
Oleh Syarif Maulana, Filsuf dan Budak Cinta
Jangan-jangan saya sendirilah yang kegocek, karena menulis ini hingga bagian ketiga (mudah-mudahan bagian terakhir). Saya teringat pernah menulis perkara perselisihan filsafat analitik dan filsafat kontinental yang dimulai pada tahun 1913, ketika 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Waindelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jerman, Austria, dan Swiss untuk tidak lagi mengizinkan ranah psikologi eksperimental masuk ke departemen filsafat (Kusch, 1995: 191-192).
Sederhananya, psikologi eksperimental ditolak sirkel filsafat, karena menyederhanakan problem filsafat menjadi sekadar perkara mental subyektif. Penolakan atas apa yang oleh orang-orang filsafat kala itu disebut “psikologisme”, membelah aliran filsafat menjadi dua kubu yang lestari hingga sekarang: turunan Edmund Husserl menjadi kelompok aliran filsafat kontinental, sementara turunan Gottlob Frege menjadi kelompok aliran filsafat analitik. Penjelasan terkait kedua aliran tersebut tidak akan dibahas dalam artikel ini.
Menariknya, rasa was-was Husserl dan kawan-kawan ternyata ada benarnya, psikologi eksperimental tumbuh pesat, menjadi cabang ilmu yang dipandang lebih meyakinkan ketimbang filsafat yang serba spekulatif. Psikologi eksperimental yang diinisiasi oleh orang-orang seperti Wundt, Brentano, Lipps, Fechner, dan Ebbinghaus, mengklaim dirinya sebagai ilmu mandiri berbasis eksperimen yang mengandalkan observasi laboratorium dan data statistik untuk menyelidiki pikiran dan perilaku manusia.
Inilah sebenarnya yang menjadi salah satu pendasaran si influencer (meskipun kemungkinan besar tidak tahu perkara perselisihan psikologisme) dalam menunjuk bahwa filsafat tak lagi relevan: sains sudah menyuguhkan bukti-bukti empirik yang telah dengan ciamik menggantikan nalar spekulatif dari filsafat. Seandainya dia lebih pintar, mungkin yang dia maksudkan adalah perkembangan psikologi eksperimental (termasuk yang berkembang menjadi neurosains sebagai disiplin yang dia agungkan karena kebetulan dekat dengan salah satu pakarnya) yang tampak lebih progresif ketimbang filsafat yang bergulir di area itu-itu saja. Kesimpulannya, seperti yang kita ketahui: tutup jurusan filsafat.
Psikologi eksperimental tampak melaju hingga hari ini meski mendapat gonggongan sana sini termasuk di periode awalnya oleh serangan Husserl dan Frege. Sama saja, keberatan para filsuf masa kini terhadap pernyataan bahwa “sains lebih penting”, kadang tak membuat filsafat juga tampak jadi lebih penting. Serangan Husserl dan Frege tidak membuat psikologi eksperimental bubar atau melunak sedikitpun.
Memang kelihatannya demikianlah watak filsafat. Dia akan selalu terlihat tak berguna dari masa ke masa, karena apa yang menjadi objek kritikannya kerap berjalan seperti biasanya. Televisi tetap berada di tengah-tengah kita (walau bentuknya bermetamorfosis) meski Adorno, Horkheimer, dan Postman telah menghantamnya berkali-kali. Kapitalisme malah bertambah kuat, meski Marx, Deleuze, Debord hingga Bauman sudah melancarkan serangan terhadapnya. Jadi, kalau mau merenungkan kata-kata si influencer walau saya yakin dia sih asal nyeletuk saja demi monetisasi, tapi bolehlah kita pertanyakan, apa dong gunanya filsafat kalau menahan laju psikologi eksperimental saja tak sanggup, kalau apa yang dikritiknya pun tak jadi mati dan malah bertambah bugar?
Inilah justru poin penting yang disuguhkan Heidegger perkara Dasein (sebutan Heidegger untuk manusia) sebagai entitas yang tak pernah berhenti hanya pada beings. Sains selalu bicara tentang beings, tentang benda-benda yang bisa dijangkau, dihitung, diselidiki alias objek-objek dunia. Kedigdayaan sains yang sesumbar bisa menjawab semua tak membuat Dasein kehilangan rasa herannya terhadap dunia. Sains selalu punya kata-kata sakti bahwa yang tidak terjelaskan hanyalah belum terjelaskan dan nantinya akan terjelaskan. Namun semangat zaman pencerahan sudah berkata demikian sejak dua ratusan tahun silam dan rasa heran manusia tak juga lenyap meski segala being sudah coba dijelaskan.
Contoh gampangnya, pertanyaan tentang waktu tak menjadi selesai meski sehari-hari kita menggunakan waktu fisikal seperti jam, menit, detik. Diskusi tentang kapitalisme tak menjadi basi meski kehidupan kita selalu tunduk padanya seolah-olah tak mungkin ada wacana yang lain lagi. Percakapan perkara kerja pikiran tak jadi selesai hanya karena junjungan si influencer sudah mereduksinya pada semata-mata aspek biologis. Bahkan kalaupun kita sudah merasa segala kebutuhan terpenuhi, kita masih perlu Stoikisme untuk mengusir rasa bersalah akibat kelimpahan privilege sehingga terbitlah perasaan abai akan masalah ini itu lewat kredo dikotomi kendali.
Apa yang dikritik oleh filsafat seringkali tak bergeser satu sentimeter pun dari singgasananya, tapi filsafat memang tak pernah ingin buru-buru untuk menggesernya. Filsafat mengajak kita untuk terus memperbincangkan, hingga kelak sejarahlah yang menggesernya, lewat laku diskusi yang membentangkan kesadaran.
Namun tetap, filsafat kerap dituding tak berguna oleh influencer, karena laku disiplin berpikir yang ketat dan panjang dianggap tak relevan dengan reels yang longgar dan pendek. Filsafat juga dipandang tak relevan: antara influencer yang buru-buru pengen menyebarkan ajaran mindfulness dan memeluk diri sendiri sebagai inti kewarasan zaman, dengan proyek filsafat yang masih saja mempertanyakan posisi mind dan memproblematisasi apa itu “diri”.
Influencer nyambung dengan fenomena self-help karena segala konten mesti berujung pada manfaat praktis, tentang arahan soal apa yang seharusnya dilakukan, tanpa usah mempertanyakan makna ini itu secara mendalam. Sepraktis-praktisnya bahasan filsafat moral, pembaca etika Kantian tidak bisa langsung menyimpulkan bahwa kita harus melakukan ini dan bukan itu dalam situasi X atau Z. Filsafat tidak sesimpel self-help, karena apa yang dimaksud cinta kebijaksanaan, kerap terbit dari pertimbangan-pertimbangan, bukan karena arahan dari kuasa, apalagi populisme ala ala.
Maka apakah itu jurusan filsafat ditutup, filsafat sudah tak relevan di hadapan sains, atau filsafat dinyatakan mati, bukan itu masalahnya. Pernyataan-pernyataan itu tak harusnya mengganggu para filsuf yang mengikuti sejarah pemikiran dengan teliti. Filsafat senantiasa hadir bersama si penanya, selama si manusia itu ada. Wajar si influencer ini tak paham hingga taraf demikian, karena dalam pandangannya, manusia bukan lagi Dasein yang terbuka pada makna, tapi sekadar sel algoritmis yang ditakar klik dan konversi. Maka, bukan filsafat yang mati, justru manusianya yang dikubur hidup-hidup oleh tuntutan konten.
Akhirul kata, mari menutup rangkaian artikel bersambung dan motivasional ini dengan pernyataan yang dimodifikasi dari The Gay Science (1882), bagian 125, dalam bagian berjudul The Madman (Der tolle Mensch):
“Influencer telah mati. Influencer tetap mati. Dan kita semua yang membunuhnya. Dengan like yang kosong dan scroll tanpa makna, kita menyalibnya di algoritma kita sendiri. Apa yang dulu diagungkan (branding sempurna, estetika tanpa cacat, kehidupan yang selalu tampak berhasil) telah berdarah sampai mati di linimasa kita. Siapa yang akan menghapus noda filter ini dari wajah kita? Air apa yang cukup jernih untuk membilas dosa digital kita? Festival pertobatan macam apa yang bisa kita tampilkan, selain konten klarifikasi dan permintaan maaf yang dimonetisasi? Bukankah kebohongan yang kita rayakan terlalu agung untuk bisa kita telan? Haruskah kita kini menjadi influencer atas diri kita sendiri hanya agar tetap tampak berharga?”