
Oleh Reza A.A Wattimena
“Mengapa terus berbelanja? Apakah elo membutuhkan semua barang itu”? Jawabannya singkat: “tidak. Gua belanja, supaya hepi”. Begitu secuil percakapan saya dengan seorang kawan.
Jika tidak belanja, katanya, ada rasa hampa di dada. Ada rasa bosan yang mencekik. Dengan adanya ponsel cerdas, semua info untuk belanja bisa didapat. Belanja hal-hal yang tak perlu pun menjadi amat mudah.
Setelah membeli barang-barang tersebut, tak hanya hati yang tetap kosong. Rekening pun mengikuti menjadi kosong. Kebutuhan manusia itu, sesungguhnya, tak banyak. Namun, keinginan, yang disetir oleh rasa hampa di hati dan taktik pemasaran manipulatif industri, luas tak terbatas.
Keinginan tak terbatas, tetapi kemampuan terbatas. Indonesia sedang gelap, baik secara politik, ekonomi, agama maupun budaya. Karena tak ada uang, pinjol (pinjaman online) pun menjadi pilihan untuk mengisi kecanduan belanja. Teman baik saya itu kini menjadi langganan pinjol yang setia.
Tak hanya belanja, manusia memiliki beragam kecanduan. Yang paling sering ditemukan adalah kecanduan seks, kecanduan kekuasaan, makan, narkoba dan kecanduan ponsel cerdas. Kecanduan, dalam arti ini, adalah sebuah kegiatan yang mesti dilakukan, supaya orang menemukan kebahagiaan. Jika ia tidak melakukannya, rasa derita yang mencekik akan muncul di dada.
Di dalam tradisi Asia, pola ini disebut juga sebagai kelekatan. Orang menempelkan kebahagiaannya pada suatu benda, atau kegiatan tertentu. Jika benda, atau bahkan manusia, itu berubah, kebahagiannya pun bergeser. Jika ia tidak bisa melakukan kegiatan yang ia lekati, derita pun bertumbuh.
Kelekatan, kiranya, adalah salah satu sumber utama penderitaan manusia. Ia juga merupakan sumber utama perasaan kurang, atau perasaan tak utuh. Yang paling halus, orang melekat pada pikiran maupun perasaannya. Ketika pikirannya disanggah, atau perasaannya tak diakui, beragam derita pun muncul di dada.
Untuk itu, kita perlu belajar untuk merasa utuh. Sejatinya, kita sudah selalu utuh dan penuh. Kita sudah selalu sempurna sebagaimana adanya. Hanya karena kesalahpahaman, kita melekat pada sesuatu di luar diri, dan kemudian jatuh dalam lubang derita.
Ada enam hal yang kiranya perlu diperhatikan. Pertama, perasaan kurang akan muncul, jika kita selalu mencari kebahagiaan di luar diri. Bentuknya beragam, seperti belanja, jabatan, ngopi, traveling, narkoba, seks, agama dan sebagainya. Keadaan di luar terus berubah, dan ketika itu terjadi, kebahagiaan akan terlepas, serta rasa kurang maupun hampa pun muncul.
Dua, jalan keluar dari rasa kurang adalah dengan melihat ke dalam. Dalam bahasa Inggris, kalimat ini terasa lebih nikmat: going in is the only way out. Perhatian kita arahkan pada segala bentuk kehidupan di dalam diri, mulai dari nafas, sensasi tubuh, sampai perubahan pikiran maupun emosi yang terjadi. Kita berjangkar pada kenyataan disini dan saat ini lewat tubuh kita.
Tiga, langkah lebih jauh adalah dengan menyadari kesadaran itu sendiri. Kita menyadari kehidupan yang berdenyut di dalam diri kita. Kita mengamati sang pengamat, yang adalah diri kita sendiri. Jika ini dilakukan, pikiran serta perasaan akan terhenti secara alamiah, dan kita akan menyentuh kesadaran murni yang merupakan diri kita yang sebenarnya. Rasa utuh dan penuh juga akan muncul dari dalam diri.
Empat, setelah menyadari kesadaran dalam diri, kita lalu beristirahat di dalam keadaan batin semacam itu. Di titik ini, semua sudah sempurna, utuh dan penuh, sebagaimana adanya. Di dalam Zen, ini adalah keadaan batin sebelum pikiran muncul. Dengan melihat dan menyadari ke dalam diri, kita tidak lagi membutuhkan apapun untuk merasa bahagia.
Lima, ini semua tentu adalah latihan tanpa henti. Kita mengubah kebiasaan yang amat mendasar, yakni selalu mencari keluar diri untuk mendapatkan sensasi, dan juga kebahagiaan. Kita mengubah arah perhatian ke dalam diri, yakni ke sumber kehidupan itu sendiri. Kita menemukan kepenuhan dan keutuhan yang stabil di dalam diri.
Enam, kegagalan tentu pasti terjadi. Kekuatan dari kebiasaan amatlah besar. Kita terus kembali memperhatikan dunia luar, dan kemudian melekat padanya. Ini tidak masalah, asalkan kita kembali sadar, dan mengubah arah perhatian kita ke dalam diri, sehingga tumbuh kebiasaan baru.
Kita selalu utuh dan penuh di dalam diri kita sendiri. Kita bukanlah mahluk lemah dan penuh dosa, seperti yang menjadi ajaran sesat dari agama kematian.
Secara fisik, kita membutuhkan seluruh alam semesta, terutama untuk menopang tubuh kita. Namun, untuk mencapai kebahagiaan dan kepenuhan hidup, kita perlu mengubah arah perhatian ke dalam diri kita sendiri, dan menjadi kesadaran murni itu sendiri. Setelah cukup stabil sebagai kesadaran murni, kepenuhan dan keutuhan hidup pun berada di genggaman. Kita berhenti menjadi pengemis kepada belas kasih orang lain, ataupun kelekatan kita sendiri.
Apakah masih boleh belanja? Apakah masih boleh menikmati hidup? Jelas boleh. Lakukan semuanya, mulai dari belanja, seks sampai beragama, asalkan tidak ada kelekatan di dalamnya. Inilah jalan hidup yang terbaik…