Kemerdekaan dan Panggilan Mencintai

Jörg Hövel

Oleh Dhimas Anugrah, Penulis buku “Filosofi Kematian” (Kanisius, 2024) dan Ketua Circles Indonesia, komunitas pembelajar di bidang budaya, filsafat, dan sains.

Delapan puluh tahun kemerdekaan Republik Indonesia adalah sebuah rahmat yang patut kita rayakan. Bukan hanya lewat upacara seremonial tentunya, tapi juga melalui perenungan filosofis yang agak mendalam. Sejarah bangsa ini tidak terjadi begitu saja, melainkan dibentuk oleh arah dasar keberadaan manusia sebagai makhluk yang mencari makna.

Dalam filosofi eksistensial, Martin Heidegger memperkenalkan konsep Sein zum Tode, atau berada menuju kematian, yaitu kesadaran bahwa manusia sepanjang hidupnya selalu bergerak menuju akhir. Eksistensi manusia tak bisa dilepaskan dari kefanaan. Heidegger menyatakan bahwa manusia yang sadar akan keberadaannya “selalu telah menuju akhirnya” (Being and Time, 1962).

Heidegger memang tidak selalu mudah dipahami. Namun, bila kita mengalihkan sorot eksistensial ini pada pengalaman historis Indonesia, terutama dalam konteks kemerdekaan, maka kita menemukan tafsir yang memperluas pemahaman akan keberadaan. Kemerdekaan Indonesia memberi kita pelajaran bahwa eksistensi manusia tidak semata diarahkan oleh kematian. Ia dapat pula dibaca sebagai Sein zum Lieben, atau berada menuju cinta, sebuah konsep yang saya gagas untuk menandai orientasi hidup yang berakar pada relasi, pengabdian, dan pencarian makna bersama.

Orientasi menuju Cinta

Dalam kerangka eksistensial Heidegger, Sein zum Tode bukan sekadar kesadaran akan kematian biologis, melainkan panggilan untuk hidup secara autentik, terlepas dari arus keberadaan yang dangkal (das Man). Kesadaran akan akhir ini membebaskan manusia menilai kembali apa yang benar-benar bernilai dalam hidupnya. Di titik inilah Sein zum Lieben menemukan fondasinya. Orientasi menuju cinta lahir justru karena kesadaran akan kefanaan: tanpa horizon kematian, cinta mudah direduksi menjadi emosi sesaat atau sekadar hasrat posesif.

Sein zum Lieben tidak menghapus Sein zum Tode, melainkan mengolahnya menjadi arah yang lebih luhur. Kesadaran akan kefanaan memberi bobot etis pada cinta, mengubahnya menjadi komitmen membangun relasi yang bermakna, memberi diri pada yang lain, dan meninggalkan warisan nilai bagi masa depan. Dalam dialektika ini, kesadaran akan batas hidup menyalakan keberanian untuk mengarah ke luar dari diri, merawat yang lain, dan membangun dunia bersama.

Maka, delapan dasawarsa pascakemerdekaan ini menjadi panggilan bagi kita melihat ke dalam dan ke sekitar: apakah kita masih setia pada panggilan cinta itu? Tantangan hari ini bukan lagi kolonialisme fisik, melainkan berbagai bentuk “kematian dari dalam,” mulai dari krisis empati, korupsi yang merusak fondasi bangsa, hingga polarisasi sosial yang mengoyak tenun kebangsaan.

Kolonialisme sebagai Sein zum Tode

Untuk memahami kedalaman makna kemerdekaan sebagai Sein zum Lieben, kita perlu menatap langsung realitas yang menjadi lawannya: kolonialisme sebagai Sein zum Tode. Dalam pengertian paling harfiah, kolonialisme menghadirkan kematian fisik yang brutal. Penderitaan rakyat pada masa penjajahan tidak hanya tercatat dalam arsip sejarah, tapi juga terpatri dalam memori kolektif bangsa: kerja paksa (romusha) yang memeras tenaga hingga ajal, eksploitasi sumber daya yang mengabaikan kehidupan manusia, dan peperangan yang merenggut nyawa tanpa pandang bulu. Inilah wajah paling telanjang dari Sein zum Tode, keberadaan yang diarahkan menuju kehancuran raga.

Gambaran ini telah lebih awal dikecam keras oleh Raden Mas Soewardi Soerjaningrat dalam pamfletnya yang terkenal Als Ik Een Nederlander Was (1913). Di sana, ia menyerang hipokrisi kolonialisme Belanda yang mengklaim membawa peradaban, tapi justru menebarkan kematian dan penderitaan bagi bangsa terjajah. Suaranya yang lantang dan menggugah hati nurani, bersama Douwes Dekker dan dr. Tjipto Mangunkusumo, menegaskan bahwa kemerdekaan bukan sekadar pelepasan dari kekuasaan asing, melainkan pembebasan eksistensial, ke luar dari mode keberadaan yang meniadakan kehidupan menuju bentuk eksistensi yang merayakan martabat manusia.

Kematian yang dihadirkan kolonialisme tidak berhenti pada tubuh. Ia juga mematikan kemanusiaan itu sendiri. Rakyat Indonesia direduksi menjadi sekadar objek, alat produksi tanpa suara, entitas tanpa martabat. Seperti yang ditegaskan oleh pemikir dekolonial Frantz Fanon, kolonialisme tidak hanya puas dengan sekadar mencengkeram suatu bangsa secara fisik, tapi juga berupaya mematahkan kehendak terdalam mereka untuk melawan melalui kekerasan psikologis (The Wretched of the Earth, 1963)

Identitas kultural, bahasa, dan nilai-nilai luhur bangsa disubordinasikan di bawah hasrat penguasa kolonial. Ini adalah kematian mental, di mana manusia kehilangan pengakuan atas dirinya sebagai subjek yang berharga. Kolonialisme meniadakan yang lain (l’Autre), menghapus keberlainan sebagai kekayaan, dan memaksakan satu citra yang hanya memantulkan kehendak sang penjajah.

Perjuangan sebagai Sein zum Lieben

Jika kolonialisme adalah representasi sempurna dari Sein zum Tode, maka perjuangan kemerdekaan adalah antitesisnya yang paling radikal, sebuah gerakan yang sepenuhnya didorong oleh Sein zum Lieben. Perlawanan terhadap penjajahan bukanlah sekadar reaksi atas kekerasan, melainkan sebuah afirmasi cinta yang mendalam terhadap kemanusiaan yang terancam punah. Perjuangan untuk merdeka, pada dasarnya, adalah tindakan mencintai diri sendiri sebagai sebuah bangsa yang bermartabat.

Ini adalah penolakan tegas untuk terus-menerus diobjektivikasi dan direduksi menjadi alat oleh pihak lain. Cinta pada diri sendiri ini termanifestasi dalam kesadaran kolektif bahwa bangsa ini memiliki keberadaan yang unik, yang tidak boleh ditukar dengan status bawahan yang hina. Ia adalah deklarasi atas kebebasan menentukan takdir sendiri, mengukir masa depan dengan tangan sendiri, dan berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Cinta ini tidak berhenti pada diri sendiri. Ia meluas, meluber menjadi cinta pada sesama (l’Autre) dalam konteks kebangsaan. Perjuangan kemerdekaan adalah kisah luar biasa tentang bagaimana cinta mampu menyatukan berbagai suku, bahasa, dan agama yang sebelumnya mungkin terpisah oleh prasangka dan kepentingan.

Bung Karno, Bung Hatta, dan para Bapa Pendiri Bangsa menyadari bahwa penderitaan yang dialami bukanlah milik satu kelompok, melainkan penderitaan bersama. Dari kesadaran inilah lahir bela rasa dan pengorbanan kolektif yang luar biasa. Semangat gotong royong menjadi praksis nyata dari cinta itu, di mana setiap orang, tanpa memandang asal-usulnya, rela memberikan yang terbaik demi kebaikan bersama.

Dalam konteks ini, mencintai yang lain berarti mengakui mereka sebagai subjek yang setara, bukan sebagai “orang dari suku seberang” atau “pemeluk agama lain” yang layak dicurigai. Deklarasi Sumpah Pemuda tahun 1928, dengan seruan “satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa,” adalah wujud konkret dari cinta ini, sebuah janji untuk memandang sesama sebagai bagian tak terpisahkan dari diri.

Praksis cinta ini menuntut keberanian melampaui ego dan kepentingan pribadi, sebuah komitmen untuk memberi, bahkan mengorbankan diri, demi sesuatu yang lebih besar dari kehidupan manusia. Dalam semangat inilah Bung Karno menyatakan dengan tegas, “Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka” (Di Bawah Bendera Revolusi, 1965)

Pernyataan ini bukan sekadar seruan politis, melainkan juga refleksi eksistensial. Sebab hanya bangsa yang mencintai dirinya, yang menghargai martabatnya, sejarahnya, dan potensinya, yang dapat bangkit, berdiri, dan memerdekakan dirinya. Inilah esensi terdalam dari Sein zum Lieben: keberadaan yang tidak hanya didefinisikan oleh apa yang ia miliki, tetapi oleh apa yang ia berikan demi cinta.

Menghidupi Sein zum Lieben dalam Kemerdekaan Hari Ini

Delapan puluh tahun kemerdekaan bukanlah sekadar penanda waktu, ia sebuah undangan untuk terus menghidupi Sein zum Lieben di dalam konteks kontemporer. Cinta yang dulu menjadi api perjuangan kemerdekaan layak menemukan bentuk-bentuk praksis baru agar tidak redup menjadi sekadar slogan. Dalam lanskap demokrasi kini, Sein zum Lieben menuntut perwujudan nyata baik dari pemerintah maupun rakyat, karena kemerdekaan bukanlah warisan yang tinggal dinikmati, melainkan amanat yang harus dihidupi.

Bagi pemerintah, Sein zum Lieben berarti menjadikan pelayanan publik sebagai panggilan moral, bukan sekadar fungsi administratif. Pemerintah yang menghidupi Sein zum Lieben akan memandang rakyat bukan sebagai objek kekuasaan, tapi sebagai subjek yang setara, yang aspirasinya layak dihormati dan suaranya layak didengar. Seperti yang pernah ditegaskan Abraham Kuyper, bahwa dalam ranah sosial, setiap bidang memiliki kedaulatannya sendiri. Keluarga memiliki kedaulatannya, dunia usaha memiliki kedaulatannya, ilmu pengetahuan memiliki kedaulatannya, seni memiliki kedaulatannya, dan seterusnya (Lectures on Calvinism, 1943). Prinsip ini mengingatkan bahwa cinta dalam tata kelola negara terwujud ketika setiap ranah kehidupan dihormati martabat dan otonominya, sehingga negara tidak menjadi kekuatan yang menelan segalanya, melainkan pelayan bagi kehidupan bersama.

Sementara itu, bagi rakyat, Sein zum Lieben berarti kesediaan menjaga dan merawat ruang publik sebagai milik bersama. Cinta ini terwujud-nyatakan dalam sikap saling menghargai, membangun bela rasa lintas perbedaan, serta menolak retorika yang memecah belah. Gotong royong, yang menjadi roh perjuangan kemerdekaan, dapat diperbarui dalam bentuk partisipasi aktif: membayar pajak dengan jujur, menjaga kebersihan dan ketertiban umum, mengawasi jalannya pemerintahan, hingga terlibat dalam diskursus publik dengan cara yang bermartabat. Di era polarisasi politik dan banjir informasi, mencintai bangsa berarti juga membela kebenaran, menolak hoaks, dan membangun narasi yang memperkuat kohesi sosial.

Di sini, Sein zum Lieben menjadi proyek peradaban yang melampaui batas waktu dan sekat identitas. Ia menyatukan keberadaan manusia dalam ruang etis yang inklusif, ruang yang menghargai keberagaman sebagai kekayaan, bukan ancaman. Sebagaimana KH. Abdurrahman Wahid pernah berkata, “Tidak penting apa agamamu atau sukumu… kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu” (Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat, 2007).

Ujaran ini menegaskan bahwa cinta yang menjadi dasar keberadaan bukanlah cinta yang bersyarat pada identitas, tapi cinta yang bertumbuh dari kepedulian terhadap sesama dan tanggung jawab terhadap kehidupan bersama. Maka, Sein zum Lieben bukan hanya gagasan filosofis, ia adalah etika hidup bersama, sebuah panggilan untuk terus membangun bangsa di atas dasar kasih, keadilan, dan penghormatan terhadap martabat semua orang.

Menjaga Arah dari Sein zum Tode Menuju Sein zum Lieben

Kemerdekaan yang kita rayakan pada bulan ini adalah jembatan yang dibangun di atas jurang Sein zum Tode. Ia lahir dari keberanian kolektif untuk menolak arah menuju kematian, baik raga, kemanusiaan, maupun harapan, dan memilih jalan menuju cinta. Delapan puluh tahun lalu, para pendiri bangsa telah mengubah orientasi eksistensi kita: dari bangsa yang diatur oleh hasrat penjajah menjadi bangsa yang menentukan nasibnya sendiri.

Namun, jembatan itu tidak akan abadi jika kita hanya berdiri di atasnya tanpa bergerak. Sein zum Lieben menuntut kita terus melangkah, mengarahkan setiap kebijakan, tindakan, dan pikiran pada pemeliharaan martabat, bela rasa, dan masa depan bersama. Kemerdekaan sejati tidak diukur dari usia negara, melainkan dari kedalaman cinta yang mewarnai setiap denyut kehidupan warganya.

Jika Sein zum Tode adalah kesadaran bahwa semua akan berakhir, maka Sein zum Lieben adalah komitmen bahwa selama hidup masih berdenyut, cinta perlu bekerja. Inilah panggilan kita hari ini: menjaga agar kemerdekaan tetap menjadi ruang di mana cinta bertumbuh, bukan medan di mana kematian nilai-nilai kembali berkuasa. Seperti yang pernah dikatakan oleh Martin Luther King Jr, bahwa cinta adalah satu-satunya kekuatan yang mampu mengubah musuh menjadi sahabat (Strength to Love, 1963). Kata-kata ini bukan sekadar idealisme, melainkan prinsip reformasional yang telah terbukti dalam sejarah, bahwa cinta bukanlah kelemahan, tetapi kekuatan transformatif. Dalam konteks kita, cinta adalah kekuatan yang menyatukan yang berbeda, menyembuhkan yang terluka, dan membebaskan yang tertindas. Sebab, bangsa yang menghidupi cinta tidak akan gentar pada ancaman apa pun, karena ia telah memilih arah eksistensinya dengan pasti: menuju kehidupan yang penuh makna, menuju cinta yang tak pernah padam.

Dipublikasikan oleh

avatar Tidak diketahui

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Kesadaran, Agama dan Politik. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023), Zendemik (2024), Teori Politik Progresif Inklusif (2024), Kesadaran, Agama dan Politik (2024) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.