
Oleh Reza A.A Wattimena
Negara Bandit, itu konsep yang keluar dari pikiran Pak Fransisco Budi Hardiman, mentor sekaligus sahabat saya dalam berpikir. Setiap berjumpa dengannya, inspirasi selalu menyala. Begitu banyak ide bertebaran di kepala. Mereka menunggu untuk dituangkan di dalam tulisan.
Di dalam negara bandit, penguasa saling menyandera. Kebuntuan politik, hukum dan ekonomi pun tercipta. Yang menjadi korban adalah masyarakat luas. Tidak ada lagi acuan terhadap “kebaikan bersama”.
Kebijakan dibuat bukan untuk kebaikan bersama, melainkan untuk menyelamatkan diri dan kelompok. Hukum diinjak-injak. Moralitas dibuang ke neraka. Kerakusan dan kebiadaban pun merajalela.
Politik menjadi mampat. Ekonomi dipenuhi kedunguan dan ketidakadilan. Rakyat dipertontonkan pertunjukkan orang-orang dungu yang saling bermanuver berebut kekuasaan semu. Di dalam semua itu, Indonesia semakin miskin dan bodoh di segala bidang.
Slogan Indonesia gelap kiranya amat sesuai dengan kenyataan. Tidak hanya gelap, Indonesia juga semakin kusut. Menjelang perayaan “kemerdekaan” di 2025 ini, kita justru semakin terjajah oleh para bandit lokal. Indonesia, sungguh, telah menjadi negara bandit.
Dalam keadaan gelap, kusut dan mencekik semacam ini, apa peran filsafat? Saya melihat setidaknya delapan hal penting. Pertama, filsafat tetap menjadi penjaga obor akal sehat. Dengan kekayaan sejarah pemikiran lintas peradaban, filsafat bagaikan gudang akal sehat yang siap menyediakan amunisi untuk menyuarakan pandangan-pandangan yang seimbang tentang kehidupan sebagai keseluruhan.
Dalam arti ini, akal sehat berarti pandangan yang bersifat inklusif progresif. Saya mengembangkan ini cukup mendalam di dalam teori politik progresif inklusif. Inklusif berarti pandangan tersebut mempertimbangkan semua unsur yang ada secara seimbang. Segala bentuk diskriminasi, baik kepada manusia maupun kepada semua mahluk, dihindari. Progresif berarti kesiapan untuk melepaskan pandangan-pandangan sempit, yang kerap kali bercokol pada tradisi maupun agama yang sudah diterima luas sebelumnya.
Dua, filsafat mendorong kita untuk berpikir kritis. Kita diajak untuk tidak menerima pandangan apapun secara buta. Kita diajak untuk bertanya dan mengolah semua informasi maupun argumen yang ada. Di negara bandit, berfilsafat berarti terus mempertanyakan segala kebijakan maupun pandangan umum yang tersebar di masyarakat.
Tiga, para filsuf di dalam sejarah lintas peradaban mengajarkan kita satu hal, yakni keterlibatan total pada kehidupan. Filsafat adalah upaya untuk memahami dan memaknai tanda-tanda jaman yang terus berganti. Berfilsafat berarti terlibat sepenuhnya di jaman yang penuh kegelapan ini. Keterlibatan tersebut didorong untuk dorongan untuk menciptakan masyarakat yang bebas dari kemiskinan maupun kebodohan di dalam segala bentuknya.
Empat, keterlibatan adalah roh dari aktivisme. Namun, di 2025 ini, aktivisme terbelah dua, yakni aktivisme semu dan aktivisme otentik. Para aktivis semu terlibat di dalam hidup bermasyarakat untuk mencari nama dan jabatan, lalu bungkam setelah menjadi menteri, wamen, komisaris serta jabatan-jabatan dungu lainnya. Sementara, para aktivis otentik terlibat penuh untuk mewujudkan masyarakat bebas dominasi. Filsafat, sebagai pilar akal sehat dan pemikiran kritis, jelas berada di jantung hati para aktivis otentik.
Lima, di masa kegelapan semacam ini, dimana orang-orang korup dan busuk berkuasa, kewarasan adalah sesuatu yang langka. Depresi sudah menjadi pademi sunyi yang mendunia. Penderitaan batin dirasakan oleh milyaran orang di dalam diam. Filsafat, terutama tradisi Yunani kuno dan Asia, bisa membantu kita tetap waras dengan terus berpijak pada kenyataan yang sungguh ada di sini dan saat ini.
Enam, secara khusus, filsafat bisa membantu kita hidup berkesadaran. Saya mengembangkan pandangan ini secara utuh di dalam teori transformasi kesadaran. Kesadaran manusia, pada dasarnya, sudah seluas semesta, dan merupakan sumber kehidupan itu sendiri. Namun, karena pemahaman yang salah tentang dirinya sendiri dan tentang kehidupan, banyak orang terjebak pada pandangan sempit yang menciptakan penderitaan serta konflik dengan mahluk hidup lain. Berfilsafat, dalam arti ini, berarti melakukan transformasi kesadaran, sehingga kejernihan bisa muncul di dalam bersikap tepat, sesuai keadaan yang ada.
Tujuh, filsafat, kiranya, kini soal bertahan hidup. Akal sehat dan pemikiran kritis adalah dua hal yang selalu dibutuhkan di segala jaman. Kita tak mudah tertipu, dan tak mudah terbawa arus perubahan jaman yang kian membingungkan. Berfilsafat di negara bandit berarti berusaha bertahan hidup di tengah kekacauan yang ada, sambil terus melakukan perubahan-perubahan yang mungkin.
Delapan, saya teringat argumen dari Johannes Wallacher, rektor saya di Jerman dulu. Filsafat, baginya, adalah ilmu pemberi arah (Orientierungswissenschaft). Di tengah kebuntuan multidimensional, filsafat menyediakan panduan hidup untuk mewujudkan kebahagiaan, keadilan dan kemakmuran bersama. Dengan sifatnya yang terbuka dan terus berubah, filsafat memberikan kesegaran di dalam menapaki kenyataan yang sementara ini.
Agustus 2025, Indonesia telah menjadi negara para bandit. Para bandit tak tahu malu itu saling menyandera satu sama lain, merusak hukum, menciptakan ketidakadilan, serta terus mempertontonkan kedunguan mereka di hadapan masyarakat. Api revolusi rakyat telah membara, dan siap meledak ke muka para bandit tersebut. Berfilsafat di negara para bandit berarti merawat api revolusi tersebut, sehingga tetap menyala nyata di tengah kegelapan yang mencekam…
Referensi klik: Teori Transformasi Kesadaran Unlimited