
Oleh A. Rahadian – Pengurus Pakel 65 (Paguyuban Keluarga 65)
Penanda lupa: Di Lembah Plantungan
Di bawah langit pagi yang lembab di lembah Gunung Prahu, jalan menuju Plantungan berkelok di antara sawah dan kebun kopi. Udara di sana dingin — dingin yang menyimpan gema masa lalu. Di balik pohon-pohon pinus yang berdiri seperti penjaga tua, masih tampak sisa kawat berduri, berkarat namun tak runtuh, seperti kenangan yang menolak dilupakan.
Lebih dari lima puluh tahun silam, pada April 1971, tempat ini bukan sekadar lembah hijau. Tempat ini adalah bekas rumah sakit lepra peninggalan Belanda yang diubah menjadi kamp reedukasi bagi lebih dari lima ratus perempuan yang dituduh terlibat peristiwa 1965. Rumah sakit yang dulu dirancang untuk menyembuhkan, berubah menjadi ruang penjinakan ide. Di sinilah tubuh, iman, dan keyakinan diuji — di antara udara yang tenang dan langkah-langkah penjaga yang berderap pelan.
Kini dua perempuan, Mudjiati dan Yosephina Endang Lestari, kembali menapak halaman itu. Mereka memandangi tempat yang delapan tahun lamanya disebut rumah — rumah tanpa pintu pulang. Dalam perjalanan dari Yogyakarta menuju Kendal, mereka berbagi kisah, menertawakan yang getir, menatap sunyi yang masih menggantung di antara pepohonan.
“Sekarang pun juga masih [terkungkung], meskipun sudah bebas tapi kalau mau apa-apa masih ada kendala,” ujar Endang kepada jurnalis BBC Indonesia.¹
Kata-kata itu terdengar sederhana, namun di baliknya bergetar sejarah yang belum benar-benar berakhir. Ia menandai paradoks kebebasan: bebas secara hukum, tapi tidak dari stigma; lepas dari penjara, tapi tidak dari tatapan yang menolak lupa.
Dari lembah Plantungan, kisah ini bergulir — bukan hanya tentang penderitaan masa lalu, tapi tentang keengganan bangsa untuk benar-benar menatap dirinya sendiri.
Enam Puluh Tahun Setelah 1965: Luka yang Tak Usai dan Upaya yang Tak Tuntas
Enam puluh tahun telah berlalu sejak tragedi 1965, tetapi waktu tak benar-benar menghapus jejaknya.
Para penyintas menua bersama stigma: hidup dalam pengasingan sosial, dicabut hak-hak sipilnya, dan diwariskan trauma yang menempel pada nama keluarga. Selama Orde Baru, negara menjadikan mereka “yang tidak boleh diingat” — bayangan dalam arsip, noda dalam KTP, dan bisu dalam buku pelajaran.
Reformasi 1998 memang membawa secercah harapan. Komnas HAM pada tahun 2012 telah menyimpulkan adanya pelanggaran HAM berat dan merekomendasikan penuntutan, namun rekomendasi itu lenyap di antara kalkulasi politik. Upaya simbolik muncul: wacana permintaan maaf, simposium, proyek rekonsiliasi.
Sejurus dengan itu pada, 26 Agustus 2022 silam, Presiden Joko Widodo menerbitkan Keputusan Presiden No. 17/2022 yang membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) sebagai kanal non-yudisial untuk menindaklanjuti temuan Komnas HAM.² Pada 11 Januari 2023, setelah menerima laporan PPHAM di Istana, Presiden mengakui dan menyesalkan 12 pelanggaran HAM berat — termasuk peristiwa 1965–1966 — seraya berjanji mencegah pengulangannya.³ Lalu pada tanggal 15 Maret 2023, Jokowi menandatangani Instruksi Presiden No. 2/2023 yang memerintahkan 19 kementerian/lembaga melaksanakan rekomendasi PPHAM melalui pemulihan hak korban dan langkah pencegahan.⁴
Secara etis, rangkaian 2022–2023 ini menandai pengakuan negara — langkah yang sebelumnya tak pernah diucapkan seterbuka itu — namun sekaligus memperlihatkan pergeseran fokus dari pertanggungjawaban atas pelanggaran Hak Asasi Manusia ke administrasi pemulihan. Ia menutup kekosongan simbolik, tetapi juga berisiko memperdalam impunitas bila tak dibarengi kejelasan proses yudisial.
Kritik masyarakat sipil menilai desain PPHAM dan Inpres berpotensi menjadikan keadilan sekadar program bantuan, bukan hak atas kebenaran dan akuntabilitas.⁵
Sementara itu, warga sipil terus mengambil alih ingatan. Komunitas akar rumput membuat film, menulis novel, mengarsipkan testimoni, dan menggelar ritual kecil bagi yang hilang. Mereka membangun bentuk keadilan minor, di mana sejarah dipulihkan bukan melalui hukum, tapi melalui ingatan dan empati.
Namun enam puluh tahun kemudian, kita masih belum punya bahasa yang layak untuk menyebut kata “selesai.” Bangsa ini ingin berdamai, tapi menolak mengakui siapa yang disakiti dan siapa yang menyakiti. Dari sinilah percakapan tentang pengampunan dimulai — bukan sebagai wacana moral, melainkan sebagai krisis keberanian untuk melihat diri sendiri.
Klise Pengampunan dan Politik Bahasa yang Mati
Kata klise berasal dari bahasa Prancis cliché, yang pada abad ke-19 berarti pelat logam cetak — alat untuk memperbanyak gambar yang sama berulang kali. Bunyi cli-ché meniru denting logam saat pelat menekan tinta ke kertas. Dalam bahasa sehari-hari, maknanya bergeser: klise adalah ungkapan yang kehilangan vitalitas karena diulang terus tanpa kesadaran.
Dan di situlah letak ironi kita. Dalam percakapan tentang 1965, kata “pengampunan”sering diucapkan seperti pelat moral yang dipakai ulang tanpa berpikir. Dari forum ke forum, dari pidato ke peringatan, kita mendengar kalimat yang sama: “Lupakan yang lalu demi keutuhan bangsa.”
Masalahnya bukan pada keinginan untuk memaafkan, tapi pada cara kita memaksa pemaafan sebagai pengganti berpikir. Klise membuat kita merasa telah melakukan sesuatu, padahal kita hanya mengulangi apa yang mudah diucapkan. Dalam kebudayaan politik yang takut pada rasa bersalah, klise bekerja seperti obat bius: menenangkan nurani tanpa menyentuh akar luka.
Itu sebabnya, istilah “pengampunan”menjadi tidak pas — bukan karena mustahil, tapi karena ia diucapkan sebelum waktunya. Dalam situasi di mana negara belum mengakui kesalahan dan korban belum pulih, kata “maaf” berubah menjadi bentuk kekerasan simbolik baru: menutup luka dengan moralitas murahan.
Jean-Luc Nancy menulis bahwa pengampunan sejati bukan “pemulihan kesatuan,” melainkan “ruang kosong di antara kita yang memungkinkan dunia dibangun kembali setelah runtuh.”⁶ Pengampunan, dalam pengertian ini, bukan tindakan lembut, tapi tindakan ontologis: keberanian untuk tetap berada di ruang keterputusan tanpa menutupnya dengan dusta.
Dari Kebekuan Klise ke Etika yang Hidup
Untuk keluar dari kebekuan klise, kita perlu berhenti menjadikan pengampunan sebagai kata indah yang diulang tanpa makna, dan mulai memahaminya sebagai proses transformasi sosial yang menuntut keberanian untuk berubah.
Catherine Malabou menulis bahwa trauma adalah “kecelakaan yang mengubah bentuk keberadaan” — peristiwa yang memaksa manusia mencipta ulang dirinya sendiri.⁷ Luka, bagi Malabou, bukan sesuatu yang dapat “disembuhkan” seperti semula, melainkan kekuatan yang mengubah bentuk keberadaan itu sendiri. Karena itu, bangsa yang pernah terluka tidak bisa berharap untuk “kembali normal”; ia hanya bisa tumbuh menjadi bentuk lain — lebih sadar, lebih rapuh, dan karenanya lebih manusiawi.
Namun proses perubahan itu tidak mungkin terjadi bila bangsa terus menutup mata terhadap luka-lukanya sendiri.
Achille Mbembe menyebut bahwa dalam mengolah pengalaman pahit berbangsa seringkali dikembangkan politik pelupaan, yaitu upaya sistematis negara untuk menentukan siapa yang boleh diingat dan siapa yang harus dihapus dari sejarah.⁸
Dalam konteks Indonesia, pelupaan semacam ini melahirkan necropolitik moral: mereka yang mati dikubur dua kali — sekali di tanah, dan sekali lagi di dalam kesadaran nasional yang memilih diam. Klise pengampunan, dengan seruan-seruan “lupakan demi persatuan,” adalah bentuk lain dari pelupaan itu; ia menenangkan nurani, tetapi sekaligus memperpanjang kekuasaan atas ingatan.
Emmanuel Falque menawarkan jalan keluar yang lebih jujur: manusia yang terluka tidak perlu “disembuhkan,” melainkan menjalani ulang keberadaannya dalam ketidaksempurnaan⁹. Artinya, bangsa yang pernah melakukan kekerasan tidak bisa menebusnya dengan pernyataan maaf yang terburu-buru, melainkan dengan keberanian untuk hidup berdampingan bersama luka itu. Pengampunan sejati bukan upaya untuk menghapus jejak, tetapi untuk menjadikan jejak itu bagian dari kesadaran etis yang baru — kesadaran bahwa kita tidak akan pernah utuh tanpa mengakui bagian yang retak.
Kita perlu menginsafi bahwa modernitas memang kehilangan ritual memori — kehilangan cara untuk memberi tempat bagi kesedihan, bagi penyesalan, bagi diam yang penuh makna.¹⁰ Kita hidup di dalam “presentisme,” kekinian tanpa kedalaman waktu, di mana segala luka harus segera dipoles menjadi narasi kemajuan. Inilah yang menjadikan bangsa mudah mengucap “mari berdamai,” tetapi gagal mendengarkan apa yang tidak selesai.
Untuk keluar dari kebekuan klise, kita perlu memulihkan kemampuan untuk berhenti sejenak, untuk berduka, untuk mengingat — karena hanya dalam memori yang dijalani dengan jujur, kebaruan etis dapat lahir.
Refleksi Penutup: Tentang Keberanian untuk Memelihara Ingatan
Enam puluh tahun setelah 1965, kita masih hidup di dalam paradoks: ingin menutup bab lama, tapi tak pernah sungguh-sungguh membacanya. Di setiap pidato tentang “rekonsiliasi,” terselip keinginan agar masa lalu segera diam — agar kita bisa hidup tenteram tanpa harus merasa bersalah. Tetapi ketenteraman semacam itu palsu: ia berdiri di atas penyangkalan, bukan penyembuhan.
Kita sering mengira pengampunan adalah bentuk kemuliaan moral, padahal kadang ia justru bentuk keputusasaan etis — cara tergesa untuk membebaskan diri dari beban tanggung jawab. Memaafkan tidaklah mudah, dan mungkin memang tidak seharusnya mudah. Ada luka yang tidak bisa disembuhkan oleh waktu, hanya bisa dihadapi oleh keberanian untuk menatapnya tanpa alibi.
Maka, tugas kita bukan terburu-buru memaafkan, melainkan memelihara ketegangan antara keinginan untuk berdamai dan kebutuhan untuk mengingat. Dalam ketegangan itulah martabat manusia diuji — apakah kita sanggup menahan diri untuk tidak menutup luka hanya karena ingin segera merasa baik.
Karena itu negara pun seharusnya tidak menuntut pengampunan dari korban, karena pengampunan bukan milik negara. Ia adalah hak moral korban — hak untuk memutuskan kapan, kepada siapa, dan apakah pengampunan itu mungkin. Tugas negara bukan meminta maaf dengan kata-kata diplomatik, tetapi menjamin ruang kebenaran agar pengampunan, bila kelak datang, lahir dari keadilan, bukan dari tekanan sosial.
Sikap yang paling etis bagi negara bukanlah mengklaim telah “menyelesaikan,” melainkan bersedia menjadi saksi terhadap kebenaran yang menyakitkan — membuka arsip, menyebut nama pelaku, memulihkan nama korban, dan menanggung rasa malu sebagai bagian dari tanggung jawab sejarahnya.
Di sinilah kisah Mudjiati dan Yosephina Endang Lestari kembali menggema — dua perempuan yang pernah hidup di balik pagar kawat Plantungan, namun kini menua di antara kenangan dan kesunyian. Mereka sudah lama keluar dari kamp itu, tapi kata-kata Endang masih bergema:
“Sekarang pun juga masih [terkungkung], meskipun sudah bebas tapi kalau mau apa-apa masih ada kendala.”
Kata “terkungkung” itu kini bukan hanya milik mereka, melainkan juga milik bangsa ini — bangsa yang tampak bebas tetapi masih terjerat oleh ketakutan menghadapi sejarahnya sendiri.
Plantungan menjadi metafora dari keadaan kolektif kita: alamnya indah dan terbuka, namun di bawah tanahnya masih tersimpan kawat berduri yang belum dicabut sepenuhnya.
Achille Mbembe menulis bahwa peradaban sejati dimulai ketika masyarakat berani “mendengar suara yang mereka kubur sendiri.”¹⁵ Barangkali yang kita butuhkan bukan pengampunan yang cepat, melainkan keberanian untuk mendengarkan dengan penuh rasa malu — mendengar sampai tuntas, bahkan ketika yang didengar adalah tudingan terhadap diri sendiri.
Bangsa yang mampu mengampuni setelah menanggung kebenaran bukanlah bangsa yang “bersih dari dosa,” melainkan bangsa yang tahu batas kuasanya atas penderitaan. Ia akan lebih rendah hati terhadap sejarah, lebih berhati-hati dalam kekuasaan, dan lebih peka terhadap tanda-tanda kemanusiaan yang rapuh.
Ketika pengampunan itu datang, ia tidak akan menjadi perayaan, tetapi keheningan yang panjang — keheningan yang menyerupai udara pagi di lembah Plantungan: dingin, lembab, tapi sarat kehidupan. Di antara kabut yang naik pelan dari sawah, mungkin kita akan mendengar gema langkah mereka yang dulu berjalan pulang dalam diam — Mudjiati, Endang Yosephina, dan ratusan perempuan lain yang telah mendahului kita menjaga ingatan.
Dan mungkin hanya dari keheningan itulah pemulihan luka bangsa ini benar-benar dimulai.
Catatan kaki
- BBC Indonesia, “Plantungan: Tapol Perempuan yang Tak Pernah Pulang Penuh,” 2 September 2021, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-58381288.
- Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu (Jakarta, 26 Agustus 2022).
- “Pernyataan Pers Presiden RI,” Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, 11 Januari 2023.
- Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat (Jakarta, 15 Maret 2023).
- KontraS, “Catatan Kritis Keppres No. 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim PPHAM,” 18 Oktober 2022.
- Jean-Luc Nancy, Adoration: The Deconstruction of Christianity II (New York: Fordham University Press, 2013), 77.
- Catherine Malabou, The Ontology of the Accident: An Essay on Destructive Plasticity (Cambridge: Polity Press, 2012), 8.
- Achille Mbembe, Necropolitics (Durham: Duke University Press, 2019), 67.
- Emmanuel Falque, The Metamorphosis of Finitude: An Essay on Birth and Resurrection (New York: Fordham University Press, 2021), 102.
- Byung-Chul Han, The Disappearance of Rituals: A Topology of the Present (Cambridge: Polity Press, 2021), 24.
- Paul Ricoeur, Memory, History, Forgetting (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 456.
- Achille Mbembe, Out of the Dark Night: Essays on Decolonization (New York: Columbia University Press, 2023), 52.
Bibliografi
BBC Indonesia. “Plantungan: Tapol Perempuan yang Tak Pernah Pulang Penuh.” 2 September 2021. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-58381288.
Falque, Emmanuel. The Metamorphosis of Finitude: An Essay on Birth and Resurrection. New York: Fordham University Press, 2021.
Han, Byung-Chul. The Disappearance of Rituals: A Topology of the Present. Cambridge: Polity Press, 2021.
Indonesia. Presiden. Keputusan Presiden No. 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu. Jakarta, 26 Agustus 2022.
———. Instruksi Presiden No. 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat. Jakarta, 15 Maret 2023.
KontraS. “Catatan Kritis Keppres No. 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim PPHAM.” 18 Oktober 2022.
Malabou, Catherine. The Ontology of the Accident: An Essay on Destructive Plasticity. Cambridge: Polity Press, 2012.
Mbembe, Achille. Necropolitics. Durham: Duke University Press, 2019.
———. Out of the Dark Night: Essays on Decolonization. New York: Columbia University Press, 2023.
Nancy, Jean-Luc. Adoration: The Deconstruction of Christianity II. New York: Fordham University Press, 2013.
Rancière, Jacques. Dissensus: On Politics and Aesthetics. London: Continuum, 2010.
Ricoeur, Paul. Memory, History, Forgetting. Chicago: University of Chicago Press, 2000.
Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. Pernyataan Pers Presiden RI. 11 Januari 2023.