Hospitalitas Etis dan Moralitas Homoseksualitas

A piece from Igor Morski’s ‘Nature’ series.

Oleh Dhimas Anugrah, Ketua Circles Indonesia (Komunitas Pembelajar di bidang budaya, filsafat, dan sains)

Pendahuluan

Pertanyaan tentang homoseksualitas menyentuh preferensi personal dan aspek biologis, sekaligus membuka ruang bagi perbincangan etis yang lebih kompleks. Ketika seseorang bertanya, “Apakah homoseksualitas berada dalam ranah etika?,” ia mengundang refleksi tentang cara manusia memahami martabat, kebebasan, dan tanggung jawab dalam relasi sosialnya. Dalam kehidupan kontemporer yang sarat dengan tuntutan akan otonomi dan pengakuan, muncul dorongan kuat memposisikan orientasi seksual sebagai bagian dari identitas personal yang tak perlu dinilai secara etis. Namun, pendekatan ini sering kali luput membaca kenyataan bahwa manusia adalah makhluk moral, makhluk yang terus bertanya bukan hanya tentang “apa adanya,” tapi juga tentang “apa yang seharusnya.”

John Corvino, seorang filsuf moral dan pendukung hak-hak kaum homoseksual, secara gamblang menegaskan bahwa moralitas tidak dapat direduksi menjadi urusan privat. Ia menulis,

“Some people claim that morality is a “private matter’ and that, in any case, people’s rights shouldn’t hinge on others’ moral opinions. I think this view is badly mistaken. Morality is about how we treat one another, and thus it is quintessentially a matter for public concern. It’s about the ideals we hold up for ourselves and others. It’s about the kind of society we want to be: what we will embrace, what we will tolerate, and what we will forbid” (What Is Wrong with Homosexuality?, 2013: 6).

Pernyataan Corvino membuka ruang diskursif yang penting: bahwa etika tidak hadir untuk menghakimi keberadaan, melainkan membimbing relasi antarmanusia dalam kerangka tanggung jawab sosial. Dalam terang ini, homoseksualitas bukan semata-mata urusan personal, melainkan juga bagian dari lanskap moral dan kultural yang membentuk kehidupan bersama. Namun, sebelum tiba pada simpulan etis apa pun, terdapat kabut kerancuan yang perlu disibak. Percakapan publik tentang homoseksualitas sering kali dibalut oleh asumsi-asumsi terburu, baik dari mereka yang mengecam maupun yang membela. Setidaknya tiga lapis kebingungan dapat dikenali dalam diskursus ini, yakni kerancuan antara fakta dan nilai, antara hak dan kebaikan, serta antara penerimaan dan pembenaran. Masing-masing mengandung dinamika filsafat moral yang menuntut kehati-hatian intelektual dan kedalaman refleksi.

Menimbang Ulang Etika

Dalam iklim pemikiran modern, etika kerap digantungkan pada imperatif otonomi dan kehendak kolektif. Ia bukan lagi didekati sebagai pencarian kebenaran yang melekat pada struktur keberadaan, melainkan sebagai medan negosiasi antar-preferensi, atau hasil musyawarah sosial yang dikukuhkan oleh konsensus mayoritas. Etika, dalam pengertian ini, tampil seperti peta yang senantiasa direvisi: bergantung pada letak geografis zaman, arah ideologi dominan, dan suhu politik moral yang sedang mengemuka. Pertanyaan “tolok ukur etika itu apa?” tidak lagi beresonansi sebagai pertanyaan tentang kebenaran, tapi menjadi arena perebutan kekuasaan atas makna benar dan salah.

Namun, sebelum terlalu jauh membedah perangkat moralitas kontemporer, kiranya perlu kita renungkan kembali apa yang dimaksud dengan “etika” itu sendiri. Etika bukanlah sekadar sistem nilai buatan manusia, melainkan ekspresi terdalam dari pertanyaan eksistensial manusia tentang bagaimana seeloknya hidup dijalani. Ia bukan produk sosial belaka. Etika adalah penalaran tentang kewajiban moral yang bersifat universal dan rasional. Sejak semangat Aufklärung atau Pencerahan menggema, banyak pemikir moral mulai mencabut akar etika dari tanah transendensinya. Otoritas ilahi dan wahyu suci ditanggalkan, digantikan oleh pendekatan kontraktual seperti yang dibayangkan Thomas Hobbes atau J. J. Rousseau, atau kalkulasi utilitarian ala Jeremy Bentham dan John Stuart Mill. Akibatnya, etika modern berkembang dalam kerangka rasional, fungsional, dan kontekstual, tapi juga menjadi cair, kehilangan orientasi tetap.

Dalam dunia seperti ini, tindakan disebut “baik” bukan karena ia selaras dengan kebenaran yang lebih tinggi, melainkan karena ia membawa manfaat terbesar, atau karena disepakati oleh banyak orang. Nilai-nilai etis pun menjadi seperti daun gugur yang ditiup angin musim: indah, tapi tidak berakar. Di tengah kabut kebingungan inilah, religiusitas menampakkan dirinya bukan sebagai tatanan hukum yang menakutkan, melainkan sebagai sumber horizon moral yang menyapa jiwa. Ia tidak hadir untuk menundukkan, tapi menerangi. Dalam tradisi Kristiani misalnya, Kitab Suci bukan sekadar dokumen religius, melainkan kesaksian yang hidup tentang Sang Khalik yang berbicara, yaitu sosok Tuhan yang tidak abai terhadap kehidupan manusia. Kitab Suci bukan hanya berisi perintah dan larangan, tapi kisah tentang kasih yang memanggil, pengampunan yang merengkuh, dan kebenaran yang memerdekakan (Mazmur 103:10–12; Yesaya 43:1; Yohanes 3:16; 8:32).

Kitab Suci tidak menyampaikan etika melalui dalil-dalil kaku, melainkan melalui narasi, melalui kisah penciptaan, kejatuhan, penebusan, dan pemuliaan (creation, fall, redemption, and glorification). Ia bukan kode etik yang membeku dalam legalisme, melainkan suara ilahi yang menyentuh batin, membentuk nurani, dan mengarahkan hati pada kekudusan Tuhan. Di sinilah letak keistimewaannya: ia bukan sistem etika yang perlu dimenangkan dalam perdebatan publik, tapi kesaksian yang memanggil manusia kepada kehidupan yang sejati, yang menyatu dalam cinta dan kebenaran. Argumen ini tidak menutup ruang dialog dengan akal budi modern, sebaliknya, ia merangkulnya dan mengarahkan akal menuju terang. Etika dalam terang penyataan ilahi bukan berarti pemutusan dari rasionalitas, melainkan pemurnian akal melalui hikmat ilahi. Sebab, hanya dalam terang itulah akal tidak tersesat dalam labirin relativisme, melainkan menemukan orientasi etis yang mengakar pada realitas Allah yang kudus.

Karena itu, pertanyaan moral tentang homoseksualitas, misalnya, tidak cukup dijawab dengan meninjau norma sosial atau preferensi seseorang. Pertanyaan mendasarnya adalah: apakah ekspresi kehidupan tersebut selaras dengan panggilan ilahi yang hakiki bagi setiap insan? Apakah ia membentuk relasi yang memuliakan Sang Khalik dan memulihkan martabat manusia lain? Etika Kristiani, misalnya, menolak menilai berdasarkan kalkulasi sosial semata, melainkan bertolak dari visi hidup yang dipenuhi cinta dan kebenaran yang bersumber dari Allah.

Maka, menjadikan Kitab Suci sebagai tolok ukur etika bukanlah tindakan yang berlebihan atau dogmatis. Ia adalah keberanian eksistensial untuk menambatkan diri pada sumber moralitas yang tidak digerakkan oleh zaman, melainkan yang mengakar dalam kekekalan kasih Allah. Dalam bahasa pemazmur, Firman-Mu adalah pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku” (Mazmur 119:105). Di tengah dunia yang gemetar oleh relativisme dan pluralitas nilai, sabda ini berdiri sebagai kompas moral yang tak goyah, tidak menghakimi, tapi membimbing; tidak mengendalikan, tapi menghidupkan.

Isu Homoseksualitas dalam Dinamika Penafsiran Kitab Suci

Namun, perlu diakui, menjadikan Kitab Suci sebagai tolok ukur etika bukanlah tindakan yang bebas dari problematika hermeneutis. Justru sebaliknya, hal ini mengantar kita menghadapi salah satu dilema paling mendasar dalam teologi moral kontemporer: bagaimana menafsirkan teks-teks kudus yang berasal dari dunia kuno untuk menjawab persoalan moral yang lahir dari konteks modern? Dalam isu homoseksualitas, dilema tersebut menjelma menjadi tiga simpul utama yang saling terkait: penafsiran (interpretation), otoritas (authority), dan relevansi (relevance). Salah satu suara yang menyoroti problem ini adalah Robin Scroggs. Ia mengamati, model homoseksualitas dalam komunitas Kristiani masa kini sangat berbeda dari pola-pola homoseksual yang dikritik dalam teks Perjanjian Baru. Dalam pandangannya, kesenjangan konteks historis ini melemahkan relevansi etis teks-teks Alkitab terhadap perdebatan masa kini. Scroggs menyatakan dengan tajam,

“The fact remains, however, that the basic model in today’s Christian homosexual community is so different from the model attacked by the New Testament that the criterion of reasonable similarity of context is not met. The conclusion I have to draw seems inevitable: Biblical judgments against homosexuality are not relevant to today’s debate…not because the Bible is not authoritative, but simply because it does not address the issue involved” (New Testament and Homosexuality, 1983, 127).

Di sini terlihat bahwa otoritas Kitab Suci, meski diakui dalam tradisi Kristiani sebagai sumber kebenaran normatif, tidak serta-merta menjamin relevansi etisnya tanpa melewati mediasi penafsiran yang jujur dan kritis terhadap perbedaan konteks historis. Teks yang otoritatif tetap menuntut pembacaan yang memperhitungkan jarak waktu, latar budaya, dan perkembangan pemahaman antropologis dalam lintasan sejarah umat manusia. Dalam konteks ini, Karl Barth, yang sering dijuluki sebagai “Einstein” dalam dunia teologi karena kedalaman dan daya revolusionernya, memiliki pandangan yang tajam. Ia menyebut homoseksualitas sebagai bentuk “distortion of God’s norm for His creation, issuing from idolatry or aversion to the true God.” Barth menambahkan,

“And because nature or the Creator of nature will not be trifled with, because the despised fellow-man is still there, because the natural orientation on him is still in force, there follows the corrupt emotional and finally physical desire in which—in sexual union which is not and cannot be genuine—man thinks that he must seek and find in man, and woman in woman, a substitute for the despised partner” (Church Dogmatics, III/4, 1961, 162).

Pandangan Barth ditegaskan pula oleh Greg L. Bahnsen, seorang apologet, yang menyatakan bahwa homoseksualitas “violates His holy law, representing a departure into abominable sin and shameless error. It is dishonorable, degraded, and depraved” (Homosexuality: A Biblical View, 1978, 18). Namun, pemahaman semacam ini tidak diterima secara universal dalam tradisi teologi kontemporer. Daniel Helminiak, seorang teolog dan psikolog, menolak anggapan bahwa teks-teks Kitab Suci dapat langsung diterapkan dalam memahami homoseksualitas dalam pengertian modern.

Helminiak menegaskan, Alkitab tidak mengenal konsep orientasi seksual sebagaimana dipahami dalam ilmu psikologi atau sosiologi saat ini. Menurutnya, yang menjadi sorotan dalam Kitab Suci bukanlah bentuk kasih sayang tulus dalam relasi setia antara sesama jenis sebagaimana dipahami dalam konteks modern, melainkan tindakan homoseksual secara umum yang belum dibedakan secara konseptual sebagai orientasi seksual. Ia menulis, “The Bible does not provide condemnation about spontaneous affection for people of the same sex and about the ethical possibility of expressing that affection in loving, sexual relationships” (What the Bible Really Says, 1994, 33).

Pertentangan ini menunjukkan bahwa sumber otoritatif seperti Kitab Suci tidak dapat dilepaskan dari proses penafsiran yang kompleks, di mana horizon zaman, asumsi teologis, dan pendekatan antropologis saling berkelindan. Setiap pembacaan bukan sekadar soal menerjemahkan teks, melainkan menghidupi makna dalam ruang eksistensial yang terus berubah. Maka, perdebatan ini tidak semata menyangkut apa yang dikatakan Kitab Suci, tapi bagaimana selayaknya umat percaya memahami dan menanggapi panggilan etis yang bersumber darinya, dengan rendah hati dan keberanian hermeneutis. Masalah menjadi semakin pelik ketika diskusi berpindah dari apa yang “dikatakan” Alkitab ke pertanyaan tentang apa yang “harus dilakukan” gereja masa kini terhadap teks tersebut. Dan O. Via menyatakan, dalam perdebatan terkenalnya bersama Robert A. J. Gagnon,

Professor Gagnon and I are in substantial agreement that the biblical texts that deal specifically with homosexual practice condemn it unconditionally. However, on the question of what the church might or should make of this we diverge sharply. This reveals in a striking way that differences of opinion about the contemporary significance of biblical material strongly depend on the hermeneutical or interpretive principles that interpreters bring to the interpretation of Scripture. There is no interpretation apart from the differing presuppositions and starting points from which interpretation is made. No one has Scripture as it is ‘in itself’ but only from a point of view” (Homosexuality in the Bible: Two Views, 2003, 93).

Pernyataan ini membuka kenyataan filosofis yang lebih dalam: bahwa setiap penafsiran, bahkan yang mengklaim netralitas, pada hakikatnya lahir dari suatu horizon pemahaman yang telah dibentuk oleh asumsi awal. Tidak ada pembacaan yang bebas nilai terhadap Alkitab, sebab setiap pembacaan adalah sebuah “tindakan hermeneutis,” yang senantiasa melibatkan subjektivitas, tradisi, dan presuposisi pemikiran pembacanya. Dengan demikian, perdebatan bukan lagi hanya tentang isi teks, tapi tentang epistemologi dan etika penafsirannya. Guna memperjelas dinamika kompleks ini, dapat digambarkan dialektika tiga kutub dalam perumusan hospitalitas etis berikut ini:

Gambar oleh Dhimas Anugrah

Ketika Kitab Suci dijadikan fondasi etika, yang dipertaruhkan bukan hanya pemahaman atas teks, melainkan juga bagaimana manusia memahami kebenaran, otoritas moral, dan kehendak Allah dalam sejarah. Di sinilah pentingnya menyadari bahwa etika Kristiani tidak hanya berakar pada teks, tapi juga pada “perjumpaan dengan Allah yang hidup,” yang menyapa manusia dalam sejarah dan memanggil mereka mecintai dalam kebenaran dan membimbing dalam kasih. Dengan memperhitungkan kerumitan ini, hospitalitas etis menjadi sangat relevan, karena ia tidak menempatkan kebenaran dalam ruang steril yang tertutup, melainkan dalam ruang percakapan yang terbuka, penuh penghormatan pada pengalaman dan pengetahuan, sekaligus tetap berakar pada kesetiaan kepada Tuhan dan sabda-Nya.

Renungan Etis dalam Bingkai Hospitalitas

Dalam terang dialektika hermeneutis Kitab Suci dan kepekaan terhadap pengalaman manusiawi, perdebatan mengenai homoseksualitas selain menuntut klarifikasi teks, juga membutuhkan pertanggungjawaban moral yang lebih dalam. Di sinilah etika atau filsafat moral menyediakan suatu kerangka refleksi yang menjembatani antara norma dan nurani, antara kehendak ilahi dan kebebasan manusia. Salah satu poros utama dalam refleksi ini adalah konsep tentang tindakan moral yang sahih, yaitu tindakan yang tidak semata-mata digerakkan oleh kecenderungan atau keuntungan, tapi karena ia adalah kewajiban yang berakar pada nilai martabat manusia itu sendiri.

Setiap manusia memiliki kehendak moral yang bebas, tapi kebebasan yang ia miliki itu tidak absolut. Ia berada dalam batasan prinsip universal: bahwa seseorang tidak boleh memperlakukan dirinya maupun sesamanya semata-mata sebagai alat, melainkan selalu juga sebagai tujuan yang baik. Prinsip ini mengajarkan bahwa dalam relasi etis, yang terutama bukanlah perasaan atau intensitas afeksi, melainkan penghormatan terhadap kodrat manusia sebagai pribadi yang memiliki nilai intrinsik dan ditentukan oleh tujuan moral yang lebih tinggi.

Dari sudut ini, tindakan yang melibatkan hasrat seksual bukan hanya perlu dinilai dari rasa suka sama suka, tapi dari keharmonisan antara kehendak dan hukum moral yang lebih luas. Hospitalitas etis, yang lahir dari kematangan cinta dan bukan sekadar dorongan sentimental, menuntut keterbukaan terhadap kebenaran yang memerdekakan (Yohanes 8:32) dan menghargai relasi, bukan yang memanipulasi atau menggantikan tatanan relasional yang telah diletakkan oleh penciptaan.

Hospitalitas etis tidak menolak kehadiran yang lain, bahkan menyambutnya dalam ruang pengenalan dan penerimaan. Namun, penerimaan sejati tidak berarti mengafirmasi semua ekspresi afeksi secara setara, melainkan memanggil setiap relasi diuji oleh cahaya kebaikan yang lebih besar dari sekadar konsensus atau rasa saling suka. Dalam ruang ini, cinta tidak direduksi menjadi nafsu, dan kebebasan tidak direduksi menjadi kompromitas.

Tindakan yang layak secara moral adalah tindakan yang dapat dijadikan prinsip universal, prinsip yang jika diterapkan oleh semua orang dalam situasi serupa tidak akan merusak tatanan atau melanggar kodrat martabat manusia. Maka, relasi apa pun yang tidak dapat dijadikan hukum umum karena bertentangan dengan kehendak ilahi dan tatanan alami, perlu direnungkan ulang secara jujur dan rendah hati. Di sinilah cinta dan kebenaran bertemu: bukan dalam bentuk penghakiman, melainkan dalam panggilan menuju pemurnian dan transformasi.

Dengan demikian, hospitalitas etis bukan ruang netral yang menghapus batas moral, melainkan ruang kudus tempat suara hati manusia diasah oleh sabda Allah. Ia adalah panggilan berjalan bersama, tidak dalam kompromi etis, tapi dalam terang belas kasih yang tidak menyesatkan dan dalam kebenaran yang tidak melukai. Dalam hospitalitas etis inilah martabat manusia dijaga, bukan karena semua hal diterima, tapi karena setiap pribadi diajak hidup dalam keselarasan dengan tujuan moral yang memerdekakan dan menguduskan.

Mutual Respect yang Menjembatani Perbedaan 

Dalam arus dialektika hermeneutis yang kompleks, penulis berpijak pada pembacaan tradisional terhadap Kitab Suci, yang memahami bahwa praktik homoseksualitas tidak selaras dengan tatanan relasi yang dimaksudkan dalam desain penciptaan dan kehendak ilahi (Imamat 18:22; Roma 1:26–27; 1 Korintus 6:9–10). Pandangan ini bukan berangkat dari semangat penghakiman atau prasangka kultural, melainkan dari penilaian eksistensial bahwa kebenaran ilahi memiliki daya memerdekakan, karena ia mengarahkan manusia pada kehidupan yang ditata dalam kasih, keteraturan, dan kekudusan.

Namun demikian, kesetiaan pada etika normatif tidak menghalangi terbukanya ruang percakapan dan penghormatan. Dalam semangat hospitalitas etis, perbedaan pandangan bukanlah alasan menutup pintu perjumpaan. Sebaliknya, perjumpaan itulah medan etis tempat martabat manusia diakui, bukan berdasarkan afiliasi moralnya, melainkan karena ia adalah sesama yang juga diciptakan menurut gambar dan rupa Allah.

Dalam kerangka ini, mutual respect menjadi bentuk konkret dari hospitalitas etis: suatu sikap yang tidak mengandaikan kesetaraan pandangan, tapi mengafirmasi kesetaraan martabat. Ia bukan bentuk kompromi terhadap kebenaran, melainkan bentuk kesetiaan terhadap cinta kasih. Mutual respect memungkinkan dua pihak dengan posisi moral yang berlawanan tetap saling menyapa dalam ruang sosial tanpa merendahkan atau mengucilkan.

Yang dapat dikembangkan dari mutual respect dalam konteks hospitalitas etis, setidaknya ada tiga hal: Pertama: pengakuan akan martabat setiap orang. Hospitalitas etis menolak mereduksi seseorang menjadi identitas moralnya semata. Seseorang yang memiliki orientasi homoseksual tidak boleh direduksi menjadi “yang berdosa,” sebagaimana seseorang yang heteroseksual tidak otomatis menjadi “yang benar.” Etika dalam terang Kitab Suci memanggil kita melihat manusia secara utuh, sebagai pribadi yang mengandung kehendak, luka, harapan, dan potensi penebusan.

Kedua, kesediaan hadir dalam percakapan yang jujur. Mutual respect” mengandung keberanian berdialog secara terbuka tanpa menyembunyikan prinsip teologis kita. Hospitalitas bukan tentang menyamarkan perbedaan, melainkan mengolahnya dalam terang kejujuran yang tidak agresif. Dalam ruang ini, pihak yang menolak praktik homoseksual tetap dapat menyatakan pandangannya dengan rendah hati, sementara pihak yang mendukung dapat menyampaikan aspirasinya tanpa rasa takut.

Ketiga, komitmen tetap menjalin silaturahmi. Etika hospitalitas tidak berhenti pada toleransi pasif, melainkan mengundang pada relasi aktif. Ini berarti bahwa perbedaan tidak menjadi alasan untuk menarik diri atau membatalkan perjumpaan. Dalam konteks gereja dan masyarakat, hospitalitas etis mendorong komunitas tetap membuka ruang keterlibatan pastoral, pelayanan, dan solidaritas, tanpa mencairkan kebenaran iman.

Dengan demikian, mutual respect bukanlah bentuk relativisme yang melemahkan posisi moral, melainkan tindakan aktif memperlakukan yang lain sebagai pribadi yang layak didengar, dimengerti, dan diajak berjalan bersama, meski arah tujuan moral belum tentu sejalan. Dalam tindakan ini, hospitalitas etis menjelma menjadi kesaksian iman yang utuh: setia pada sabda, tapi juga lembut dalam kasih.

Antara Kesetiaan dan Keterbukaan

Akhirulkalam, diskursus tentang homoseksualitas dalam terang etika pada tradisi Kristiani bukan semata perdebatan teologis, melainkan cermin dari kegelisahan manusia akan makna hidup, relasi, dan kebenaran. Kita hidup dalam dunia yang menuntut kejelasan sekaligus menolak kepastian, merindukan penerimaan, tapi sering mengaburkan batas moral. Di tengah lanskap seperti ini, hospitalitas etis menawarkan jalan yang tidak mudah, tapi mungkin: jalan yang menolak sikap menutup diri, sekaligus tidak menyerahkan kebenaran kepada relativisme. Etika yang berpijak pada Kitab Suci menantang kita hidup setia pada panggilan ilahi yang memerdekakan dan menguduskan (Galatia 5:1; 1 Petrus 1:15-16; Roma 12:1-2). Namun, kesetiaan itu justru menemukan kekuatannya bukan dalam ketegasan yang kaku, melainkan dalam keberanian mendengar, menyapa, dan tetap hadir, bahkan ketika jalan yang ditempuh berbeda. Hospitalitas bukan tentang menyeragamkan, melainkan tentang kesediaan merespons keragaman dalam semangat kasih yang membangun.

“Mutual respect,” dalam kerangka ini, bukanlah retorika sopan santun, melainkan praktik iman yang radikal: melihat wajah Allah dalam diri yang berbeda, tanpa kehilangan kompas moral yang bersumber dari sabda-Nya. Inilah jalan gereja masa kini, bukan sekadar memilih antara mengutuk atau menyetujui, melainkan membangun ruang di mana cinta dan kebenaran dapat berdialog, saling mengoreksi, dan bersama-sama mendewasakan. Sebab, pada titik terdalamnya, etika dalam tradisi Kristiani tidak dimulai dari pertanyaan siapa yang salah, tapi dari seruan, “Di manakah saudaramu?” (Kejadian 4:9). Dan, jawaban terhadap seruan itu bukan slogan, melainkan kehidupan yang dipenuhi dengan hormat, kebenaran, dan cinta. Di situlah hospitalitas menemukan maknanya yang sejati, yaitu sebagai kesaksian iman yang tidak lekang oleh zaman.

Sumber:

Bahnsen, G.L., 1978. Homosexuality: A Biblical View. Grand Rapids: Baker Book House.

Barth, K., 1961. Church Dogmatics, Volume III/4: The Doctrine of Creation. Edinburgh: T&T Clark.

Corvino, J., 2013. What is Wrong with Homosexuality? New York: Oxford University Press.

Helminiak, D.A., 1994. What the Bible Really Says About Homosexuality. San Francisco: Alamo Square Press.

Scroggs, R., 1983. The New Testament and Homosexuality: Contextual Background for Contemporary Debate. Philadelphia: Fortress Press.

Via, D.O. and Gagnon, R.A.J., 2003. Homosexuality and the Bible: Two Views. Minneapolis: Fortress Press.

Dipublikasikan oleh

avatar Tidak diketahui

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Kesadaran, Agama dan Politik. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023), Zendemik (2024), Teori Politik Progresif Inklusif (2024), Kesadaran, Agama dan Politik (2024) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.