Oleh Syarif Maulana, Filsuf dan Budak Cinta
Pertanyaannya, kenapa para filsuf ini begitu terpesona dengan sosok influencer dan bukannya mengajukan kritik – sebagaimana lazimnya para filsuf terhadap apapun yang trendi di zamannya? Padahal dilihat secara sepintas pun, banyak hal ganjil dari para influencer. Mereka sering berbicara atas namanya sendiri, seolah-olah gagasannya sendiri, tanpa referensi yang bisa dipertanggungjawabkan, yang kita terima karena mereka adalah “individu yang kredibel dan terpercaya”.
Hal yang sering menyilaukan kita adalah ucapan-ucapan para influencer yang ditopang aspek ad populum, kuantitas pengikut dan penyuka yang luar biasa, mengangguk pada apapun yang keluar dari liurnya. Inilah nabi baru era algoritma, diimani secara membabi buta oleh jemaahnya yang iya iya aja, ketika junjungannya mengatakan “hapus logika mistika” atau “tutup jurusan filsafat”. Pesonanya begitu dahsyat hingga sebagian filsuf memutuskan untuk mengkritik sambil malu-malu kucing, semi menjilat pantat, seraya berbisik dengan suara gemetar, seolah minta diajak pada jalan keselamatan, “Ajak aku pada engagement-mu.”
Kita bisa mengajukan kritik pada fenomena influencer dengan berangkat dari konsep self-branding. Supaya tidak mirip dengan cara para influencer dalam membangun argumen yang kerap dimulai dengan “Ini kata-kata gue, maka amini saja”, saya akan mengacu pada paper berjudul Self-branding, ‘Micro-Celebrity’ and the Rise of Social Media Influencers yang ditulis oleh Susie Khamis, Lawrence Ang, dan Raymond Welling (2016). Dalam artikel tersebut, self-branding diartikan sebagai praktik membangun citra publik yang unik demi keuntungan komersial atau kapital budaya (cultural capital). Konsep tersebut digaungkan pada mulanya dalam artikel Tom Peters berjudul The Brand Called You (1997) yang menyerukan agar setiap individu mengelola dirinya sebagai “Me Inc.” atau semacam perusahaan personal.
Media sosial kemudian menjadi saluran yang pas untuk self-branding karena setiap individu dapat mengunggah konten atas nama dirinya sendiri (user-generated content). Seleb-seleb media sosial dan influencer muncul dari medium ini karena selain konten-kontennya dianggap menghibur, bermanfaat, dan mudah dicerna, juga karena mereka ini dipandang “jujur”.
Influencer berbeda dengan era gatekeeping media massa, ketika orang-orang dikurasi sedemikian ketat untuk bisa ditayangkan ke hadapan publik. Influencer seolah tidak membawa kepentingan besar apapun di baliknya, tampil “telanjang” sebagai dirinya sendiri, membuat pengikutnya merasa dekat, tidak seperti selebritas era media massa yang begitu berjarak dan dibingkai seolah senantiasa dalam lampu sorot yang menyilaukan. Influencer kerap tampil seperti rangorang pada umumnya yang tidak dibingkai kamera, tidak dibatasi panggung, bahkan diperlihatkan kesehariannya: bangun tidur atau sedang menyuapi anak, plus kadang bisa dijangkau dengan DM santai ke akun medsosnya. Pesona otentisitas inilah yang justru membuat sabdanya tampak meyakinkan, karena dia tampak seperti “manusia biasa”, meski memiliki ratusan ribu bahkan jutaan pengikut. Dia tampak bersahaja dan aksesibel.
Kemunculan influencer dengan segala self-branding otentiknya adalah angin segar bagi dunia pemasaran, karena masyarakat sudah bosan dengan berbagai siasat superfisial yang mengedepankan tampilan memikat, padahal sekadar menutupi kebobrokan. Mereka butuh testimoni apa adanya yang merepresentasikan “hati nurani publik”, yang berasal dari orang biasa seperti kami-kami juga. Pandangan moralnya, meski tanpa justifikasi rasionalitas yang memadai, tampak bening dan nyata; visinya tentang negara, meski tanpa pengetahuan ekonomi politik yang cukup, tampak layak menjadi representasi orang banyak. Selera makannya, saran bisnisnya, pastilah jitu, karena dia mengandalkan kejujuran pikiran dan perasaannya.
Influencer bukan tampak lagi sebagai penyampai pesan (the messenger) seperti bintang iklan era media massa, tetapi menjelma menjadi “sang pesan” (the message) itu sendiri.
Sialnya, filsafat punya andil juga dalam menjustifikasi keberadaan influencer ini, sebagai mutan antara modernisme dan posmodernisme. Modernisme memberi tempat bagi keagungan jiwa-jiwa otentik, tempat segala free will dimanifestasikan, tentang kebebasanku, pikiranku, yang tak terpenjara bahkan oleh determinisme teologis. Posmodernisme kemudian bertanggung jawab bagi kolapsnya narasi besar (Lyotard: “incredulity toward metanarratives”), tentang perayaan akan narasi-narasi mini yang patut didengar. Simsalabim! jadilah influencer, narasi kecil individu yang bisa-siapa-saja-diantara-kita, yang individualitasnya kita sembah-sembah – dia bukan representasi narasi besar, melainkan dirinya sendiri saja lewat platform yang kita-semua-pakai sehingga menimbulkan harapan bahwa kita-semua-(juga)-bisa.
Ngomong-ngomong Hegelianisme (sori influencer, untuk bagian ini, mungkin kelean mesti minta dikunyahkan oleh chat GPT), dengan demikian, influencer bisa jadi merupakan sintesis antara otentisitas individu sebagai proyek modernisme dan geliat narasi kecil sebagai proyek posmo. Nah konsisten dengan logika Hegelian, influencer ini sekarang menjelma menjadi tesis. Suatu wacana utama yang liurnya menjadi sabda, belahan toketnya menjadi pahala, dan apapun tongkat yang dilemparkan menjelma bara api.
Tak peduli si influencer bicara apa-apa tanpa dasar, ngebacot ilmiah hasil googling, atau berfilsafat sepotong-sepotong asal ngutip Epiktetus atau Markus Aurelius, jemaahnya langsung bersujud. Barangsiapa berani mengkritisi junjungannya, siap-siap diserbu laskar anonim. Lucunya, di sinilah letak kemahiran influencer sebagai buah dialektika-menuju-akhir-sejarah: segala kritik, hinaan, antitesis, mampu dirangkul untuk membuahkan luaran yang pada akhirnya menguntungkan dirinya yakni traffic yang berujung monetisasi alias duit. Makin kontroversial, makin ramai juga orang berkunjung ke platformnya. Tak apa dihujat, yang penting cuan puluhan juta.
Inilah kemungkinan besar yang ada dalam pikiran si influencer itu saat melemparkan wacana menyoal filsafat yang kemarin ramai. Dia tahu orang-orang filsafat ini nolep (no life) yang butuh tempat untuk menyalurkan kebijaksanaannya, hasil belajar dari perguruan di langit, pada siapa skill ini harus dipamerkan setelah capek-capek ditempa raksasa filsafat Barat dari mulai Platon sampai Russell?
Umpan pun dimakan. Influencer ini tahu dia tak sanggup menghadapi serbuan para kutu buku yang sehari-harinya menelan ratusan halaman. Tangkisan-tangkisannya simpel dan bodoh seperti mempertanyakan definisi (padahal dalam ilmu logika, pendefinisian adalah materi di bab-bab pembuka), menyuguhkan data-data sebagai bukti (padahal filsafat tak selalu perlu data sebagai asupan, melainkan bisa juga koherensi berpikir), dan jurus terakhir untuk melunakkan tensi perdebatan: sopan santun, tata krama (padahal filsafat moral tak lagi bicara decorum atau etiket, melainkan pokok yang lebih mendasar yakni etika).
Namun apa artinya seluruh pelajaran fundamental itu di hadapan Sang Nabi yang menjadi wacana utama dalam masyarakat kontemporer? Para filsuf akhirnya mengangguk-angguk, malah bersorak kegirangan saat argumennya dipatahkan asal tetap viral kebawa beken si influencer. Filsafat tidak hanya kehilangan martabat, tapi juga hanya jadi pisau tumpul di hadapan “Diogenes algoritma” yang tengah mengacungkan jari tengah pada kawanan inteleque berjudul filsuf. Pada akhirnya, aporia para filsuf hanya menjadi tontonan massal untuk kemudian diuangkan, masuk ke rekening beliau wkwkwk
Jadi, ini adalah seruan:
Bagi Hegelian, masa kalian tidak tertarik untuk menahbiskan diri sebagai antitesis sejarah untuk melawan fenomena influencer? Bagi Marxis, tidakkah kalian melihat ada pengumpulan keuntungan pribadi di balik eksploitasi tontonan ini? Masa Engelsian tidak bisa melihat bahwa pengembalian keuntungannya dalam bentuk sedekah beasiswa sebagai ciri kerusakan society seperti gambaran Engels dalam kondisi kelas pekerja di Inggris? Bagi Marxis pembaharu, masa kalian latah melihat ini sebagai fenomena intelektual organik tanpa mampu mengkritisnya sebagai hegemoni baru? Bagi penggemar etika, masa kalian tak mampu melihat gerak geriknya sebagai moralis berbau busuk yang bercita-cita mulia padahal penuh kepentingan di baliknya? Bagi penggemar filsafat sains, buat apa belajar problem demarkasi, kalau usaha kalian membaca Comte, Popper, sampai Laudan, pada akhirnya dikalahkan oleh argumen logika mistika yang mentok pada urusan perdukunan?
Atau bagi kalian pencinta kebijaksanaan, mungkin juga tidak ada salahnya untuk lebih baik diam, kembali pada ruang pertapaan yang sunyi karena sungguh, arena ini bukan level kalian. Ini arena yang terlalu hiruk pikuk untuk para filsuf yang mulia, yang perlu ketenangan untuk senantiasa bersentuhan dengan Ada. Kalau tidak punya keberanian untuk menjadi antitesis, mundurlah ke kesepian masing-masing, atau ngakak sampe mampus sekalian bareng badut-badut algoritma.