Media Sosial, Kesadaran Kelas dan Amok Massa

(Foto: Reuters/Willy Kurniawan)

Oleh Reza A.A Wattimena

Jakarta, 31 Agustus 2025, sekitar jam 3 pagi, saya langsung berhadapan dengan massa penjarah. Mereka bukan demonstran. Mereka bukan mahasiswa, ataupun masyarakat sipil yang menuntut keadilan. Mereka adalah massa bayaran berusia sekitar 20 tahunan yang ditugaskan untuk merusak.

Mereka mengenakan masker dan menggunakan helm. Mereka mengendarai motor dengan knalpot brong yang merusak telinga. Mereka tak peduli moral dan hukum. Mereka dibayar untuk merusak, lalu langsung mengirimkan foto-foto bukti kerusakan tersebut pada sang penyandang dana kerusuhan.

Tak ada polisi. Tak ada tentara. Hanya warga yang saling menjaga. Penjarahan terjadi dalam skala amat kecil, namun tak ada api yang menyebar. Kami, sesungguhnya, cukup beruntung.

Di hari yang sama, sekitar jam 10 malam, ketika Jakarta membara, saya justru berkelana. Jalan-jalan Jakarta kosong. Orang-orang menetap di rumah dalam ketakutan. Saya merasakan, Jakarta sungguh gelap dan mencekam.

Ada aura kemarahan yang memuncak. Rasa benci atas beragam ketidakadilan yang tertahan selama ini membuncah keluar. Ada tuntutan tulus dari rakyat untuk perubahan mendasar politik dan ekonomi Indonesia. Namun, seperti yang saya hadapi langsung, ada pula massa bayaran yang membuat keadaan menjadi rusuh, dan merusak berbagai fasilitas masyarakat.

Semuanya bercampur aduk di empat hari di akhir Agustus 2025 itu. Saya menulis ini pada 1 September 2025. Keadaan masih panas. Masyarakat masih merasa takut dan tercekam.

Tujuh hal kiranya patut direfleksikan. Pertama, dunia digital mengubah lanskap demonstrasi. Informasi tersebar begitu cepat, baik yang akurat maupun yang penuh kebohongan. Dunia digital, dengan jaringan internet lancar dan media sosial yang majemuk, mendorong lahirnya gerakan-gerakan sosial yang menjadi motor beragam gerakan demonstrasi.

Dua, dunia digital pula yang melahirkan kesadaran akan kelas. Teori-teori filsafat tersebar begitu luas di dunia digital, bersama dengan sampah selebriti dan ajaran-ajaran radikal agamis. Salah satu teori yang kuat untuk memahami masyarakat adalah teori pertentangan kelas (Klassenkampf) yang lahir dari kesadaran kelas (Klassenbewusstsein), sebagaimana dikembangkan oleh Karl Marx.

Teori kesadaran kelas membuka mata kita, bahwa masyarakat itu tidak netral. Ada kelas pemilik modal (borjuasi) yang hidup dalam gelimang harta. Ada kelas pekerja (proletariat) yang hidup dalam kesulitan ekonomi dan perjuangan hidup tanpa henti. Kedua kelas ini hidup bersama, walaupun dipenuhi kebencian dan kecurigaan satu sama lain.

Teori pertentangan kelas juga menjelaskan, bahwa kelas pemilik modal akan bertarung dengan kelas pekerja. Kelas pekerja, dengan jumlah dan kemampuan yang mereka punya, akan memenangkan pertarungan. Mereka akan menguasai alat-alat produksi, lalu menyingkirkan kelas pemilik modal. Hasilnya adalah masyarakat tanpa kelas (klassenlose Gesellschaft), dimana orang hidup dalam kesetaraan dan keadilan sosial, sebagaimana dicita-citakan oleh para pendiri bangsa kita.

Tiga, Indonesia, kiranya, sedang mengalami pertentangan kelas semacam itu. Pertentangan itu terasa di udara. Ia tercium di berbagai tempat, mulai dari pasar yang bau amis sampai dengan hotel bintang lima yang mewah dan wangi. Yang paling jelas terlihat mata adalah kesenjangan/ketimpangan sosial yang tajam antara yang berpunya dan yang miskin.

Empat, pemicu kemarahan bangsa kemudian adalah kesombongan penguasa, baik di dunia keseharian maupun di dunia digital. Peran media sosial amat penting di dalam hal ini. Jogetan dan komentar menyayat hati rakyat, serta membangkitkan api amarah yang berkobar keras. Penjarahan rumah-rumah si penguasa sombong, walaupun melanggar hukum dan moral, perlu dipahami dalam bingkai teori pertentangan kelas ini.

Lima, kita juga bisa mencermati perilaku massa di minggu terakhir Agustus 2025 ini. Orang-orang yang ramah dan baik di dalam keseharian berubah beringas dalam hitungan detik. Si saleh berubah menjadi si perusuh dalam sekejap mata. Dalam gelombang kebersamaan, tata moral menjadi lenyap, dan digantikan dengan gairah untuk merusak apapun yang ada di depan mata.

Jumlah adalah kekuatan. Jumlah juga adalah kebenaran. Akal budi meredup, dan euforia merusak secara bersama-sama memuncak. Di dalam teori-teori massa, sebagaimana dikembangkan oleh Budi Hardiman, massa adalah perwujudan yang lain daripada manusia-manusia yang membentuknya.

Massa juga bersifat sensitif. Mereka gampang dibakar dengan slogan-slogan emosional. Mereka mudah dibayar dengan rupiah yang murah untuk menjarah dan mengancam. Ada gairah purba yang muncul di dalam gedung-gedung yang dilahap api, serta teriakan masyarakat umum yang tercekik oleh ketakutan.

Enam, di Indonesia, amok massa juga terkait erat dengan trauma dan ingatan kolektif kita sebagai bangsa. Kekerasan dan penjarahan menempel erat di dalam ingatan kolektif kita sebagai bangsa. Mereka mencipta trauma kolektif, yakni trauma yang dialami oleh sebuah kelompok besar. Di dalam trauma, luka lama sudah lewat, namun sengatan sakitnya masih terasa.

Ingatan (Gedächtnis) bukanlah sejarah (Geschichte). Sejarah bersifat sistematik dan terstruktur. Sementara, ingatan itu terurai dalam cerita dan kata. Ia hidup dan mengalir deras di dalam keseharian yang penuh warna.

Di Indonesia, trauma dan ingatan ini menjadi identitas. Kita melupakan apa yang menyakitkan. Namun, lupa tidak melenyapkan peristiwa dan trauma. Lupa justru membuat trauma terpendam membara, dan siap meledak kapanpun menjadi konflik besar yang merusak. Inilah kiranya yang kita saksikan di akhir Agustus 2025 ini di berbagai kota Indonesia. Saya mengembangkan kerangka berpikir ini secara mendalam di dalam disertasi yang berjudul Zwischen kollektivem Gedächtnis, Anerkennung und Versöhnung (bisa cek di google).

Tujuh, lalu, apa yang bisa dan mesti dilakukan? Jawabannya sederhana. Di tingkat pribadi, kita perlu melakukan transformasi kesadaran ke arah yang lebih tinggi. Di tingkat sosial, kita perlu menciptakan tata politik yang progresif dan inklusif. Tata politik dan ekonomi harus berpihak pada keadilan serta kemakmuran semua mahluk. Buku ini kiranya bisa memberikan peta yang lebih jelas: Teori Transformasi Kesadaran Unlimited

Demonstrasi akhir Agustus 2025 ini lahir tulus dari hati rakyat yang tercekik oleh ketidakadilan. Ia ditunggangi oleh massa bayaran dengan sponsor busuk tertentu. Namun, tunggangan massa tersebut tidak boleh melupakan tuntutan tulus rakyat yang telah disuarakan dengan keras. Memasuki September 2025, semoga Indonesia bisa mulai menyembuhkan diri…

Dipublikasikan oleh

avatar Tidak diketahui

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Kesadaran, Agama dan Politik. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023), Zendemik (2024), Teori Politik Progresif Inklusif (2024), Kesadaran, Agama dan Politik (2024) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.