Satu-satunya Masalah Manusia

Tomasz Alen Kopera

Oleh Reza A.A Wattimena

2003, saya belajar filsafat manusia di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Pada masa itu, sejujurnya, saya lebih suka menjadi seorang demonstran, daripada menjadi mahasiswa. Namun, filsafat manusia adalah mata kuliah wajib. Saya pun mengikutinya dengan penuh rasa ingin tahu.

Hal terpenting yang saya dapat dari kuliah itu adalah soal kebebasan. Kebebasan manusia terletak pada kemampuannya menanggapi keadaan yang ada. Keadaan itu sendiri tak bisa sepenuhnya ditentukan. Ada orang lain, masyarakat dan alam yang menentukan keadaan di luar diri kita.

Keadaan di luar itu netral. Ia tidak baik, dan tidak buruk. Bahkan, bencana alam pun, sebenarnya, hanyalah alam yang sedang bergerak. Kita yang menilainya sebagai bencana dari sudut pandang manusia yang kecil ini.

Kita menilai sebuah keadaan dengan pikiran kita. Kita bereaksi padanya, persis karena kita memiliki pikiran. Ada keadaan yang kita anggap baik, lalu kita merasa bahagia. Ada keadaan yang kita anggap jelek, dan kita pun menderita.

Hidup kita pun bergerak dalam dua ranah itu, yakni bahagia dan menderita. Sekali lagi, ini semua menjadi mungkin, karena kita memiliki pikiran. Jadi, bisa dikatakan, satu-satunya masalah manusia adalah pikirannya. Karena pikirannya juga, manusia bersikap korup, curang dan menghancurkan mahluk hidup lain.

Ini dengan mudah bisa dilihat di keadaan politik Indonesia, dan juga dunia. Orang-orang korup bermain curang. Mereka merusak tatanan, dan merugikan banyak pihak. Dunia pun kini berada di ambang perang dunia ketiga, karena orang-orang korup ini memiliki pikiran yang salah tentang kehidupan, sehingga keputusan-keputusan yang mereka ambil pun juga merusak.

Jadi, masalah kita hanya satu, yakni kita tidak paham pikiran kita sendiri. Kita tidak mengerti, mengapa kita berpikir dengan cara tertentu. Kita cenderung hanya mengikuti kebiasaan diri kita yang sudah lama. Akhirnya, berulang kali, kita terjebak di dalam keadaan yang membuat diri kita dan mahluk hidup lainnya menderita.

Mengapa kita tak paham pikiran kita sendiri? Karena di Indonesia, ilmu memahami pikiran memang tidak ada. Kita dihabisi oleh agama kematian dari tanah gersang, sehingga tetap miskin dan bodoh di semua bidang. Kita juga diajarkan sains modern secara dangkal, yakni orang hanya mengerti penggunaan teknologi, tetapi tidak pernah diajarkan pola pikir dan sikap batin ilmiah yang merupakan jantung hati dari sains modern.

Satu hal yang perlu dicatat, pikiran dan emosi itu sama. Pikiran bergerak di ranah konsep dan bahasa. Emosi adalah bumbu atas bahasa dan konsep tersebut. Rasanya lebih tajam, walaupun keduanya memiliki hakekat yang sama.

Begitulah hati dan akal yang juga adalah sama. Saya muak mendengarkan orang yang berkata, jangan pakai akal, gunakan hati. Ini adalah pandangan salah yang berpijak pada kebodohan. Hati dan akal adalah sama, walaupun rasanya memang sedikit berbeda.

Tentang Pikiran

Jadi, bagaimana cara memahami pikiran? Ini adalah langkah pertama yang mesti dipelajari manusia di dalam hidupnya. Tak perlu terlalu banyak belajar agama, apalagi agama kematian dari tanah gersang yang memperbodoh dan mempermiskin. Tak perlu belajar matematika dan sains modern, apalagi jika hanya berujung pada hafalan ataupun hitung-hitungan tanpa faedah.

Pikiran manusia itu tanpa arah. Ia bergerak sesuai dengan rangsangan. Ia tidak bisa dikontrol. Percuma mendalami teknik mengontrol pikiran, karena itu semua akan berujung pada frustasi belaka.

Pikiran manusia juga merupakan tempat sampah. Ia dibentuk dari interaksi manusia dengan lingkungannya. Ia adalah tumpukan dari masa lalu. Pikiran berguna untuk membantu pelestarian hidup manusia, tetapi akan menyiksa, jika dianggap sebagai kebenaran yang nyata.

Kita juga bukan pikiran kita. Pikiran kita berubah tanpa arah. Kadang, ia lenyap begitu saja, seolah tanpa tak pernah ada. Kita, sesungguhnya, bisa dikatakan, adalah ruang sadar yang menampung beragam pikiran yang terus berubah tersebut.

Sekali lagi, kita tak bisa mengontrol pikiran. Tak ada gunanya juga berusaha mengontrol pikiran. Itu ilusi yang amat berbahaya. Banyak orang menderita, karena ia membenci pikirannya, dan berusaha melenyapkannya.

Maka buanglah soal ilusi tentang kontrol tersebut. Berusaha melenyapkan pikiran, sesungguhnya, adalah sebuah pikiran baru. Ini bagaikan membersihkan kotoran dengan kain kotor. Tak ada gunanya, dan masalah pun justru bertambah.

Mengolah Pikiran

Karena tak bisa dikontrol, kita cukup membiarkan pikiran dan perasaan sebagaimana adanya. Kita menyadarinya, ketika mereka muncul. Kita menyadarinya, ketika mereka menguat. Dan kita menyadarinya, ketika mereka lenyap.

Sangatlah penting memberikan ruang pada pikiran maupun perasaan yang muncul. Ini amat menentukan mutu hidup maupun kesehatan seseorang. Pikiran dan perasaan yang ditekan dan tak diberi ruang akan menciptakan tegangan di dalam diri. Tegangan inilah yang akan menciptakan beragam penyakit, mulai dari kanker, autoimun, diabetes sampai dengan insomnia.

Sekali lagi, penting untuk diingat, bahwa pikiran tidak memiliki jangkar. Ia juga tidak berpijak pada fondasi yang kokoh. Ia bagaikan asap yang datang dan pergi, tanpa pijakan nyata. Sungguh menyadari ini akan menyelamatkan kita dari berbagai penderitaan maupun masalah yang tak perlu dalam hidup.

Dari mana pikiran dan perasaan muncul? Ini adalah pertanyaan amat penting. Tidak ada jawaban konseptual atasnya. Namun, demi kepentingan komunikasi, saya menyebutnya sebagai kesadaran murni.

Kesadaran murni adalah kesadaran sebelum konsep. Tidak ada bahasa maupun rumusan di dalamnya. Ia berada sebelum pikiran. Ia adalah persepsi murni yang menangkap keadaan sebagaimana adanya, sebelum pengalaman dikurung ke dalam kata dan konsep. Kesadaran murni kosong dari konsep, dan tak terbatas.

Kebijaksanaan Tertinggi

Ada banyak ilmu di dunia. Ada banyak teori tentang kebijaksanaan yang juga berkembang, mulai dari filsafat sampai dengan budaya. Namun, semua itu hanyalah alat untuk menjawab satu pertanyaan berikut: siapa kita sebenarnya?

Diri kita yang asli tidak berubah oleh keadaan. Ia bukan pikiran dan perasaan yang datang dan pergi. Sebaliknya, diri kita yang asli merupakan sumber dari pikiran dan perasaan tersebut. Diri kita yang sebenarnya adalah kesadaran yang tak terbatas oleh ruang dan waktu.

Menyadari ini, tak ada lagi yang perlu kita cemaskan. Semua penderitaan lahir dari pikiran yang dipercaya sebagai kenyataan. Jika kita sadar, pikiran adalah hasil dari kesadaran murni di dalam diri kita, maka kita akan memahaminya dengan cara berbeda. Kita bisa mengamati gerak pikiran dan perasaan, seperti orang tua melihat anaknya yang sedang bermain.

Kita mengamati pikiran dan perasaan yang menari, seperti laut mengamati ombak yang bermain. Juga seperti langit mengamati awan yang terus berganti. Kita melihat pikiran dan perasaan, sama seperti kita melihat film di bioskop. Kita bisa menikmatinya, tanpa hanyut ke dalamnya.

Lalu, kita hidup sebagai kesadaran murni. Kita berada di dunia, tetapi tidak tenggelam di dalamnya. Kita terlibat penuh di dalam gejolak politik ekonomi global, tetapi sadar betul, itu semua hanyalah permainan dari pikiran. Ada jarak yang sehat, yang membuat kita tetap waras di tengah absurditas yang terjadi.

Ada kalanya, pikiran dan perasaan terlihat begitu nyata. Biasanya ini terjadi, ketika kita mengalami patah hati yang berat. Kita ditolak oleh masyarakat, atau bersentuhan dengan kematian. Pikiran dan perasaan yang menakutkan lalu muncul, dan mencekik jiwa.

Dua hal kiranya perlu disampaikan. Ketika badai pikiran terjadi, kita perlu berjangkar pada panca indera. Kita mendengar, merasakan di kulit, atau melihat segala yang ada di sekitar kita dengan penuh kesadaran. Perhatian yang tertanam disini dan saat ini adalah jangkar yang membuat kita tak hanyut di badai pikiran.

Mantra juga amat berguna. Mantra adalah pelindung batin dari badai pikiran. Ia adalah sekumpulan kata dengan suara tertentu, dan diulang terus menerus. Ada banyak jenis mantra di dunia ini, dan itu bisa dipilih sesuai kebutuhan setiap orang.

Belajar Tanpa Henti

Memahami dan mengolah pikiran adalah perjalanan seumur hidup. Tak ada kata lulus. Kadang, badai datang menghadang. Kadang, pikiran lenyap, dan batin menemukan kedamaian yang mendalam.

Satu-satunya masalah manusia adalah pikirannya, terutama berbagai bentuk yang diciptakannya. Dari pikiran, manusia bertindak. Dari pikirannya, manusia membuat keputusan. Perang dan perdamaian juga lahir dari pikiran manusia.

Dengan memahami dan mengolah pikiran, mutu hidup kita akan lebih baik. Saat-saat damai dan jernih akan lebih sering muncul. Badai pikiran dan emosi juga akan datang, namun mereka cenderung bergerak lebih cepat. Jadi, selamat belajar.

Detil lebih jauh bisa lihat karya lengkap saya: Teori Transformasi Kesadaran Unlimited

Dipublikasikan oleh

avatar Tidak diketahui

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Kesadaran, Agama dan Politik. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023), Zendemik (2024), Teori Politik Progresif Inklusif (2024), Kesadaran, Agama dan Politik (2024) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.