
Oleh Reza A.A Wattimena
Setiap hari, saya menerima begitu banyak pesan dari media sosial. Beberapa mengirim ke email. Ada yang bertanya soal filsafat dan perluasannya. Mayoritas bertanya soal jalan keluar dari penderitaan hidup yang berat.
Ada yang berduka, karena patah hati. Ada yang berduka, karena bersentuhan dengan kematian. Ada yang berduka, karena sulit menemukan pekerjaan yang pas. Begitu banyak penderitaan tersebar di dunia ini.
Ada yang sudah belajar beragam hal. Ada yang sudah mengikuti retret meditasi berulang kali. Ada yang sudah belajar Yoga, sampai layak menjadi anggota sirkus. Namun, penderitaan selalu merongrong, dan mereka kerap merasa tak berdaya.
Soal Derita
Gautama sudah berbicara soal ini lebih dari 2500 tahun yang lalu. Ia menyebut hidup ini sebagai dukkha. Artinya, hidup ini selalu berisi ketidakpuasan. Kebahagiaan datang sesaat, diikuti dengan kekecewaan yang datang bertubi-tubi.
Dukkha bukanlah penderitaan, melainkan rasa tidak puas yang lahir dari kesementaraan dari segala sesuatu. Tak ada hubungan yang abadi. Tak ada karir yang selalu menanjak. Bahkan, ketika semua terkesan sedang sempurna, kematian dan derita siap datang menyelinap.
Ini seperti roda kereta kuda yang tak mulus. Kereta tetap berjalan. Namun, ada ganjalan yang terus menganggu, sehingga rasa tidak nyaman terus muncul. Ini adalah perumpamaan untuk hidup manusia yang selalu dipenuhi ganjalan di setiap fasenya, bahkan ketika semuanya terlihat sempurna.
Dari mana penderitaan muncul? Jawabannya sederhana, yakni dari kebodohan kita. Kita memiliki pemahaman yang salah tentang dunia. Dari kesalahpahaman ini, beragam derita yang tak perlu datang, dan mencekik leher kita.
Kita mencengkram kenyataan yang ilusif. Padahal, segalanya sementara, dan tak bisa digenggam. Kita bisa menerima dan menikmatinya. Namun, saat waktunya tiba, kita mesti melepas, entah dengan rela, atau dengan terpaksa.
Nafsu mencengkram kenyataan ini memiliki beragam bentuk. Misalnya, kita berpisah dengan yang kita inginkan. Kita ingin sukses, sehat dan awet muda. Namun, itu semua hanya sementara, dan tak akan pernah bisa digenggam, apapun usaha yang kita lakukan.
Nafsu lainnya mewujud dalam bentuk penolakan. Kita mendapatkan hal yang sesungguhnya kita tolak. Kita terjebak dengan hal yang kita tak suka. Penolakan ini juga adalah sebentuk ketidaktahuan, yakni dengan mengira ada kenyataan yang bisa ditolak, dan ada subyek “aku” yang menolak.
Keluar dari Derita
Hidup manusia bergoyang di antara berbagai kutub ini. Entah kita kecanduan pada hal yang kita suka, mulai dari hubungan yang nyaman, karir yang bagus, makanan yang enak dan sebagainya. Atau kita terjebak pada hal yang kita benci. Bagaimana jalan keluar dari dilema kehidupan manusia ini?
Ketika derita datang, kita hanya perlu mengalaminya sepenuhnya. Tak ada penilaian. Tidak ada penolakan. Juga tidak ada keinginan untuk mencengkramnya.
Inilah yang disebut sebagai pengalaman murni. Ini hanya pengalaman sepenuhnya disini dan saat ini atas kenyataan sebagaimana adanya. Tidak ada subyek yang mengalami. Dan tidak ada obyek yang dialami.
Ketika sedih, sedihlah sepenuhnya. Ketika marah, marahlah sepenuhnya. Ketika jatuh cinta, jatuh cintalah sepenuhnya. Ketika patah hati, patah hatilah sepenuhnya.
Just do it, begitu kata Zen Master Seung Sahn. Dosa terbesar manusia, begitu kata Krishna, adalah keragu-raguan. Apapun yang di depan mata, alami sepenuhnya. Kata Nietzsche, berkatalah ya pada kehidupan seutuhnya (Ja sagen), dengan beragam warnanya yang terus berubah.
Dari pengalaman murni semacam ini, kejernihan akan muncul. Kita lalu bisa melihat keadaan sebagaimana adanya. Ada kepekaan pada kenyataan di depan mata. Tindakan yang tepat pun mengalir dari kepekaan dan kejernihan semacam ini. Saya mengembangkan pandangan ini cukup dalam di etika natural empiris. (Cek buku ini: Naskah Reza, Etika Natural Empiris )
Samsara
Ini sebenarnya bukan hal baru. Saya sudah menulis dan berbicara soal ini berulang kali di berbagai kesempatan. Beberapa kali, saya berbicara langsung tentang ini empat mata dengan banyak kawan.
Yang terjadi kemudian adalah perdebatan. Argumen-argumen dangkal diajukan. Pembenaran atas penderitaan diberikan. Saya berusaha menjelaskan sekali, lalu diam, dan membiarkan semua itu terjadi.
Ada juga yang mendengar, dan setuju. Mereka paham apa yang saya maksud. Namun, tidak ada perubahan cara berpikir, maupun bersikap. Mereka tetap hanyut dalam kebodohan mereka, dan terjebak di dalam derita.
Ada yang sudah belajar Zen dan Yoga secara intensif. Mereka mengikuti retret, walaupun sambil berlibur. Namun, pola mereka tetap sama. Kebodohan mereka tetap serupa, dan hidup mereka justru semakin menggulung di dalam ketakutan maupun penderitaan.
Ada satu konsep yang cocok menjelaskan ini, yakni samsara. Dalam bahasa Sanskrit, samsara berarti pola yang berulang. Orang terjebak pada kebiasaan yang kerap kali tak ia sadari. Walupun cerdas dan mungkin saja berpendidikan tinggi, orang tetap tak bisa keluar dari pola menyakitkan yang ia genggam tanpa sadar sebelumnya.
Musim Dingin
Inilah yang saya sebut menebar benih di musim dingin. Benih adalah pandangan yang tepat tentang kenyataan. Musim dingin adalah saat yang tak tepat untuk menanam, yakni analogi untuk orang yang belum siap mendengar pandangan tepat tersebut. Kebenaran tentang kenyataan jatuh ke dalam telinga yang belum siap menerima.
Bagaimana kita bersikap pada tanah di musim dingin? Cukup tebarkan benih sekali. Ungkapkan pandangan tentang dunia sebagaimana adanya, yakni jalan pembebasan itu sendiri. Jangan berdebat, atau memaksakan pandangan tersebut.
Ini seperti layaknya hidup seorang petani. Ketika menabur benih, ada yang tumbuh, dan ada yang lenyap. Kita tidak bisa memaksakan, supaya semua benih menjadi tanaman yang subur dan indah. Namun, kita punya kewajiban menyampaikan kebenaran, walaupun kerap jatuh pada telinga yang tuli.
Di jagat ini, semua ada waktunya. Ada waktunya menanam. Dan ada waktunya menuai. Ada waktunya datang, dan ada waktunya pergi.
Setelah menyadari lebih dalam, ternyata waktu pun tak ada. Lalu apa yang ada?…