
Oleh Reza A.A Wattimena
Suatu sore, saya makan bakso dekat rumah. Namanya Bakso Mukidi. Untuk catatan, saya tidak dapat sponsor dari mereka. Mendengar kata Mukidi, saya langsung menyadari adanya perasaan tak enak di perut dan dada. Ada apa gerangan?
Ternyata, saya teringat sosok Mulyono. Rasa mual dan marah yang ada terkait dengan ingatan akan Mulyono. Padahal, saya sedang menikmati bakso. Mengapa kata Mukidi langsung membuat saya teringat Mulyono?
Saya punya tukang otak-otak langganan. Namanya pak Samsul. Ketika lewat, saya juga langsung merasa aneh di perut dan dada. Saya lalu teringat, Samsul melekat dengan kata fufufafa, si anak haram konstitusi. Sama dengan Mukidi, nama Samsul tidak menempel ke tukang otak-otak yang lezat, tetapi kini terkait dengan keluarga busuk tersebut.
Samsul. Mukidi. Buat saya, dua kata itu melahirkan rasa jijik, kecewa, mual dan marah pada waktu yang sama. Saya menyadari serta mengamati dengan lembut semua perasaan-perasaan itu. Dari mana mereka muncul?
Dunia digital kini menjadi alam semesta sendiri. Beragam informasi tersebar di dalamnya, termasuk yang palsu maupun yang bisa dipercaya. Kata Samsul dan Mukidi tersebar luas di dalamnya, serta terkait erat dengan kecurangan, kebohongan, kepalsuan dan korupsi konstitusi Indonesia. Karena itu, kedua kata tersebut kini berbau busuk.
Inilah yang saya sebut sebagai trauma linguistik. Trauma adalah luka lama yang tetap menyakitkan, meski waktu sudah lama berlalu. Luka tersebut kini tertanam di dalam bahasa. Kata Samsul dan Mukidi menjadi lambang pengkhianatan serta penipuan yang menyakiti hati seluruh rakyat Indonesia, persis karena adanya harapan yang sangat besar terhadap mereka berdua.
Trauma linguistik tertanam dalam bahasa. Bahasa terkait selalu dengan ingatan manusia. Dan ingatan selalu merupakan sesuatu yang bersifat kolektif, karena ia berpijak pada simbol dan bahasa yang tersebar di masyarakat. Maka, dalam arti ini, trauma linguistik adalah sebentuk trauma kolektif.
Trauma kolektif adalah trauma yang dialami oleh suatu kelompok. Kelompok itu bisa suku, bangsa ataupun negara tertentu. Secara umum, manusia pun bisa mengalami trauma sebagai spesies. Peristiwa negatif yang menimpa sebuah kelompok di masa lalu terus menoreh luka di masa sekarang, dan mempengaruhi pola perilaku yang ada.
Ingatan tidak lenyap begitu saja. Ia menjadi bagian dari budaya dan pola perilaku manusia. Ini berlaku di tingkat pribadi maupun kolektif. Trauma linguistik, dalam bentuk kata Samsul dan Mukidi, terkait erat dengan trauma kolektif yang juga tertanam di dalam ingatan kolektif bangsa Indonesia.
Trauma diperparah dengan penyangkalan. Di 2025, tak ada jalan keluar yang jelas atas penipuan Mukidi dan Samsul terhadap bangsa Indonesia. Tak ada langkah strategis maupun praktis yang dilakukan untuk mewujudkan keadilan. Ini semua semakin memperparah trauma linguistik kolektif bangsa.
Trauma bisa luntur lewat rekonsiliasi. Kejahatan diungkap dan diakui. Korban dan pelaku menjadi jelas, serta menjadi bagian dari pengetahuan masyarakat. Namun, hal ini sama sekali tak terjadi di Indonesia, baik untuk trauma kolektif kekerasaan ekstrem di masa lalu, ataupun trauma linguistik yang terjadi akibatnya korupnya rezim Mulyono.
Pengabaian dan penyangkalan akan memperbesar trauma. Api kemarahan dan dendam akan membara. Inilah kerap disebut sebagai bara dalam sekam, sebagai akibat dari trauma yang disangkal dan diabaikan. Gejala awalnya adalah kegelapan Indonesia, seperti yang kita rasakan sekarang ini, ketika semua unsur kehidupan mengalami kemunduran.
Bara itu akan memperbesar dan meledak. Trauma kolektif adalah bahan bakar untuk konflik dan perpecahan. Pengabaian dan penyangkalan akan menjadi bom waktu yang siap meledak di masa kini serta masa depan. Trauma linguistik terhadap kata Samsul dan Mukidi akan menetap di dalam benak rakyat, menjadi bara dalam sekam serta siap meledak menjadi konflik serta perpecahan baru.
Indonesia bisa pecah. Ini semua ditambah dengan konflik agraria yang terus terjadi, tanpa ada langkah jelas sebagai solusi. Ketimpangan ekonomi dan politik teru menghantui bangsa ini, sehingga menghasilkan pembodohan serta kemiskinan yang berkelanjutan. Sambil semua ini terjadi, kekayaan alam kita dikeruk oleh manusia-manusia korup, dan kita terus hidup dalam bayang-bayang cengkraman kekuatan asing.
Sambil menyadari perasaan tak enak di perut dan dada, saya tetap melahap bakso Mukidi. Sambil menyadari betul rasa marah di dada, saya tetap berlangganan otak-otak bang Samsul. Dua kata ini, yakni Mukidi dan Samsul, bisa bersih, jika bangsa ini berani bersikap ksatria dengan mengakui ketidakadilan yang terjadi, dan mulai berproses untuk rekonsiliasi. Dibawah rezim gemoy fufafa, hal ini tidak akan pernah terjadi…