
Oleh Syarif Maulana
Kita mulai dari kisah yang saya ambil dari The New York Times berjudul Tales From the Teenage Cancel Culture (2019) tentang seorang siswi bernama Neelam untuk menggambarkan bagaimana budaya pembatalan (cancel culture) bekerja dalam kehidupan sehari-hari.
Neelam, seorang pelajar sekolah Katolik di Chicago, duduk di kelas saat seorang teman sekelas memutar lagu Bump N’ Grind karya R. Kelly, penyanyi yang pada saat itu telah dipenjara karena kasus kekerasan seksual terhadap anak. Bagi Neelam, seorang perempuan kulit hitam yang baru saja menonton dokumenter Surviving R. Kelly bersama ibunya, momen itu bukan sekadar soal lagu, melainkan tentang luka, ketidakadilan, dan ketidaksensitifan moral. Ia meminta agar lagu itu dimatikan, tapi sang teman menolak. Bagi temannya itu, musik hanyalah musik, terpisah dari moralitas sang musisi.
Usai kelas, Neelam mengambil keputusan untuk “membatalkan” temannya. Ia memutus komunikasi dan tidak ingin lagi mendengar pendapatnya. Keputusan Neelam untuk “membatalkan” temannya tidak berhenti di ruang pikirannya sendiri. Ia menceritakannya kepada seorang teman dekat, lalu kepada ibunya. Bagi Neelam, tindakan itu bukan sekadar ekspresi kekecewaan, tetapi sebuah pernyataan moral yang tegas: ia akan menghindari berbicara atau berinteraksi dengan teman sekelasnya itu di masa depan. Dalam pandangannya, percakapan dengan orang semacam itu tidak lagi perlu.
Jika pengalaman Neelam menunjukkan bagaimana cancel culture bekerja dalam relasi antarindividu, definisi yang lebih luas menempatkannya dalam konteks sosial dan digital. Dalam dictionary.com di bagian pop-culture dictionary-nya, cancel culture dideskripsikan sebagai praktik menarik dukungan terhadap figur publik atau perusahaan setelah mereka melakukan atau mengucapkan sesuatu yang dianggap ofensif atau tidak pantas. Dalam praktiknya, budaya pembatalan ini sering kali berlangsung di media sosial dalam bentuk group shaming—kecaman massal yang menyerupai ruang sidang tanpa hakim tetap.
Istilah cancel sendiri memiliki sejarah panjang dalam bahasa gaul Amerika, dengan makna yang beragam sejak 1990-an. Namun makna yang kini dikenal luas mulai populer di komunitas Black Twitter pada pertengahan 2010-an, terutama dalam konteks isu diskriminasi dan rasialisme. Dari ruang digital komunitas inilah, istilah canceling berkembang menjadi alat kritik sosial yang kemudian merambah ke arus utama.
Fenomena ini mencapai puncaknya ketika gerakan #MeToo meledak pada akhir dekade 2010-an. Sejumlah figur besar seperti Harvey Weinstein, Matt Lauer, Louis C.K., hingga R. Kelly — termasuk sosok yang muncul dalam kisah Neelam — menghadapi konsekuensi sosial dan profesional akibat tuduhan kekerasan seksual. Dalam waktu yang sama, beberapa tokoh publik lain dibatalkan karena pernyataan masa lalu yang dianggap rasis atau anti-LGBTQ, seperti Shane Gillis dan Kevin Hart.
Seiring meluasnya praktik ini, kritik terhadap cancel culture juga bermunculan. Media sosial dianggap terlalu cepat menghakimi dan menegakkan standar moral yang kian tinggi atas nama political correctness. Bagi sebagian orang, canceling tidak lagi menjadi sarana akuntabilitas, melainkan sekadar bentuk virtue signaling atau pamer moralitas yang performatif. Dalam logika semacam ini, pembatalan menjadi bentuk penolakan instan terhadap siapa pun yang berbeda pandangan, atau yang sekadar melakukan kesalahan di masa lalu.
Secara umum, pola cancel culture dapat dikenali dengan mudah: seseorang, biasanya figur publik atau korporasi, ditemukan melakukan atau mengucapkan hal yang dianggap ofensif, terutama terkait isu ras, gender, atau kelompok minoritas lain. Informasi itu menyebar dengan cepat di dunia maya, lalu diikuti oleh seruan untuk memutus dukungan dalam berbagai bentuk, mulai dari unfollow, boikot produk, hingga penghentian kerja sama profesional.
Feminisme Gelombang Keempat
Dalam esainya tahun 2013 di laman Political Studies Association, Ealasaid Munro menguraikan sejarah panjang feminisme, mulai dari perjuangan hak pilih perempuan pada abad ke-19 hingga lahirnya gelombang ketiga pada akhir abad ke-20. Feminisme gelombang pertama, menurut Munro, menandai perjuangan untuk keadilan hukum dan politik, khususnya hak atas kepemilikan properti dan hak suara. Gerakan ini membawa kesadaran publik tentang ketidakadilan yang dialami perempuan hingga awal abad ke-20.
Setelah hak pilih perempuan berhasil diperoleh pada 1928, perhatian gerakan bergeser ke ranah sosial yang lebih luas. Feminisme gelombang kedua, dengan semboyan “the personal is political” menyoroti bagaimana seksisme dan patriarki menembus kehidupan pribadi perempuan, dari keluarga hingga tubuh. Tokoh seperti Betty Friedan menekankan pentingnya membongkar stereotip gender, menunjukkan bahwa feminisme bukan hanya perjuangan perempuan, tetapi juga pembebasan bagi laki-laki dari norma-norma maskulinitas yang kaku. Namun, feminisme gelombang kedua juga dikritik karena memperlakukan perempuan sebagai kelompok yang homogen, tanpa memperhatikan perbedaan ras, kelas, dan latar belakang sosial.
Kritik itu menguat lewat karya bell hooks, Ain’t I a Woman, yang menyoroti bagaimana gerakan feminis arus utama kerap mengabaikan pengalaman perempuan kulit hitam dan kelompok minoritas lainnya. Hooks menegaskan perlunya mengakui “banyak feminisme” (multiple feminisms), bukan satu feminisme universal. Pandangan ini menjadi dasar bagi lahirnya gelombang ketiga, yang sangat dipengaruhi oleh queer theory dan gagasan tentang gender serta seksualitas sebagai spektrum yang cair. Fokus feminisme bergeser dari politik struktural menuju micropolitics atau perjuangan identitas dan representasi dalam kehidupan sehari-hari.
Namun orientasi individualistik gelombang ketiga kerap dianggap melemahkan daya politis feminisme itu sendiri. Perubahan sosial besar menjadi sulit dicapai ketika tanggung jawab politik digeser menjadi urusan pribadi. Dalam konteks inilah muncul tawaran akan feminisme gelombang keempat, yang dianggap lahir dari sinergi antara kesadaran feminis dan kekuatan teknologi digital.
Dalam konteks ini, internet menjadi katalis utama peralihan dari gelombang ketiga menuju keempat. Dunia digital menciptakan ruang baru bagi perempuan untuk bersuara, saling mendukung, dan melakukan aktivisme lintas batas geografis. Fenomena call-out culture, budaya “memanggil” atau menegur secara publik perilaku seksis dan misoginis menjadi ciri khas era ini. Dengan media sosial, praktik semacam itu tidak lagi terbatas pada ruang akademik atau forum diskusi, melainkan menjangkau audiens global secara instan.
Laporan #FemFuture: Online Feminism dari Barnard Center for Research on Women menunjukkan bahwa perempuan usia 18–29 tahun kini menjadi pengguna paling aktif media sosial. Di berbagai negara, termasuk kawasan yang masih menghadapi ketimpangan gender seperti Turki, perempuan mendominasi ruang digital hingga 72 persen. Di dunia maya, mereka tidak hanya berbagi pengalaman, tetapi juga mengorganisasi kampanye, menggugat kebijakan, dan menekan korporasi besar agar bertanggung jawab atas bias gender di platform mereka. Berbagai gerakan daring seperti The Everyday Sexism Project, No More Page 3, atau The Women’s Room memperlihatkan bagaimana internet berfungsi ganda yaitu sebagai forum diskusi sekaligus jalur aktivisme.
Feminisme gelombang keempat muncul pada akhir 2000-an sebagai respons terhadap keterbatasan gelombang sebelumnya dalam menghadapi realitas digital dan kompleksitas identitas kontemporer. Gerakan ini berakar pada prinsip interseksionalitas, yakni kesadaran bahwa gender berkelindan dengan ras, kelas, orientasi seksual, dan latar sosial lain serta menggunakan media sosial sebagai arena utama advokasi. Kampanye seperti #MeToo, #TimesUp, dan #BelieveWomen menjadi simbol kekuatan baru feminisme yang beroperasi secara viral, menantang struktur patriarki melalui solidaritas lintas batas geografis dan kelas sosial. Dalam konteks ini, tindakan personal seperti memanggil (calling out) dan menghapus (canceling) individu yang dianggap melanggengkan ketidakadilan gender menjadi bentuk politisasi keseharian yang sebelumnya jarang mendapat perhatian serius.
Dari sinilah cancel culture menemukan momentumnya sebagai strategi moral yang sebangun dengan semangat feminisme gelombang keempat: cepat, terbuka, dan berbasis kesadaran kolektif. Ketika media sosial memperpendek jarak antara pelaku dan korban, budaya pembatalan bekerja sebagai mekanisme pengawasan sosial yang memungkinkan perempuan dan kelompok marjinal menuntut akuntabilitas tanpa harus melalui lembaga formal yang sering kali bias dan patriarkal.
Perdebatan atas Cancel Culture
Martha Nussbaum (2004) mengemukakan bahwa cancel culture merepresentasikan bentuk “justice of the mob”, suatu bentuk keadilan massa yang tidak bersifat deliberatif, imparsial, ataupun netral. Dalam pandangan Nussbaum, praktik penghukuman sosial semacam ini gagal menumbuhkan proses refleksi moral karena didorong oleh kemarahan kolektif, bukan oleh niat untuk memperbaiki perilaku pelaku. Meski demikian, Douglas R. Campbell (2023) menilai bahwa praktik shaming tidak selalu destruktif. Ia dapat menjadi alat moral yang konstruktif sejauh disertai dengan keyakinan akan kemungkinan penebusan (redemption). Mengacu pada tradisi filsafat klasik, Campbell mengaitkan perdebatan ini dengan pemikiran Plato dan Aristoteles yang sama-sama menilai bahwa rasa malu memiliki fungsi pedagogis dalam kehidupan etika.
Plato, dalam Republic (560e–561a), mengecam ketidaktahumaluan (shamelessness/ anaideia) sebagai salah satu keburukan moral dalam masyarakat demokratis, di mana “kelancangan disebut kesopanan, anarki disebut kebebasan, kemewahan disebut keagungan, dan ketidaktahumaluan disebut keberanian.” Bagi Plato, hilangnya rasa malu menandai hilangnya mekanisme batiniah yang mengatur perilaku moral manusia.
Melalui metode elenchos-nya, Sokrates kerap memunculkan rasa malu pada lawan bicaranya agar mereka menyadari kontradiksi moral diri dan terdorong untuk memperbaikinya. Aristoteles, dalam Nicomachean Ethics (1115a12–14), juga menegaskan bahwa orang yang berbudi luhur (aidēmōn) adalah mereka yang memiliki kepekaan terhadap rasa malu dan takut terhadap reputasi buruk (adoxian). Dalam kerangka ini, rasa malu bukan sekadar tekanan sosial, melainkan sinyal moral yang menandakan kesadaran akan kebaikan dan keburukan.
Dari perspektif ini, cancel culture dapat dibaca sebagai distorsi modern atas etika rasa malu yang pernah diajarkan Plato dan Aristoteles. Ia mempertahankan aspek penghukuman publik, namun kehilangan dimensi pedagogis dan reflektifnya. Alih-alih mendorong pertumbuhan moral, ia sering berujung pada apa yang oleh Nussbaum disebut sebagai “spoiled identity” yakni keadaan ketika individu dicap tidak dapat ditebus dan dihapus dari komunitas moral. Tantangan etisnya, sebagaimana ditunjukkan Campbell, adalah mengembalikan praktik accountability ke semangat aslinya: menjadikan rasa malu sebagai jalan menuju transformasi moral, bukan sebagai alat eksklusi sosial yang mematikan ruang bagi perbaikan diri.
Filsuf Slavoj Žižek (2022) malah melihat sisi gelap dari cancel culture modern. Menurutnya, budaya pembatalan dengan paranoia terselubung di dalamnya adalah bentuk upaya putus asa yang justru berbalik arah. Alih-alih mengatasi kekerasan dan intoleransi yang nyata terhadap kelompok minoritas seksual, cancel culture malah menjadi “pelarian ke dalam benteng kultural” yang membentuk sebuah pseudo-safe space yang dilandasi fanatisme wacana. Akibatnya, gerakan ini justru memperkuat penolakan kelompok mayoritas terhadap perjuangan kesetaraan yang ingin diperjuangkan.
Sekadar Refleksi
Budaya pembatalan atau cancel culture pada awalnya lahir dari semangat moral: upaya masyarakat untuk menuntut akuntabilitas bagi perilaku yang dianggap melanggar nilai-nilai keadilan, kesetaraan, atau empati. Di dunia digital yang serba terbuka, praktik ini tampak seperti bentuk demokratisasi etika, bahwa setiap orang memiliki suara untuk menegur, menilai, bahkan menghukum. Dalam konteks tertentu, cancel culture memang berhasil mengungkap kekerasan struktural yang sebelumnya tertutup, seperti dalam gerakan #MeToo yang membuka percakapan global tentang kekuasaan, tubuh, dan pelecehan. Namun, keberhasilan ini membawa paradoks: di saat masyarakat semakin sadar akan keadilan sosial, mereka juga semakin cepat menjatuhkan vonis moral tanpa ruang untuk pemahaman dan penebusan.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana digitalisasi etika bisa berubah menjadi etika yang terdistorsi. Media sosial yang awalnya berfungsi sebagai ruang kesetaraan justru melahirkan bentuk baru hierarki moral, di mana reputasi seseorang bisa runtuh hanya dalam hitungan jam, bukan karena pengadilan yang adil, melainkan karena gelombang opini publik. Dalam hal ini, cancel culture kehilangan substansi deliberatif yang menjadi dasar dari keadilan. Ia bergerak bukan melalui argumentasi, tetapi melalui afek: kemarahan, kekecewaan, atau rasa bersalah kolektif. Akibatnya, alih-alih menjadi wadah pembelajaran sosial, ia sering kali berubah menjadi ritual penghukuman simbolik yang tidak memberi ruang bagi perbaikan diri.
Namun, kita tidak bisa menafikan bahwa rasa malu dan kecaman publik memiliki fungsi sosial yang penting. Seperti yang diingatkan Plato dan Aristoteles, rasa malu dapat menjadi alat moral untuk memperbaiki diri dan masyarakat. Dalam konteks ini, cancel culture sebenarnya menyimpan potensi etis untuk membangun tanggung jawab sosial, asalkan dijalankan dengan keyakinan bahwa setiap orang masih mungkin berubah. Yang berbahaya bukanlah tindakan mengoreksi kesalahan, melainkan ketika koreksi itu berubah menjadi penghapusan total atas eksistensi seseorang yaitu ketika manusia diperlakukan seolah-olah identitas moralnya telah “rusak” secara permanen.
Di sinilah kritik seperti yang diajukan Martha Nussbaum dan Slavoj Žižek menjadi relevan. Keduanya mengingatkan bahwa cancel culture mudah terjebak dalam logika fanatisme moral dan paranoia sosial, sebuah benteng semu tempat orang mencari rasa aman dari kompleksitas moral dunia modern. Jika demikian, refleksi yang perlu kita ambil bukanlah apakah cancel culture harus dipertahankan atau ditolak, melainkan bagaimana kita bisa mengembalikannya ke tujuan awalnya: menumbuhkan kesadaran etis tanpa kehilangan sisi kemanusiaan. Keberanian moral seharusnya tidak berhenti pada kecaman, tetapi berlanjut pada dialog, pemulihan, dan perubahan nyata.
Referensi
Bromwich, Jonah Engel, and Sanam Yar. “Tales from the Teenage Cancel Culture.” The New York Times, October 31, 2019. Updated November 2, 2019. https://www.nytimes.com/2019/10/31/style/cancel-culture.html
Campbell, Douglas R. “Cancel Culture, Then and Now: A Platonic Approach to the Shaming of People and the Exclusion of Ideas.” Journal of Cyberspace Studies 7, no. 2 (2023): 147–166.
hooks, bell. Ain’t I a Woman: Black Women and Feminism. Boston, MA: South End Press, 2007.
Munro, Ealasaid. “Feminism: A Fourth Wave?” Political Studies Association, September 5, 2013. https://www.psa.ac.uk/psa/news/feminism-fourth-wave
Nussbaum, Martha. Hiding from Humanity: Disgust, Shame, and the Law. Princeton, NJ: Princeton University Press, 2004.
Plato. Complete Works. Edited by John M. Cooper and D. S. Hutchinson. Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1991.
Žižek, Slavoj. “Ethics on the Rocks.” Project Syndicate, November 22, 2022. https://www.project-syndicate.org/commentary/ethical-decay-right-wing-violence-hate-left-wing-woke-cancel-culture-by-slavoj-zizek-2022-11