“Spiritualitas” Ketidakadilan

Oleh Reza A.A Wattimena

2014-2015, karir profesional saya hancur. Fitnah disebarkan begitu luas oleh salah satu orang terdekat dalam hidup saya. Di masyarakat yang tak kritis dan doyan bergunjing, fitnah ditelan dengan riang gembira. Atasan dan para rekan kerja menelan fitnah, dan memutuskan untuk menjatuhkan saya secara profesional.

Saya harus menelan ketidakadilan. Saya tak diam saja. Saya memutuskan untuk melakukan konsultasi hukum. Namun, setelah menimbang semua unsur, saya memutuskan untuk menerima ketidakadilan tersebut.

2017, hal serupa terjadi. Secara profesional, saya tak ada masalah sedikit pun. Namun, fitnah kembali beterbangan. Dan, di masyarakat yang disiksa agama kematian dan lemah akal sehat, fitnah serupa dihujam ke karir saya yang masih berumur janin.

Tak hanya dua kali saya hidup menelan ketidakadilan. Ada beberapa kejadian lain yang terlalu rumit dan panjang untuk diceritakan. Hidup saya tak asing dengan ketidakadilan. Ini rupanya adalah gejala yang cukup luas ditemukan di dalam sejarah.

Yesus difitnah, lalu dihukum salib. Nelson Mandela harus mendekam puluhan tahun di penjara, karena melawan politik apartheid. 2025, Indonesia, kasus Tom Lembong membuat kita marah atas ketidakadilan yang terjadi. Ratusan juta warga Indonesia harus menelan ketidakadilan setiap harinya, karena pemerintahan yang korup dan busuk sampai ke akar.

Enam hal kiranya bisa direnungkan. Pertama, ketidakadilan adalah sebentuk ketidakseimbangan. Begitulah kiranya yang dikatakan oleh Plato, pemikir Yunani, lebih dari 200o tahun yang lalu. Ketika ada bagian-bagian dari sistem yang membusuk, maka seluruh sistem akan terkena dampak, dan ketidakadilan tercipta.

Di Indonesia, pembusukan sudah terjadi di pucuk pimpinan negara, sehingga seluruh elemen masyarakatnya ikut mengalami pembusukan. Politik berisi transaksi busuk dan ajang pemenuhan kerakusan. Lingkungan rusak, karena industrialisasi dan penambangan yang mengabaikan akal sehat. Ekonomi, pendidikan dan budaya juga membusuk sampai ke akar, persis karena kesadaran yang amat sempit, dan tercermin di dalam perilaku yang merusak.

Dua, kerinduan akan keadilan tertanam di dalam jiwa manusia. Itu bukanlah ciptaan sosial lewat proses pendidikan. Secara alamiah, manusia memiliki rasa adil di dalam sanubarinya. Di dalam masyarakat yang waras, tata kelola hidup bersama mencerminkan langsung kerinduan terdalam manusia tersebut.

Tiga, ketidakadilan adalah fakta. Ia adalah bagian dari kenyataan yang kompleks. Sebagai bagian dari kenyataan yang sudah ada, ketidakadilan tidak memiliki makna pada dirinya sendiri. Ia adalah sebuah peristiwa yang bisa dimaknai dengan beragam cara.

Empat, sebagai sebuah peristiwa, ketidakadilan adalah pemurnian. Kita ditampar untuk sungguh sadar, bahwa yang ilusif tak pernah bisa digenggam. Nama baik, karir, kekuasaan, jabatan, tubuh dan pikiran adalah ilusi-ilusi yang kita genggam erat, serta terpaksa melepas, ketika ajal menjemput. Ketidakadilan menampar kita untuk melepas kebodohan, yakni melepas ilusi-ilusi yang kita kira sebagai nyata.

Ketidakadilan juga memaksa kita berpikir ulang tentang siapa diri kita yang sebenarnya. Karena ketidakadilan, profesi bisa berganti. Jabatan bisa terlepas. Reputasi bisa tercoreng, dan harta kekayaan bisa habis ditipu, atau disita.

Di balik semua hal yang berubah, apa yang tetap dan tersisa? Kata dan konsep tak akan mampu menjawabnya, karenanya keduanya pun bagian dari kenyataan yang terus berubah. Tuhan dan agama pun tak akan membantu, karena keduanya pun adalah konsep serta kenyataan yang sementara. Diri kita yang sebenarnya, yang berada di luar waktu, sesungguhnya, tak memiliki nama. Ia adalah kesadaran murni yang identik dengan kejernihan, welas asih dan keseimbangan batin.

Lima, jika pengalaman ketidakadilan dimaknai sebagai kesempatan untuk melepas ilusi dan menyadari diri kita yang sebenarnya, maka kebijaksanaan akan muncul. Orang bisa melihat keadaan sebagaimana adanya. Tanggapan dalam bentuk tindakan yang tepat pun bisa muncul. Ada waktunya orang bergerak untuk melawan ketidakadilan yang terjadi, dan ada waktunya ketidakadilan adalah sebuah keadaan yang mesti diterima sebagai bagian dari kesementaraan kenyataan.

Enam, di dalam Zen, salah satu pandangan yang penting adalah only go straight, don’t know. Artinya, kita jalan terus, dan tetap mempertahankan “batin yang tidak tahu”. Inilah batin yang terbuka, dan tidak menyimpulkan apapun. Segala perubahan dan naik turun kehidupan dijalani dengan keterbukaan penuh dari saat ke saat. Di dalam menapaki ketidakadilan, batin yang sepenuhnya terbuka dan tidak menyimpulkan ini adalah kunci untuk keluar dari penderitaan.

Juli 2025, saya mencoba melakukan refleksi. Berkat ketidakadilan yang datang bertubi-tubi kurang lebih 10 tahun yang lalu, saya terjun ke dalam tradisi Zen dan filsafat Asia secara umum. Saya menemukan pencerahan, dan bisa berbagi dengan seluruh mahluk yang ingin lepas dari penderitaan. Di titik ini, saya berterima kasih pada ketidakadilan yang telah terjadi berulang kali. Mereka semua adalah guru-guru kehidupan yang tak ternilai harganya…

Semoga Tom Lembong bisa menjalani hal serupa…

===

Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Dipublikasikan oleh

avatar Tidak diketahui

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Kesadaran, Agama dan Politik. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023), Zendemik (2024), Teori Politik Progresif Inklusif (2024), Kesadaran, Agama dan Politik (2024) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.