
Oleh Reza A.A Wattimena
Saya amat menikmati berkendara motor jarak jauh. Suatu hari, setelah menelusuri area Tangerang Selatan, saya mengisi bensin di Jalan Arteri Pondok Indah. Sambil menunggu antrian, saya berjumpa dengan seorang pemuda yang sedang duduk. Di bahunya terkalung tas, dan ditangannya tertumpuk dokumen-dokumen.
Ia tampak lelah dan bingung. Saya bertanya, “Ada yang bisa dibantu mas?” Ia seolah terkejut sekaligus gembira dengan sapaan tersebut. Senyum kecil teruntai di wajahnya.
Ia bercerita, betapa susahnya mencari pekerjaan sekarang ini. Ia baru saja lulus dari satu Universitas di bilangan Jakarta Selatan. Ia sudah mengirim ribuan lamaran, baik daring maupun luring. Tak satupun menjawab.
Bukan hanya kesulitan ekonomi yang ia tanggung, tetapi juga rasa malu dan tak berarti. Ia bukan berasal dari keluarga kaya. Tidak ada ayah yang siap bersikap curang untuk mencarikan kerja baginya, baik sebagai wakil presiden busuk ataupun ketua partai melompong. Di tengah masa Indonesia gelap dan kusut, pemuda itu tak sendirian.
Di tempat lain, dua minggu terakhir, saya berjumpa dengan beberapa pengusaha. Satu hal sepakat keluar dari mulut mereka: daya beli masyarakat menurun. Mereka tidak berani pasang target, apalagi membuka kemungkinan investasi baru. Beberapa bahkan mengorek tabungan, sekedar untuk bertahan, dan berusaha untuk tidak memecat pekerja, walaupun ini tidak mungkin dilakukan.
Dalam keadaan gelap dan kusut, Indonesia jelas sedang sakit. Secara politik, rezim gemoy fufufafa omon-omon gagal total dalam semua kebijakannya. Secara ekonomi, daya beli menurun, dan orang cenderung menahan diri untuk bermanuver bisnis. Pemecatan terjadi di berbagai tempat, dan ini kerap lolos dari pemberitaan yang juga penuh kepentingan sempit
Dampaknya jelas. Ciri revolusioner tidak muncul di kalangan kelas tertindas di Indonesia. Ini terjadi, persis karena rusaknya pemikiran progresif sejak masa Orde Baru. Pendidikan hanya menjadi cuci otak, supaya orang patuh, serta siap menjadi budak pabrik ataupun perusahaan.
Setelah dipecat, hanya sedikit yang melawan. Sebagian besar memutuskan untuk bekerja serabutan. Ada yang berjualan, dan ada yang menekuni ojek daring. Semua pekerjaan ini tidak memiliki jaminan apapun, sehingga dengan mudah mendorong orang ke dalam jurang kemiskinan yang teramat dalam.
Lima hal kiranya patut direnungkan. Pertama, pepatah lama kiranya tetap abadi. Ikan membusuk mulai dari kepalanya. Kepala politik Indonesia sudah membusuk sejak awal, persis karena proses politik yang curang, serta korupsi yang mengakar begitu dalam di berbagai bidang.
Dua, karena kepalanya korup, maka seluruh badan politik menjadi korup. Dan karena politik tak pernah bisa lepas dari ekonomi, maka seluruh sistem ekonomi pun menjadi membusuk. Korupsi dianggap sesuatu yang biasa, dan bahkan mesti dikerjakan, supaya bisa bertahan hidup. Saya menyebutnya sebagai banalitas korupsi yang bersifat universal.
Tiga, dari sudut teori transformasi kesadaran yang saya kembangkan, kesadaran sempir yang bersifat dualistik-distingtif kini menjadi acuan umum. Orang hanya memikirkan diri dan kelompoknya sendiri. Mereka siap mengorbankan kepentingan mahluk lain, bahkan alam, demi memuaskan kerakusan mereka. Di dalam peradaban yang mengakar pada kesadaran distingtif-dualistik sempit semacam ini, perang dan konflik berkepanjangan adalah sesuatu yang tak terhindarkan.
Empat, juga dari teori politik progresif inklusif yang saya kembangkan, yang terjadi kini persis sebaliknya. Politik Indonesia menjadi begitu konservatif dan eksklusif. Cara-cara lama yang korup, termasuk rezim lama yang membusuk, tetap dilestarikan, bahkan dikembangkan. Kemakmuran hanya diberikan pada segelintir manusia korup, sambil mengorbankan rasa keadilan ratusan juta rakyat, serta alam yang terus diperkosa demi bisnis tambang yang sungguh merusak.
Lima, di dalam teori epistemologi pembebasan, informasi sesat adalah tingkat terendah. Inilah informasi yang digoreng terlebih dahulu, sehingga membuat masyarakat terjebak di dalam kebingungan. Ia mengambil satu sisi dari peristiwa, lalu membuatnya berlebihan, atau justru bohong sama sekali. Kini, informasi sesat justru menguasai ruang publik, mulai dari ijazah penguasa sebelumnya sampai dengan beragam kasus hukum, membuat masyarakat terpecah dan terjebak di dalam konflik yang tak kunjung usai.
Sepertinya, Indonesia mengalami kutukan tanpa henti. Kita tidak hanya dalam keadaan gelap, tetapi juga kusut. Pemimpin berganti, namun ketimpangan sosial dan ketidakadilan di semua bidang terus melebar. Indonesia jelas sedang sakit. Menyangkalnya hanya memperkeruh keadaan, dan membuat Indonesia semakin kusut.
Di tengah kegelapan dan kekusutan, harapan tentu ada. Setiap hegemoni, begitu kata Foucault, selalu melahirkan kontra hegemoni. Setiap dorongan akan menciptakan dorongan balik dengan tekanan serupa, begitu bunyi hukum fisika Newtonian. Dan setiap tesis, begitu kata Hegel, akan secara alami melahirkan antitesis. Untuk sementara, kita berusaha bertahan hidup, sambil melakukan transformasi kesadaran, serta mempersiapkan revolusi politik yang amat diperlukan…
Referensi (Silahkan klik):
Naskah Reza, Epistemologi Pembebasan
Teori Transformasi Kesadaran dan Pengembangannya