J. Brady dkk. di PNAS (2021) menunjukkan bahwa unggahan dengan bahasa moral-emosional 20 persen lebih mungkin viral dibandingkan konten netral.⁹ Algoritma memberi upah rohani: semakin marah seseorang demi kebenaran, semakin suci ia terlihat. Kemarahan pun berubah menjadi ritual kolektif baru—cepat, efisien, dan tak mengenal ampun.

Syarif Maulana dan Vonis Digital

Kita tentu pernah mendengar kasus yang dialami seorang Dosen  filsafat di Bandung 1 tahun silam. Kasus Syarif Maulana pada 2024 lalu, memperlihatkan anatomi lengkap mekanisme ini.

Setelah tuduhan kekerasan seksual viral di platform X, Universitas Katolik Parahyangan menonaktifkan status akademiknya.¹⁰ Komunitas filsafat yang dipimpinnya, Kelas Isolasi, segera memutus hubungan.¹¹ Dalam hitungan hari, karyanya dihapus dari ruang digital.¹²

Dalam pernyataannya, Syarif jelas mengakui telah terjadi  “interaksi yang jauh dari ideal dan standar moralitas,” namun Syarif tetap mempertanyakan kalau dirinya dikategorikan sebagai pelaku kekerasan seksual.¹³ Tentu apologetika Syarif yang gigih berasal dari keyakinannya bahwa dia tidak pernah melakukan apapun yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual menurut aturan kampus dan aturan hukum positif, lebih jauh lagi tidak juga ada bukti yang menunjukan kesasihan tuduhan tersebut, selain cuitan seorang influencer yang kemudian diimani secara rancak oleh jutaan jiwa-jiwa hampa yang perlu figur mesias.

Bagi public netizen pembelaan diri Syarif semata-mata hanya dianggap pembenaran. Syarif sudah divonis bersalah melalui pengadilan digital. Vonisnya,Syarif bersalah dan dia dikategorikan  bukan lagi individu yang perlu diselidiki, melainkan simbol kejahatan yang harus disingkirkan.

Maka dalam hitungan minggu, Syarif yang sebelumnya adalah pengajar dan tokoh publik yang direspek banyak komunitas filsafat dan seni, kemudian dianathema menjadi representasi percabulan yang menjijikan. Satu persatu kolega mendisosiaskan diri lewat berbagai pengumuman public di sosial media. Pertemanan diceraikan sepihak oleh orang-orang yang mendaku sebagai kawan dan nama baik diinjak dalam kumpulan bangkai nama-nama lain yang sudah lebih dulu divonis sebagai penjahat seksual.

Durkheim menyebut momen seperti ini collective effervescence: ledakan solidaritas moral yang memperkuat kohesi sosial melalui penghukuman simbolik. Cancel culture adalah upacara penyucian massal di dunia sekuler.

Elizabeth Bernstein memperingatkan bahaya carceral feminism: feminisme yang terjebak dalam logika hukuman.¹⁴ Cancel culture kerap menempuh jalan yang sama—melindungi korban, tapi menutup ruang pemulihan.

Riset Restorative Justice Council (2020) di Inggris menunjukkan bahwa pendekatan pemulihan berbasis dialog menurunkan tingkat re-offending hingga 27 persen.¹⁵ Artinya, keadilan yang disertai pengampunan bukan kelemahan, melainkan efektivitas moral. Tapi di ruang digital, pengampunan dianggap pengkhianatan terhadap korban; dan tanpa pengampunan, manusia hidup di bawah bayangan kesalahan yang abadi.

Sunyi yang Mengadili: Pelajaran dari Jean Valjean

Mungkin jawaban bagi zaman ini pernah ditulis lebih dari seabad lalu oleh Victor Hugo. Dalam Les Misérables, Jean Valjean, mantan narapidana yang dipenjara 19 tahun karena mencuri sepotong roti, dilepaskan dari penjara dengan stempel hinaan: berbahaya.” Ia kelaparan, ditolak di setiap rumah, hingga akhirnya diterima menginap oleh seorang uskup bernama Myriel.

Di tengah malam, keputusasaan membuat Valjean mencuri peralatan perak milik uskup itu dan melarikan diri. Ia tertangkap dan dibawa kembali ke hadapan sang uskup—tapi alih-alih menuduhnya, Myriel berkata kepada polisi,

“Tidak, Saudara, Anda keliru. Aku memberinya perak itu. Bahkan, kau lupa mengambil dua lilin perak ini.”

Valjean gemetar. Dunia yang selama ini mengenalnya sebagai pencuri, tiba-tiba memberinya martabat kembali. Myriel kemudian berbisik pelan,

“Jean Valjean, saudaraku, dengan perak ini aku telah membeli jiwamu. Aku menyelamatkanmu dari kegelapan. Gunakanlah untuk menjadi manusia yang jujur.”

Adegan itu menjadi titik balik moral—bukan hanya dalam novel, tapi dalam sejarah imajinasi etika modern. Pengampunan di sana bukan kelemahan, tapi kekuatan yang menumbuhkan kemungkinan.

Victor Hugo menulis,

“To love another person is to see the face of God.”

Cinta di sini bukan sentimentalitas; ia adalah bentuk tertinggi dari keadilan yang memulihkan, bukan sekadar menyeimbangkan.

Dan mungkin, di dunia yang kini sibuk menimbang salah dan benar, kita perlu kembali pada kearifan kuno dari Surat Yakobus 2:13:

Sebab penghakiman tanpa belas kasihan akan dijatuhkan atas orang yang tidak berbelas kasihan; tetapi belas kasihan mengalahkan penghakiman.”

Namun belas kasihan bukanlah kemampuan alami. Ia adalah kerja seumur hidup—kerja jiwa yang tahu bahwa kebenaran tanpa kasih bisa berubah menjadi kekerasan, tetapi kasih tanpa kebenaran bisa menjadi kepengecutan.

Keduanya menuntut keseimbangan yang tidak pernah benar-benar kita kuasai, hanya kita dekati dengan gentar.

Mungkin, di akhirnya, manusia memang tidak selalu sanggup memaafkan.

Namun justru di sanalah letak pengharapannya: bahwa meski kita gagal, dunia masih bisa sedikit lebih lembut, bukan karena kita sudah benar—melainkan karena kita akhirnya berhenti merasa selalu benar.

Catatan Kaki

  1. Kevin Munger and Nicholas Phillips, “Right-Wing & Left-Wing Activism Online:

Reputational Incentives and Virtue Signaling,” Journal of Online Behavior 12 (2020).

  1. Mary Douglas, Purity and Danger: An Analysis of Concepts of Pollution and Taboo

(London: Routledge, 1966).

  1. Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Belknap Press, 2007).
  2. Pew Research Center, The State of Morality in the West (2022).
  3. Émile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life (1912).
  4. Stanley Cohen, Folk Devils and Moral Panics (London: MacGibbon & Kee, 1972).
  5. Joseph Gusfield, Moral Passages: The Symbolic Process in Public Designation (Chicago: University of Chicago Press, 1986).
  6. Syam and H. Hidayat, “Cancel Culture as Digital Social Control in Indonesia,” Jurnal Komunikasi Indonesia 13, no. 2 (2021).
  7. William J. Brady et al., “Emotional Language in Social Media Predicts Virality Better Than Neutral Language,” PNAS 118, no. 19 (2021).
  8. Observer ID, “Unpar Dismisses Lecturer Syarif Maulana Over Allegations of Sexual Assault,” May 2024.
  9. Ibid
  10. Ibid
  11. Ibid
  12. Elizabeth Bernstein, “The Carceral Turn,” Social Politics (2012).
  13. Restorative Justice Council, “Impact Report,” UK, 2020.

Dipublikasikan oleh

avatar Tidak diketahui

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Kesadaran, Agama dan Politik. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023), Zendemik (2024), Teori Politik Progresif Inklusif (2024), Kesadaran, Agama dan Politik (2024) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.