Jika bukan seorang ayah, siapa saya? Begitu pertanyaan seorang sahabat, ketika kami berbincang. Buat saya, jawabannya mudah. Jika bukan seorang ayah, atau bahkan seorang manusia, maka kamu adalah kehidupan itu sendiri, atau kesadaran itu sendiri. Buat teman saya, jawaban tersebut membingungkan.
Tentu saja, teman saya tak sendiri. Mungkin, sekitar 99% manusia melekat pada peran sosial tertentu. Mereka melihat diri mereka sebagai orang tua, ayah, ibu, warga negara, profesi tertentu, orang beragama dan sebagainya. Ketika identitas itu berubah, mereka bingung, dan menderita.
Identitas sosial itu bagaikan awan dan bayangan. Keduanya seolah nyata, namun tak punya kemandirian tertentu. Setiap detik, mereka berubah. Melekat dan menyandarkan hidup padanya itu hanya akan berbuah pada rasa frustasi, serta penderitaan-penderitaan yang tak perlu.
Sebelum peran sosial yang diberikan masyarakat, siapa saya? Ini mungkin adalah pertanyaan terpenting dalam hidup. Jawabannya pun sederhana, yakni kehidupan yang berada sebelum pikiran. Sebagai mahluk hidup, kita berada bersama seluruh alam semesta yang tak mengenal batas.
Tradisi Zen menyebutnya diri sejati (true self). Ini adalah diri yang tak berubah. Ia berada sebelum pikiran dan perasaan. Ia berada sebelum ruang dan waktu yang, sebenarnya, juga merupakan ciptaan dari pikiran.
Jiddu Krishnamurti punya istilah menarik untuk ini, yakni kesadaran yang tak memilih (choiceless awareness). Ini merupakan inti terdalam dari batin manusia. Kesadaran yang tak memilih ini tidak menganalisis apapun. Ia tidak menghakimi apapun sebagai baik atau buruk. Ia tidak membuat kesimpulan apapun tentang apapun.
Inilah inti dari hidup tanpa kesimpulan. Kita selalu menjadi pemula dari saat ke saat. Kita siap belajar dari apapun, kapanpun dan dimanapun. Shunryu Suzuki punya istilah bagus untuk hal ini, yakni beginner’s mind, atau batin pemula.
Sebenarnya, ini adalah salah satu latihan terpenting dari transformasi kesadaran. Kita berhenti membuat kesimpulan tentang apapun. Kita hidup sepenuhnya terbuka disini dan saat ini. Kita menjadi peka pada semua yang terjadi di sekitar, tanpa terkecuali.
Dengan keterbukaan ini, banyak hal bisa dicapai. Keseimbangan batin akan tercipta. Semua masalah kejiwaan akan lenyap secara alami, termasuk stress, depresi, frustasi dan sebagainya. Tubuh pun memiliki kesempatan untuk sungguh beristirahat, dan menyembuhkan dirinya sendiri. Ketika berhenti membuat kesimpulan tentang apapun, keindahan dan keajaiban hidup justru tampil setiap saat.
Kejernihan dan kepekaan pun timbul. Kita menjadi peka pada keadaan sekitar. Setiap derita semua mahluk sungguh terasa. Ada dorongan alami untuk membantu, sesuai dengan keadaan dan kemampuan yang ada.
Sesungguhnya, tak ada manusia yang tercerahkan. Manusia pun, sebenarnya, tak sungguh ada. Yang ada adalah tindakan-tindakan yang tercerahkan disini dan saat ini. Jadi, saat ini, apakah tindakanmu menyakiti mahluk lain, atau menolongnya dari penderitaan?
Kita juga kerap membuat kesimpulan tentang orang lain. Kita mengunci orang pada satu karakter tertentu, mulai dari baik, buruk, egois, kasar dan sebagainya. Kesimpulan tersebut tidak hanya salah, tetapi juga berbahaya. Beragam kejahatan lahir dari kesimpulan kita terhadap orang lain. Melepas kesimpulan berarti kembali melihat dunia dari sudut pandang kesadaran murni, yakni melihat dunia dan orang lain sebagaimana adanya, sebelum kesimpulan.
Inilah kesadaran murni yang merupakan inti batin manusia. Saya mengembangkan ini lebih jauh di dalam etika natural empiris (Lihat buku: Naskah Reza, Etika Natural Empiris) Kesadaran murni adalah keadaan batin tanpa kesimpulan. Inilah sumber dari welas asih alami, kejernihan batin serta kebijaksanaan yang tak terbatas kata maupun konsep (Lihat buku: Naskah Reza, Epistemologi Pembebasan). Ketika berhenti membuat kesimpulan, kita menjadi hidup.. sungguh hidup…
