Aku Telah Banyak Menderita

Multatuli, pseudoniem voor Eduard Douwes Dekker

Oleh Dhimas Anugrah, Ketua Circles Indonesia, komunitas pembelajar di bidang budaya, filsafat, sains

Hari ini aku berada di Neckarsulm, sekitar 600 kilometer barat daya dari Berlin. Sebuah kota kecil yang tenang, dengan orang-orang yang ramah, dikelilingi hamparan kebun anggur dan desir angin musim panas yang lembut.

Entah mengapa, barusan aku membuka album foto di ponsel. Jariku berhenti pada satu gambar: patung Multatuli. Foto itu kuambil dengan kamera ponsel saat berada di Amsterdam beberapa hari lalu.

Kini, di tengah angin Neckarsulm dan aroma tanah yang khas, aku kembali teringat: Multatuli, yang berarti “aku telah banyak menderita.” Sebutan itu bukan sekadar nama pena Eduard Douwes Dekker. Ia adalah kesaksian sunyi dari luka nurani kolonial. Ia menulis Max Havelaar sebagai kritik sekaligus sebagai jeritan hati seorang manusia yang menyaksikan ketidakadilan di tanah yang jauh dari asalnya, tapi tak pernah jauh dari jiwanya.

Aku terdiam. Lalu mulai menulis, bukan tentang politik atau ketidakadilan yang digugat oleh Dekker, melainkan tentang penderitaan. Di kota bernama Neckarsulm ini, Multatuli terasa dekat. Bukan karena aku sedang merasa menderita, justru sebaliknya, hatiku sedang tenang dan bahagia. Namun, Multatuli seakan mengajakku menengok ke dalam: ke sebuah kesadaran terdalam bahwa penderitaan memang mewarnai hidup manusia.

Universalitas Penderitaan

Penderitaan tak mengenal batas geografis. Ia tinggal dalam hati siapa pun yang masih sanggup merasa, merenung, dan memilih tidak tinggal diam. Musa, yang oleh Philo disebut sebagai filsuf pertama bangsa Yahudi, pernah berujar bahwa umur manusia tujuh puluh tahun, atau delapan puluh jika kuat, dan kebanggaannya adalah “kesukaran” dan “penderitaan.”

Dan memang demikianlah: penderitaan bukan sekadar nasib, melainkan bagian tak terpisahkan dari kehormatan manusia di hadapan Sang Khalik. Dalam tradisi Yudaisme, penderitaan bukan aib yang harus disembunyikan, melainkan misteri kehidupan yang perlu ditafsirkan. Ia bukan hanya luka, tapi juga tanda, yaitu tanda bahwa manusia hidup dalam hubungan yang serius dengan dunia dan dengan Tuhan.

Dalam Midrash, para rabi menggambarkan penderitaan sebagai “cawan pahit” yang hanya diserahkan kepada mereka yang dicintai oleh-Nya. Bukan karena Tuhan kejam, melainkan karena dalam cawan itu tersembunyi hikmat. Sama seperti minyak zaitun tak akan mengeluarkan aromanya tanpa tekanan, begitu pula jiwa manusia sering hanya menampakkan kedalamannya melalui luka yang diterima dengan keterbukaan rohani.

Rabi Akiva, yang wafat dalam penganiayaan karena imannya, tersenyum ketika kulitnya disayat besi. Ketika ditanya muridnya mengapa ia bisa tetap bersyukur, ia menjawab, “Kini aku sungguh mencintai Tuhan, bukan hanya dengan jiwaku, tapi juga dengan tubuhku.” Baginya, penderitaan bukanlah akhir, melainkan intensifikasi cinta, yaitu sebuah perjumpaan yang tak bisa dijangkau oleh logika dunia.

Aku termenung. Apakah penderitaan hanya dapat dimengerti ketika dibaca sebagai berita atau perjanjian suci yang mengikat manusia pada misteri Yang Tak Terucapkan? Di sinilah filsafat Yudaisme agak berbeda: ia tidak menyelidiki penderitaan untuk menyingkirkannya, melainkan untuk berdamai dengannya, bahkan merangkulnya sebagai ruang kemungkinan bagi kehadiran Tuhan.

Rasionalitas Penderitaan

Namun di sisi lain, dalam ranah rasio murni dan moral praktis, penderitaan tidak boleh semata-mata diterima sebagai anugerah yang tak terjelaskan atau misteri yang disucikan oleh tradisi. Penderitaan, dalam kerangka akal budi yang otonom, menuntut penyelidikan yang ketat atas kondisi-kondisi yang memungkinkan keberadaannya, dan lebih dari itu, atas prinsip etis yang memberi bobot dan arah kepada respons kita terhadapnya.

Penderitaan, sejauh ia dialami oleh manusia sebagai subjek rasional, bukan sekadar sensasi pasif, melainkan pengalaman moral yang menggugah kesadaran akan harga diri manusia sebagai makhluk berakal dan bebas. Ia menjadi semacam “fenomena batas,” yaitu pengalaman yang tidak dapat kita hindari, melainkan perlu kita pahami melalui struktur normatif dari hukum moral dalam diri kita.

Bahwa manusia menderita tidak hanya karena ia hidup dalam dunia alamiah yang tunduk pada sebab-akibat, melainkan karena ia memiliki kapasitas untuk menilai, untuk berkata, “Ini tidak seharusnya terjadi.” Penderitaan menunjukkan bahwa manusia memiliki standar tentang apa yang adil, apa yang layak, dan apa yang pantas bagi makhluk yang memiliki martabat.

Dalam hal ini, penderitaan adalah cermin tempat akal budi bercermin tentang dirinya sendiri. Ia memaksa manusia mempertanyakan bukan hanya “mengapa aku menderita,” melainkan “apakah aku bertindak sedemikian rupa sehingga penderitaan itu tidak memperbudak atau menghancurkan diriku sebagai subjek moral.” Penderitaan menjadi uji terhadap integritas batin: apakah aku akan menyerah kepada determinasi eksternal, ataukah tetap berdiri sebagai pribadi yang bertindak menurut imperatif kategoris, yaitu bertindak sedemikian rupa sehingga tindakanku dapat dijadikan hukum universal.

Di titik ini, penderitaan tak lagi hanya tentang “merasakan,” ia juga tentang “menjadi,” yaitu berproses menjadi makhluk etis yang tunduk pada dunia dan turut serta dalam memperbaikinya. Bahwa di tengah dunia yang penuh kesewenang-wenangan dan pengkhianatan, seseorang tetap memilih menghormati martabat orang lain dan dirinya sendiri, adalah bukti paling radikal bahwa kebebasan moral tidak bisa dihancurkan oleh penderitaan. Justru di sanalah kebebasan itu dibuktikan.

Maka, di tengah keheningan Neckarsulm pagi ini, aku menyadari satu hal: penderitaan memang universal, dan yang terpenting, tanggapan kita terhadapnya bersifat personal dan menentukan. Ia bisa menjadi beban yang melumpuhkan, atau medan tempat martabat manusia diuji dan ditegakkan. Dan pada akhirnya, seperti Multatuli yang tidak memilih diam, kita pun dipanggil menjadikan penderitaan bukan akhir dari kemanusiaan, melainkan awal dari kebebasan etis yang sejati.

Penderitaan dan Kebebasan

Jika kita dipanggil menjadikan penderitaan bukan akhir dari kemanusiaan, melainkan awal dari kebebasan etis yang sejati, maka kita perlu juga mengupas apa yang dimaksud dengan “kebebasan etis.” Kebebasan etis selain kemampuan memilih atau bertindak menurut kehendak diri, ia merupakan  keterarahan batin yang dipurifikasi oleh penderitaan dan ditransformasi menuju kebaikan yang lebih tinggi, yakni relasi dengan Yang Ilahi dan sesama dalam cinta. Kebebasan ini bukanlah kemandirian dari segala determinasi, melainkan kemampuan hidup dalam ketaatan yang penuh kesadaran kepada nilai-nilai yang melampaui egosentrisme.

Namun, di sinilah paradoks manusia muncul. Martin Luther, dalam De Servo Arbitrio (tentang kehendak yang terikat) menyatakan bahwa kehendak manusia tidaklah bebas dalam arti sejatinya. Ia menulis bahwa manusia yang tercemar oleh dosa asal selalu memilih menurut kecenderungan batinnya yang jatuh. Ia memang memiliki kehendak, tapi kehendaknya tertawan oleh dorongan-dorongan yang melenceng dari kehendak ilahi. Kebebasan, dalam pengertian Luther, hanya dapat dimungkinkan bila kehendak manusia dipulihkan dan dibebaskan oleh rahmat ilahi.

Dengan demikian, kebebasan etis yang sejati tidak lahir dari otonomi manusia, melainkan hasil dari pembebasan oleh kebenaran yang memerdekakan. Dalam tradisi religius Kristiani, sabda Tuhan itulah kebenaran yang memerdekakan. Dan, justru di dalam penderitaan, terutama penderitaan yang dijalani dalam iman, manusia ditelanjangi dari ilusi kebebasan palsunya. Dalam keterbatasan, ia menemukan bahwa kebebasan sejati bukanlah “melakukan apa yang aku mau,” tapi “menjadi aku yang sejati,” yakni pribadi yang mencintai, mengampuni, dan hidup dalam pengharapan yang transenden.

Maka, penderitaan menjadi laboratorium spiritual, tempat di mana hasrat yang semula terikat oleh ego dipatahkan dan diarahkan kembali pada yang ilahi. Di sinilah kebebasan etis itu lahir, bukan dari kemampuan memilih segala kemungkinan, melainkan dari keberanian tetap memilih kebaikan meski dalam keadaan terluka dan terkhianati. Kebebasan itu bukanlah soal opsi yang terbuka, melainkan tentang komitmen yang dijalani dengan setia, meski perlu melalui jalan salib.

Dalam pengertian ini, kebebasan etis adalah anugerah yang dialami dalam relasi, bukan diklaim dalam isolasi. Ia adalah buah dari transformasi eksistensial, bukan dari pelarian terhadap penderitaan. Kebebasan sejati bukan berarti bebas dari penderitaan, tapi sanggup mencintai meski menderita. Di sanalah manusia menemukan kembali martabatnya, bukan sebagai makhluk yang bebas secara absolut, melainkan sebagai makhluk yang dibebaskan untuk mencintai.

Menguduskan Penderitaan

Di titik inilah seluruh simpul narasi ini bertemu: Multatuli, Neckarsulm, penderitaan, rasio, iman, dan cinta. Penderitaan membongkar ilusi otonomi kita, ia mengguncang, mengikis, dan akhirnya mengarahkan kita pada kebenaran yang tak bisa dibangun semata dari kalkulasi rasional: bahwa manusia sejati adalah ia yang mampu tetap mencintai, bahkan ketika menderita.

Kebebasan etis sejati tidak berbicara tentang kemampuan memilih tanpa batas, melainkan keberanian tetap memilih kebaikan dalam keterbatasan. Di sanalah martabat manusia menjulang, tidak karena ia kuat, melainkan karena ia taat, karena ia setia, meski hancur. Dalam dunia yang menjunjung dominasi dan monopoli, penderitaan justru membuka kemungkinan bagi penyerahan yang penuh makna: bukan menyerah kepada absurditas, tapi berserah dalam iman kepada Tuhan.

Multatuli menulis karena rakyat Hindia Belanda yang menderita. Tapi, ia juga menulis karena ia masih percaya bahwa masih ada harapan. Maka, di tengah angin sepoi-sepoi Neckarsulm, aku mengerti: mungkin kita tidak dipanggil untuk menghindari penderitaan, melainkan menguduskannya, membiarkannya membentuk kita menjadi manusia yang tak hanya berpengetahuan, tapi juga melakoni kebajikan dengan cinta. Sebab, hanya cinta yang mengubah luka menjadi ruang perjumpaan, dan hanya kesetiaan kepada Tuhan yang membuat penderitaan tidak sia-sia.

Dipublikasikan oleh

avatar Tidak diketahui

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Kesadaran, Agama dan Politik. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023), Zendemik (2024), Teori Politik Progresif Inklusif (2024), Kesadaran, Agama dan Politik (2024) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.