Apakah Laut Takut pada Ombak?

Erica Wexler

Oleh Reza A.A Wattimena

Teman lama tiba-tiba menghubungi. Ia ingin berjumpa. Kami membuat janji untuk berjumpa di kafe dekat tempat tinggal saya. Percakapan dimulai dengan sedikit nostalgia, kabar terbaru lalu masuk ke inti pembicaraan.

Hidupnya dilanda badai. Perceraian dan pemecatan kerja datang berbarengan. Ah, saya teringat kisah hidup saya sendiri. Memang, rasa sakit yang timbul dari dua hal ini sungguh tak terbayang.

Ia pun memasuki spiral penderitaan yang berat. Karena menolak menderita, ia mencari pelarian. Ia mulai berlari ke alkohol untuk membuatnya berhenti berpikir. Ia bersedia melakukan apapun, supaya tidak perlu merasakan penderitaan di hati.

Pola ini sudah berulang kali saya temukan. Saya pun juga melakukannya, kerap kali tanpa sadar. Kita menolak menderita. Padahal, penderitaan justru disebut penderitaan, karena ada penolakan. Tanpa penolakan, penderitaan hanyalah sensasi yang muncul dan lenyap.

Mengapa orang takut pada pikiran maupun emosinya sendiri? Dari rasa takut tersebut, beragam pelarian pun dicari. Dengan pelarian, akar masalah tetap tak terbongkar. Yang terjadi justru sebaliknya: penderitaan dan masalah justru berlipat jumlahnya.

Ketakutan tersebut muncul dari ketidaktahuan. Kita tidak paham tentang pikiran maupun emosi yang kita rasakan. Akibatnya, kita tidak bisa menanggapi mereka dengan tepat, ketika mereka datang. Padahal, keduanya merupakan sesuatu yang amat berharga, terutama untuk menata hidup manusia secara keseluruhan.

Di dalam Zen, ada analogi yang menarik. Pikiran itu bagaikan ombak. Sementara, diri sejati manusia itu seperti laut. Ombak datang dan pergi. Namun, laut tetap tenang dan stabil.

Pikiran dan emosi datang dan pergi. Namun, diri sejati manusia tetap stabil dan tenang. Laut tak terganggu oleh ombak, bahkan oleh tsunami raksasa. Begitu pula diri sejati manusia tak terganggu oleh pikiran yang datang dan pergi, walaupun pikiran itu begitu kuat.

Analogi lainnya adalah guntur dan langit. Guntur itu datang dan pergi. Sementara, langit tetap tenang dan stabil. Guntur itu bagaikan pikiran manusia yang kuat serta datang dan pergi. Sementara, langit itu adalah batin manusia, yakni diri sejatinya, yang tak terpengaruh oleh guntur tersebut, seberapa pun kuatnya.

Ketika pikiran dan emosi muncul, berikan ruang. Ini adalah sesuatu yang mesti dilakukan. Jangan pernah menolak emosi ataupun pikiran, sekuat apapun itu. Cukup berikan ruang pada mereka, dan sadari dengan kelembutan.

Inilah yang disebut sebagai bekerja dengan emosi, working with emotions. Sebagai orang yang memiliki daya ledak emosional yang tinggi, saya berulang kali menerapkannya. Ada pikiran dan emosi yang mesti saya ikuti, sehingga menjadi tindakan. Ada yang saya abaikan, karena tidak sesuai dengan keadaan.

Yang terpenting adalah menciptakan jarak dengan emosi maupun pikiran yang muncul. Menciptakan jarak berarti orang mampu mengamati emosi dan pikiran yang datang dan pergi. Jarak inilah yang mengurangi penderitaan. Ada kejernihan yang muncul, ketika jarak semacam ini tercipta.

Inilah kiranya yang disebut sebagai pembebasan. Kita tidak lagi dijajah oleh pikiran maupun emosi yang sementara. Jika perlu, keduanya bisa diikuti. Jika tidak, keduanya bisa ditinggalkan.

Dari jarak dengan pikiran dan emosi yang ada, orang lalu bisa melihat keadaan secara jernih. Orang bisa memahami keadaan sebagaimana adanya. Ada kebijaksanaan di dalam cara berpikir semacam ini. Tindakan yang tepat pun bisa mengalir.

Tindakan yang tepat tidak ada hubungannya dengan moralitas. Moralitas kerap kali hanya sekumpulan pandangan yang sudah mati dari masa lalu. Kejernihan adalah kepekaan yang hidup di dalam menanggapi keadaan sebagaimana adanya disini dan saat ini. Saya mengembangkannya di dalam etika natural empiris. (cek: Teori Transformasi Kesadaran Unlimited)

Jadi, laut tak perlu takut dengan ombak. Langit sama sekali tak perlu takut dengan guntur. Sama seperti kita sama sekali tak perlu takut dengan pikiran dan emosi yang sementara. Cukup sadari dengan lembut, ketika mereka datang, sehingga jarak dan kejernihan bisa tercipta. Ini adalah proses belajar tanpa henti, dan tak pernah ada kata berhasil sepenuhnya.

Pemecatan dan perceraian memang menyakitkan. Mereka bisa terjadi berulang kali. Banyak unsur yang mempengaruhinya. Seperti segala hal di semesta ini, karir dan relasi pun sementara. Cukup temukan satu hal di dalam diri kita yang berada di luar waktu, dan berpegang teguh padanya…

 

 

 

 

 

 

Dipublikasikan oleh

avatar Tidak diketahui

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Kesadaran, Agama dan Politik. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023), Zendemik (2024), Teori Politik Progresif Inklusif (2024), Kesadaran, Agama dan Politik (2024) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.