Tiga kali, saya mendapatkan tawaran untuk menjabat di jajaran para penguasa politik. Tiga kali, saya menolaknya. Saya menolak untuk bekerja di bawah rezim gemoy fufufa yang korup sejak awal. Saya juga menolak tunduk pada partai politik yang mengaku demokratis, namun berjalan seperti kerajaan.
Rupanya, saya sendirian. 2025, kita menyaksikan jabatan-jabatan politik membusuk yang diumbar luas. Sebut saja wamen, stafsus, staff ahli, komisaris BUMN, wakil rakyat, menteri dan sebagainya. Jabatan-jabatan dengan fungsi penting, namun diberikan pada orang-orang yang bermutu rendah. Jabatan-jabatan yang dulu terhormat, kini menjadi bahan lelucon untuk menertawakan kebusukan rezim.
Gaji mereka berlimpah. Fasilitas mereka beragam. Ada ajudan yang siap disuruh kapanpun. Ada mobil dan rumah dinas mewah yang siap dihuni keluarga dan kerabat.
Tentunya, semua dari uang rakyat. Lebih dari 80 persen rakyat Indonesia hidup dalam cekikan kemiskinan dan kebodohan. Kekayaan alam dikeruk untuk kemewahan hidup segelintir orang, terutama mereka yang menempati jabatan-jabatan busuk tersebut. Indonesia pun terancam runtuh, karena ulah para politisi busuk ini.
Gaji dan fasilitas besar bisa dibenarkan, asal ada kompetensi. Inilah yang tak terjadi di Indonesia. Jabatan-jabatan publik membusuk, karena ditempati oleh orang-orang tak memiliki kompetensi. Mereka hanya jago menjilat dan mencuri, lalu jadi pejabat yang menyiksa rakyat.
Karena dipilih bukan karena kemampuan, kinerja pun tak ada. Sampai Juli 2025, semua sektor kehidupan bermasyarakat bermasalah. Indonesia sedang menjadi gelap, dan semakin gelap. Korupsi, kemiskinan, penipuan, kolusi, nepotisme dan ketimpangan meningkat di semua bidang kehidupan.
Korupsi adalah pembusukan fungsi. Jabatan-jabatan publik mengalami kebuntuan. Pelayanan publik menurun, bahkan tidak ada sama sekali. Dari lurah sampai menteri, semua siap memeras dan menyengsarakan rakyat.
Di berbagai sektor kehidupan, masyarakat melihat terpilihnya para parasit jabatan. Inilah orang-orang yang tak kompeten, namun memegang jabatan publik, karena rajin menjilat, dan menipu. Para parasit jabatan menghisap habis sumber daya bangsa untuk memuaskan kerakusan pribadi mereka. Kehadiran mereka dipanggung publik membuat masyarakat merasa mual.
Kerakusan memang sesuatu yang penuh teka teki. Ia bagaikan rasa haus yang tak bisa terpuaskan oleh air biasa. Ia lahir dari kesalahan berpikir mendasar tentang diri dan dunia. Para parasit jabatan ini disiksa kerakusan dari dalam hati mereka, dan tak menemukan jalan keluar untuk memuaskan kerakusan tersebut, kecuali dengan merusak alam, mencuri serta menipu rakyat.
Republik Indonesia pun terancam runtuh. Tidak ada pemimpin yang layak menjadi teladan. Rakyat hidup tanpa arah, tanpa panduan dan tanpa jaringan pengaman sosial yang kokoh. Di dalam republik yang nyaris runtuh ini, pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai luhur terasa seperti sebentuk kemunafikan.
Para parasit jabatan sudah mencium keadaan ini. Mereka cepat-cepat mengumpulkan uang dengan mencuri dari rakyat, serta merusak alam. Uang tersebut ditempatkan di negara-negara predator finansial. Ketika Indonesia hancur, mereka siap melarikan diri ke luar negeri, dan menikmati hasil korupsi mereka.
Sungguh rendah kesadaran diri para parasit jabatan ini. Mereka merasa terpisah, bahkan lebih tinggi, dari rakyat yang mereka siksa, dan alam yang mereka rusak. Kekayaan bisa berlimpah, namun nurani akan terus tercabik. Penderitaan tiada tara sudah menanti para parasit jabatan ini, justru ketika mereka sedang hidup berfoya-foya.
Manusia-manusia berkesadaran rendah akan menciptakan sistem korup. Inilah sistem yang membusuk dari dan sampai akarnya. Untuk bisa hidup di sistem tersebut, orang harus korup. Orang-orang cerdas, jujur dan kreatif akan tersingkir.
Bentuk korupsi sistem paling menyedihkan adalah budaya feodal. Inilah budaya melihat segelintir manusia tertentu memiliki posisi lebih tinggi, semata karena mereka punya uang, punya titel tertentu atau agamis. Budaya feodal membunuh kompetensi dan kinerja, serta menghidupkan budaya menjilat yang menyiksa nurani. Para parasit jabatan tumbuh subur di sistem korup dengan budaya feodal semacam ini.
Bagaimana pun juga, kita hidup di masa kegelapan. Para parasit jabatan bersorak girang di jaman ini, walaupun akan menelan buah derita pada akhirnya. Harapan akan kebaikan menjadi barang langka. Keteladanan luhur hampir musnah. Kita perlu terus melihat ke dalam diri, menemukan keseimbangan batin lalu bertindak tepat, sesuai dengan kebutuhan nyata di depan mata.
Jika waktunya tepat, saya akan memegang jabatan publik. Saya tidak akan pernah menjadi parasit jabatan. Dengan kompetensi yang ada, saya akan mewujudkan kinerja tinggi untuk kebaikan bersama seluas mungkin. Mari berharap, ketika waktunya sungguh sudah tiba, dan Indonesia masih ada, tubuh ini masih bersedia untuk bernafas…
