Filsafat telah Mati, Ketika Para Filsuf Kegocek Influencer

Oleh Syarif Maulana, Filsuf dan Budak Cinta

Dua minggu terakhir ini, cukup ramai DM Instagram saya dikirimi pesan dari orang-orang yang meminta respons, terkait pernyataan seorang influencer (saya malas sekali menuliskan namanya). Kata influencer tersebut kira-kira: “jurusan filsafat sebaiknya dihapuskan”, “Filsafat sudah tidak relevan dengan perkembangan teknologi”, “Dulu filsafat mungkin penting, sekarang tidak lagi karena sudah ada pembuktian empiris oleh sains” dan fafifu lainnya yang sebenarnya tidak berbobot dan tidak baru sama sekali, tetapi begitu viral, heboh, dan disikapi serius oleh berbagai komunitas dan pembelajar filsafat.

Entahlah, mungkin para pegiat filsafat sudah buntu mengatasi problem-problem seperti hard problem of consciousness, masalah pikiran – tubuh, atau posisi matematika sebagai entitas yang ditemukan atau diciptakan, dan sebagainya. Kelihatannya bagi mereka, ada hal yang lebih menarik untuk dibela, yakni posisi filsafat di hadapan seorang influencer yang notabene tidak tahu apapun tentang filsafat (kecuali Stoikisme bagian kesetnya saja).

Ironis. Pembelajar filsafat seolah lupa, bahwa tugas seorang filsuf, sebagaimana dituliskan dalam Apology 30e-31a, adalah “sebagai lebah penyengat bagi kuda besar yang malas”. Dalam narasi tersebut, Sokrates menyebut dirinya sebagai “lebah penyengat” (gadfly). Sementara, ia menunjuk kota dan masyarakat di dalamnya sebagai “kuda besar yang malas”. Nah, dalam peristiwa wabah influencer ini, tidak sulit untuk menyebut siapa yang menyengat dan siapa yang tersengat. Kebalik, bukan?

Malah kalau ditilik-tilik, kelakuan si influencer ini justru lebih mirip dengan gaya Sokrates di pengadilan, terutama pada bagian kedua Apology, yang cenderung mengajak forum untuk menghukumnya rame-rame, dan bahkan memilihkan jenis hukuman apa yang tepat baginya. Makin bingung kan, jadi yang sebenarnya filsuf itu siapa? Malah keliatannya para pegiat filsafat beneran inilah yang tiba-tiba muncul ke permukaan dan berlagak seperti kawanan yang mengadili “Si Sokrates”.

Lagipula, sejak kapan filsuf kudu tersinggung tentang posisinya yang anteng di menara gading? Sebelum Revolusi Prancis, rakyat jelata tak memiliki kedudukan apa-apa dalam sejarah. Para filsuf yang kita tahu itu, sebut siapa saja: Platon, Aristoteles, Cicero, Seneca, Duns Scotus, Descartes, Hume, Locke, dan – eh masukin perempuan filsuf biar tidak dikomentari feminis, Hypatia atau Héloïse, adalah orang-orang yang tak mungkin sekadar rakyat biasa. Pastilah mereka cukup punya kedudukan atau setidaknya dekat dengan kekuasaan, sehingga pikirannya didengar, tulisannya dibaca.

Bisa dikatakan bahwa: mereka dikukuhkan statusnya sebagai filsuf, justru karena tinggal di menara gading. Justru karena orang-orang itu tidak sibuk bercengkerama dengan rakyat jelata, sehingga punya cukup waktu luang untuk berpikir dan menuliskan pikirannya. Sebelum kalian memberikan contoh Diogenes dari Sinope, si anjing gembel itu, ingat bahwa dia dikenal salah satunya karena peristiwa epiknya bersama Alexander Agung yang kemudian diabadikan dalam buku babon sejarah filsafat Yunani berjudul Lives and Opinions of Eminent Philosophers karya Diogenes Laertius (ini Diogenes yang berbeda ya).

Pasca Revolusi Prancis, filsafat tidak kehilangan marwahnya sebagai penghuni menara gading, tetapi berpindah dari golongan bangsawan elitis menjadi kelompok akademisi. Kita bisa sebut nama-nama seperti Hegel, Marx, Bakunin, Luxemburg, Sartre, de Beauvoir, Heidegger, Arendt, Adorno, Derrida, hingga Latour, sebagai orang yang setidaknya mengenyam bangku kuliahan minimal setara S1.

Oke, poinnya, para filsuf tidak hanya memiliki pikiran yang cemerlang dan maju, mereka juga memerlukan struktur untuk buah pikir itu supaya lestari. Meskipun orang-orang seperti Descartes atau Kant kerap digambarkan sebagai pemikir yang seolah-olah kemana-mana sendiri dan tak banyak teman, tapi jelas bahwa mereka berada dalam struktur yang kuat untuk menyalurkan gagasannya (Descartes adalah pemikir kesayangan Ratu Christina dari Swedia dan Kant adalah akademisi Universitas Königsberg dan muridnya Martin Knutzen).

Berkaca dari sejarah, saya bisa lumayan berempati pada para filsuf belakangan ini yang kegocek oleh influencer. Sebenarnya bisa jadi bukan murni kegocek, tetapi para pegiat filsafat ini kelihatannya memandang keterkenalan influencer sebagai struktur kuat dalam menyalurkan gagasan di era media sosial. Celetukan seorang influencer mungkin setara dengan undangan Ratu Christina bagi Descartes, atau hadirnya Alexander Agung ke hadapan Diogenes: ada peluang untuk “numpang beken” dalam narasi sejarah yang tengah dimenangkan. Mungkin pikir para pegiat filsafat ini, “Biarpun influencer-nya goblok, yang penting adalah kanal Youtube dan ratusan ribu followers-nya yang bisa membuatku keluar dari masturbasi belasan tahun di ‘Gua Platon’.”

Tapi pertanyaannya, apakah popularitas adalah satu-satunya struktur yang kuat dalam menyalurkan gagasan? Apakah para filsuf ini tidak punya opsi lain, selain melebur bersama selebrasi ecek-ecek di ruang digital penuh clickbait dan highlight, tanpa punya daya upaya untuk mengkritisi dan menciptakan narasi tandingan?

Kalau memang histeria dan popularitas adalah satu-satunya struktur yang diakui sejarah, maka jalur itu sudah digilai oleh Adorno di pertengahan abad ke-20, tatkala televisi sedang ramai-ramainya mempengaruhi masyarakat. Alih-alih ikut arus, Adorno memilih untuk mengkritik budaya populer sebagai pembentuk kesadaran palsu lewat berbagai fabrikasi dan standardisasi. Konsekuensinya, Adorno kerap dicap sebagai filsuf elitis, gak membumi, dan jauh dari selera umum.

Tapi dari gagasan Adorno juga saya belajar: memang apa masalahnya kalau filsuf itu elitis? Bukankah tidak semua orang harus paham filsafat, sebagaimana juga tidak semua orang harus paham kedokteran dan tidak semua orang harus paham hukum? Waktu dulu saya pernah belajar musik jazz, guru musik saya, Venche Manuhutu, mengingatkan: “Bermainlah hanya untuk orang-orang yang paham.” Artinya, tak ada keharusan untuk gagasan kita diterima semua orang. Dengan demikian, tak semua gagasan harus disalurkan lewat popularitas dalam rangka mencapai kuantitas – hal yang sebenarnya jadi sentral hidup matinya influencer yakni kuantitas pengikut.

Kritik Adorno terhadap musik populer memang agak terlalu sinis, tetapi saya diingatkan satu hal: musik populer diciptakan untuk memuaskan selera massa, sementara ada musik yang tidak peduli akan selera massa – dia kemudian menunjuk musiknya Schoenberg. Memang kalau kita dengarkan musik Schoenberg, terutama yang terkandung di dalamnya teknik dua belas nada (tidak akan dijelaskan di sini, males), telinga awam akan bereaksi ini musik enaknya sebelah mana, kok tidak bisa dinikmati. Namun di situlah persis poinnya: musik yang kuciptakan bukan dibuat untuk membuatmu merasa nikmat.

Poin dari seluruh uraian tentang Adorno dan Schoenberg di atas adalah bahwa para filsuf atau pegiat filsafat selalu punya pilihan untuk tidak masuk pada jalur populis sebagai struktur yang kuat untuk mengawetkan gagasan. Kalaupun ada struktur lain yang lebih tidak populer dan dicap elitis, ya terus kenapa? Memang filsafat bukan untuk semua orang kok. Kalau Deleuze pengen nulis dengan bahasa belibetan yang gak pengen dipahami orang lain dengan sederhana, terus buat apa kita susah-susah membuatnya sederhana? Lantas, kalau orang tidak bisa memahaminya dengan sederhana, berarti bisa langsung menyimpulkan bahwa filsafat itu tidak berguna?

Dalam konteks wabah influencer ini, mungkin dengan lebih tegas dapat dikatakan: yah, ngomentari influencer emang penting buat riding the wave di zaman sekarang, tapi gak usah terlalu latah lah, yang ujung-ujungnya cuan juga dia ntar dapat monetisasi dari traffic. Elo nya dapet keterkenalan, oke, ntar dipanggil jadi pembicara sana sini, oke, tapi gak tau deh, apakah filsafat bener-bener perlu jadi seterkenal itu? Kalau terlalu beken ntar banyak yang salah paham, banyak yang anti filsafat juga karena terlalu bego untuk memahami.

Mending adem-adem aja, cuman dipahami segelintir orang yang mampu dan mau. Bukankah waktu luang untuk menekuni filsafat itu justru yang bikin filsafat maju sebagai keilmuan? Lewat riset yang dipublikasikan di jurnal ilmiah, lewat perdebatan antara orang-orang yang paham di hadapan orang-orang yang paham, lewat pedagogi yang ketat pada teks dan bukan atas bantuan ChatGPT. Jumlah orang yang terlibatnya cuma lima orang, sepuluh orang, terus kenapa, kalian filsuf masalahin banget kuantitas kek begini? Bodo amat urusan praktis sebagaimana dimasalahin si influencer itu. Saya pernah nge-tweet soal ini dulu dan bisa disikapi agak serius: “Orang belajar filsafat bukan untuk mendapatkan pekerjaan, tapi untuk memaknai pengangguran.”

Soal si influencer ngomen filsafat udah dikalahkan oleh sains yang lebih mampu memberikan bukti-bukti empirik, itu urusan kalianlah para filusuf sains. Keluarin tuh bacotan Poincaré, Duhem, realisme anti realisme, atau bisa juga What is Metaphysics-nya Heidegger yang menunjukkan bahwa sains selalu ngomongin being, tetapi tidak berbicara soal yang Nothing (tapi terlalu berat, influencer kagak bakalan ngarti).

Saran praktis saya, fokuslah pada hal-hal yang jadi masalah penting dalam filsafat. Apalah itu soal kesadaran, AI, etika praktis, cita-cita komunisme, atau filsafat analitik yang tak selesai-selesai itu. Berdiskursuslah dengan sesama orang yang bermutu. Bukannya nebeng pada influencer yang asal celetuk untuk kepentingan monetisasi. Percuma. Filsuf kok malah jadi legitimator untuk suara bodoh. Kalau kalian cinta ilmu filsafat, hal-hal demikian tidak terlalu bermanfaat untuk perkembangan ilmu filsafat itu sendiri. Untuk apa mencerahkan orang banyak yang baca Dunia Sophie saja malas, apalagi Critique of Pure Reason. Biar kalian punya teman? Biar kalian gak kesepian?

Kalau filsafat khawatir akan kesepian, maka sudah saatnya dia mati.

Dipublikasikan oleh

avatar Tidak diketahui

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Kesadaran, Agama dan Politik. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023), Zendemik (2024), Teori Politik Progresif Inklusif (2024), Kesadaran, Agama dan Politik (2024) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.