Memahami Keinginan

Oleh Reza A.A Wattimena

Saya bukan musisi profesional. Namun, saya sangat senang bermain musik, terutama gitar. Sudah ada dua gitar di rumah, dan itu sebenarnya cukup. Namun, setiap melihat gitar dengan suara merdu dan corak indah, keinginan untuk memiliki gitar lagi pun muncul.

Tak butuh, namun hasrat memiliki berkobar. Apa yang sebenarnya terjadi? Pernahkah anda mengalami hal serupa? Apa yang sebenarnya terjadi, ketika kita menginginkan sesuatu?

Biasanya, keinginan dimulai dari pikiran. Pikiran muncul dari ingatan menyenangkan dari persentuhan dengan sesuatu. Bisa juga, pikiran untuk mendapatkan muncul dari persentuhan panca indera dengan benda. Jadi, keinginan lahir dari tiga hal, yakni ingatan, persentuhan dengan obyek dan pikiran.

Jika digali lebih jauh, apa yang sebenarnya yang kita inginkan? Jawabannya sederhana, yakni kita ingin merasakan sesuatu. Perasaan itu bisa dipicu oleh obyek tertentu. Misalnya, saya merasa senang sekali, ketika bermain gitar yang bercorak indah, dan bersuara merdu.

Gitar tersebut memicu perasaan senang di dalam diri saya. Sumber perasaan senang tersebut bukanlah dari gitar, melainkan diri saya sendiri. Gitar hanya pemantik. Ia, sesungguhnya, bisa diganti obyek lain, misalnya saya juga suka sepeda motor, atau komputer yang canggih. Perasaan senang itu bisa juga muncul dari dalam diri, tanpa obyek pemicu, asal kita paham caranya.

Jadi, keinginan itu memiliki unsur penipuan. Kita mengira, dengan mendapatkan obyek yang diinginkan, ada rasa senang yang muncul. Padahal, ini juga merupakan asumsi yang tak pasti. Menuruti keinginan, guna mendapatkan rasa senang, puas dan bahagia, adalah sebuah taruhan yang penuh ketidakpastian.

Sebenarnya, perasaan apa yang diinginkan oleh manusia? Perasaan apa yang paling kita rindukan? Jawabannya sederhana. Kita ingin merasa damai, jernih dan kreatif dalam hidup kita.

Apapun yang terjadi di tengah hidup yang terus berubah, kita ingin merasa damai. Israel dan Iran bisa berperang. Rezim gemoy fufufafa omon-omon bisa berbuat semau mereka. Namun, kedamaian di hati kita tak akan pernah terganggu.

Kita juga ingin merasa jernih. Kita ingin bisa melihat dunia sebagaimana adanya. Kita tidak mau terpengaruh emosi diri yang naik dan turun. Kita tidak mau terpengaruh sikap orang lain yang mungkin jahat pada diri kita.

Kita juga ingin menjadi manusia yang kreatif. Kita mencipta, tidak hanya untuk kebaikan bersama, tetapi juga untuk kepuasan batin kita. Kita ingin menjadi berguna bagi semesta. Kita ingin menjadi berarti bagi semua mahluk.

Semua perasaan itu, sebenarnya, sudah ada di dalam diri kita. Ia tidak muncul dari luar. Obyek-obyek, seperti gitar untuk saya misalnya, bisa membantu memunculkannya. Akan tetapi, ini tidak selalu pasti terjadi.

Bagaimana cara melahirkan perasaan damai, jernih dan kreatif tersebut, tanpa obyek dari luar diri? Caranya sederhana, yakni kembali ke keadaan batin sebelum pikiran muncul. Keadaan batin ini sebelum nama, kata, konsep dan bahasa. Ia adalah diri kita yang sebenarnya, sebelum semua identitas sosial ditempelkan kepada kita.

Sesungguhnya, yang kita cari adalah subyek yang sedang mencari. Subyek ini bersifat kosong, tak terbatas dan sepenuhnya sadar. Ia berada sebelum ruang dan waktu. Di dalamnya, ada kedamaian, kejernihan dan kreativitas yang kita rindukan.

Akar dari keinginan adalah rasa berada di rumah. Kita merasa nyaman dan betah. Obyek luar bisa membantu. Namun, jauh lebih baik, jika kita bisa melahirkan rasa nyaman tersebut dengan kesadaran utuh, yakni kembali ke keadaan batin sebelum pikiran muncul.

Gitar saya tetap dua, dan saya tidak akan menambahnya. Saya sungguh menikmati memainkannya. Terkadang, saat harus berada di luar kota dalam waktu yang lama, saya merindukan mereka. Lebih tepatnya, saya merindukan perasaan damai, jernih dan kreatif yang muncul, ketika saya bermain gitar yang cantik, serta bersuara merdu.

Namun, berkat mendalami filsafat, Zen dan berbagai tradisi pembebasan (Dharma) dunia, saya tidak menggantungkan kebahagiaan saya pada gitar. Saya bisa duduk, dan merasa damai, jernih serta kreatif. Semua itu bisa saya dapatkan disini dan saat ini, cukup dengan kembali ke keadaan batin, sebelum pikiran muncul.

Inilah kebebasan dan kekayaan yang sejati, yang tidak bisa direnggut oleh siapapun…

Dipublikasikan oleh

avatar Tidak diketahui

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Kesadaran, Agama dan Politik. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023), Zendemik (2024), Teori Politik Progresif Inklusif (2024), Kesadaran, Agama dan Politik (2024) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.