Saya tak kenal Affan Kurniawan. Ada 20 juta lebih manusia di Jakarta ini. Namun, berita kematiannya sungguh membuat saya terpukul. Era digital membuat semua informasi menjadi begitu mudah mengalir.
Sejak pagi, hati saya pilu. Beberapa kali, air mata menetes. Mungkin, karena ia meninggal dengan jaket hijau khas ojek online. Sepuluh tahun terakhir, hidup saya banyak terkait dengan jaket hijau tersebut.
Setiap hari, mereka datang ke rumah saya. Ada yang mengantar paket. Ada yang mengantar makanan. Bisa dibilang, bagi saya, dan bagi jutaan rakyat Indonesia, jaket hijau itu sudah seperti anggota keluarga.
Kadang, ada yang bandel. Mungkin, mereka kelelahan, karena kacaunya tata kota Jakarta. Namun, saya selalu puas dan senang, ketika mereka datang. Ucapan terima kasih dan tip kecil sungguh membuat senyum mereka merekah.
Terkadang, saya kesal juga dengan mereka. Mereka suka mengendarai motor dengan melawan arah. Mungkin, keadaan yang mencekik mereka. Mereka muak dengan kesulitan ekonomi yang dibarengi dengan membusuknya aparat penegak hukum, Dewan Parasit Rakyat (DPR) dan kelakuan bejat rezim gemoy fufufafa.
Jaket hijau itu kini memerah. Tubuhnya berkucuran darah dilidas aparat yang hidup dari pajak rakyat. Ia diabaikan para tikus DPR dan rezim gemoy fufafafa yang bejat. Bersama dengan ratusan juta rakyat Indonesia lainnya, saya dan para jaket hijau ini sungguh muak dengan kelakuan para politisi Indonesia saat ini.
Bara dalam sekam republik kini semakin membara. Kemarahan sudah memuncak. Api revolusi untuk menjatuhkan rezim korup sudah menyala terang. Jika tak disingkapi dengan bijak, Indonesia bisa runtuh.
Namun, rezim tetap tuli. Mereka cuek, dan duduk nyaman menikmati uang rakyat di ruangan yang serba nyaman. Sikap cuek ini bagaikan minyak yang dituangkan ke dalam bara sanubari rakyat. Indonesia butuh pemerintahan baru, atau lebih baik pecah.
Di usia awal 40 an ini, gairah demo saya masih membara. Namun, tubuh sudah tak seperti dulu. Saya tak lagi mampu berdiri berjam-jam, dan beradu otot dengan aparat. Walaupun begitu, saya memberikan dukungan moral dan simpati nurani terdalam untuk para pendemo di akhir Agustus 2025 ini.
Saat ini, merekalah wakil rakyat yang sebenarnya. Mereka mewakili jeritan derita rakyat. Mereka berteriak melawan ketidakadilan yang dipertontonkan dengan gamblang di depan mata. Taruhan mereka pun berat, yakni rusaknya tubuh, bahkan kelihangan nyawa.
Jaket hijau Affan itu sudah memerah. Darahnya menjadi warna jeritan rakyat melawan segala bentuk ketidakadilan rezim korup. Mungkin, Affan tak mengerti kajian geopolitik global, ataupun hukum tata negara yang penuh kedunguan itu. Namun, darahnya kini menarik simpati dunia, dan gelombang api revolusi perubahan sedang menuju Jakarta.
Fan.. saya tak kenal kamu, tetapi kamu adalah saya. Kamu adalah kita. Selamat jalan… Fan…
