Semiotika Ijazah

Oleh Reza A.A Wattimena

Apakah ada yang tertarik melihat ijazah saya? Saya rasa tidak. Saya bukan pejabat publik, dan bukan artis. Namun, jika anda mau, saya bisa memperlihatkannya. Tidak ada masalah sama sekali.

Lima tahun terakhir, Indonesia dibuat susah oleh masalah remeh, namun sangat mendasar. Ijazah Jokowi, mantan presiden, tetap menimbulkan banyak pertanyaan kritis, bahkan sampai hari ini. Kini, di 2025, Gibran, anaknya, yang terpilih menjadi wakil presiden dengan cara-cara kontroversial, juga dipertanyakan soal ijazahnya.

Saya tidak mengikuti persoalan ini secara dekat. Namun, dari apa yang saya baca, kemungkinan besar, bangsa Indonesia sudah ditipu habis-habisan. Penipuan tidak hanya terjadi dalam soal ijazah, tetapi juga dalam hal pembangunan Indonesia secara keseluruhan, mulai dari pembunuhan Mahkamah Konstitusi, kolusi serta nepotisme di dalam pemilihan jabatan publik, sampai dengan IKN yang sekarang menjadi gua hantu.

Semiotika Ijazah

Mengapa persoalan ijazah ini penting, sehingga perlu untuk terus menjadi bagian dari pembicaraan masyarakat? Ijazah adalah simbol dari kenyataan di belakangnya. Kajian tentang simbol kental di dalam cabang filsafat yang disebut sebagai semiotika. Semiotika menjadi amat penting, ketika kita hidup di masa digital, dimana bermacam simbol bertebaran di berbagai tempat, baik daring maupun luring, serta membutuhkan pemahaman yang tepat atasnya.

Dalam hal ini, ijazah adalah penanda (signifier) untuk petanda (signified) di belakangnya. Ijazah adalah dokumen yang mewakili kenyataan di belakangnya. Kenyataan tersebut tidak tunggal, melainkan memiliki tingkat lapisan tertentu. Ada empat hal mendasar yang penting untuk diperhatikan.

Pertama, ijazah adalah tanda, bahwa orang memiliki pengalaman belajar. Pengalaman tersebut bisa sulit, atau mudah. Banyak faktor yang menentukan, mulai dari tingkat kecerdasan, lingkungan sosial sampai kesehatan tubuh. Keberadaan ijazah menandakan, bahwa ada proses belajar yang dilalui dengan pola tertentu, dan  dalam jangka waktu tertentu.

Dua, ijazah juga menandakan kompetensi tertentu. Ada kemampuan yang dimiliki orang, ketika ia memperoleh ijazah. Kemampuan tersebut pun ada tingkatannya. Biasanya, transkrip nilai menentukan tingkat kemampuan yang ada tersebut.

Tiga, namun, sikap kritis tetap diperlukan, apalagi jika orang memperoleh ijazah dari institusi pendidikan di Indonesia. Banyak sekali ijazah palsu. Banyak orang memperoleh ijazah dengan cara-cara curang. Dalam hal ini, ijazah ada, namun tidak ada kompetensi, atau kemampuan di belakangnya.

Empat, untuk pejabat publik, terutama presiden dan wakil presiden, ijazah adalah simbol kejujuran. Memang, orang tak harus memiliki ijazah tinggi untuk memimpin. Yang terpenting adalah kekuatan akal sehat, kebersihan nurani, kejujuran dan etos kerja yang profesional. Walaupun begitu, penting untuk pejabat publik, apapun tingkatannya, untuk terbuka dan jujur tentang riwayat pendidikannya.

Keadaan Indonesia

Kasus dugaan ijazah palsu, yang melibatkan Jokowi dan Gibran, sungguh menganggu proses pembangunan di Indonesia. Masyarakat terpecah. Kebencian dan salah paham tersebar luas. Sampai awal Oktober 2025 ini, tidak ada niat baik dari Jokowi dan Gibran untuk menyelesaikan masalah ini lewat jalan-jalan yang beradab serta damai.

Suasana hati masyarakat pun rusak. Energi habis terbuang untuk bertarung dengan kebodohan. Ketidakpercayaan publik pun tersebar luas di seluruh negeri. Jika tak dikelola dengan baik, persoalan ini bisa menghancurkan bangsa Indonesia.

Sejujurnya, saya merasa jijik dengan soal ini. Ini adalah contoh jelek untuk para peserta didik di seluruh Indonesia, terutama mereka yang hendak melanjutkan ke pendidikan tinggi, dan siap membangun bangsa ini. Jalan keluarnya, sebenarnya, sangat sederhana, yakni keterbukaan penuh di hadapan publik. Namun, karena ada bau busuk kebohongan di belakangnya, semua terkesan menjadi sulit dan rumit.

Cukuplah dicatat dalam sejarah Indonesia, bahwa kita memiliki pemimpin yang berbau busuk. Kita memiliki pemimpin yang suka mengadu domba rakyatnya. Kita memiliki pemimpin yang doyan menipu, korup dan tak kompeten. Proses hukum dan pencarian keadilan harus terus dilanjutkan.

Dan semoga, kita akan belajar dari semua ini, dan tidak akan mengulangi kesalahan yang sama: tertipu oleh pemimpin yang korup…

Dipublikasikan oleh

avatar Tidak diketahui

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Kesadaran, Agama dan Politik. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023), Zendemik (2024), Teori Politik Progresif Inklusif (2024), Kesadaran, Agama dan Politik (2024) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.