Oleh Dhimas Anugrah, Ketua Circles Indonesia (Komunitas Pembelajar di bidang budaya, filsafat, dan sains)
Pendahuluan
Percakapan mengenai moralitas perilaku homoseksual dalam masyarakat dewasa ini semakin melibatkan temuan-temuan ilmiah kontemporer dalam membahas moralitas perilaku homoseksual, tak terkecuali pada ranah interpretasi teologis. Dalam konteks tradisi kristiani misalnya, Stanton L. Jones dan Mark A. Yarhouse mengamati bahwa hasil penelitian ilmiah tentang homoseksualitas sering kali disitir secara serampangan dalam berbagai dokumen gerejawi, terutama dalam laporan studi dan dokumen pendukung yang diterbitkan oleh denominasi-denominasi arus utama. Mereka menyatakan,
“The debates about the morality of homosexual behavior have in recent years drawn heavily upon the findings from science. The scientific research on homosexuality is often cited very casually in these debates, especially in the study and support documents of the mainline Christian denominations. After the stem ‘Science says…’ sweeping and inaccurate generalizations are often made. After such generalizations ethical conclusions are often thrown out that are only loosely tied to the supposed scientific findings” (2000: 28–29).
Pernyataan tersebut menggarisbawahi persoalan epistemologis yang signifikan: fakta ilmiah kerap menjadi landasan bagi kesimpulan etis yang tidak selalu berakar pada metode ilmiah itu sendiri, melainkan sering kali dipakai secara selektif untuk mendukung posisi moral tertentu.
Dalam konteks ini, muncul relevansi untuk meninjau pandangan Johannes Verkuyl, seorang teolog asal Belanda, yang secara terbuka mengakui bahwa pemahaman etis terhadap homoseksualitas perlu memperhitungkan kemajuan ilmu pengetahuan. Ia menulis, “Homoseksualitas pada zaman sekarang belum tentu ditentang oleh Alkitab karena ilmu pengetahuan modern mengajarkan kepada kita berbagai hal tentang homoseksualitas yang sebelumnya tidak dikenal oleh para pengarang Alkitab” (1992: 140–141). Pandangan Verkuyl mencerminkan kesadaran akan perlunya pendekatan interdisipliner dalam merespons isu etika seksual, sebuah pendekatan yang membuka ruang dialog antara teologi, sains, dan realitas manusia kontemporer.
Lebih jauh lagi, James Neill menyampaikan kritik tajam terhadap argumen klasik yang menyatakan bahwa homoseksualitas merupakan perilaku yang tidak alami. Ia menulis, “This uncontestable fact eliminates one of the principle arguments used to prove that homosexual behavior is unnatural and that the purpose of sex is procreation” (2009: 23). Pandangan ini bertumpu pada pemahaman evolusioner mengenai seksualitas, sebagaimana ia uraikan dalam tulisannya:
“Homosexual behavior, then, is not only ‘natural,’ and not a corruption of nature as has been argued, but a product of evolutionary development that plays an important role in the lives of many species of animals. Considering the prevalence of homosexual behavior among the primates, one would naturally expect homosexuality to be a significant characteristic of the most prominent of primates, humans” (2009: 24).
Melalui perspektif evolusioner ini, homoseksualitas tidak lagi diposisikan sebagai penyimpangan moral maupun biologis, melainkan sebagai salah satu bentuk keberagaman perilaku alami yang memiliki dasar dalam perkembangan biologis lintas spesies. Ketegangan antara pendekatan teologis, etis, dan ilmiah tersebut memunculkan pertanyaan mendasar yang layak direnungkan oleh gereja dan masyarakat: sejauh mana temuan ilmiah dapat dijadikan rujukan dalam membentuk sikap moral terhadap isu-isu seksual kontemporer?
Menilik Homoseksualitas dalam Angka
Percakapan seputar homoseksualitas dalam sains modern sering kali dimulai dari pertanyaan paling mendasar: berapa banyak orang yang termasuk dalam kategori homoseksual atau memiliki ketertarikan sesama jenis? Pertanyaan ini bukan sekadar akademik, melainkan memiliki implikasi luas dalam kebijakan publik, pendidikan, dan sikap sosial-religius.
Salah satu studi paling berpengaruh dalam sejarah wacana ini dilakukan oleh Alfred C. Kinsey bersama Wardell B. Pomeroy dan Clyde E. Martin. Dalam buku Sexual Behavior in the Human Male (1948), mereka memaparkan bahwa sekitar 10% penduduk laki-laki di Amerika Serikat adalah homoseksual. Temuan ini menjadi rujukan populer dan banyak disitir dalam berbagai kampanye, perdebatan kebijakan, serta diskusi moralitas.
Namun, seiring berkembangnya metode riset, klaim Kinsey mulai mendapat tantangan serius. Priscilla Painton, dalam laporan investigatif yang dimuat di Time tahun 1993, menunjukkan bahwa data Kinsey tampak bias karena pengambilan sampelnya tidak representatif. Berdasarkan studi yang lebih ketat, Painton menyebut bahwa angka sebenarnya dari penduduk homoseksual di Amerika Serikat berkisar hanya sekitar 1% (dikutip dari Jones dan Yarhouse, 2000: 34, 38–44).
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih akurat, Edward Laumann dan tim dari University of Chicago melakukan studi nasional berbasis populasi dengan kontrol metodologis yang ketat. Hasil riset mereka, sebagaimana dipaparkan Jones dan Yarhouse (2009: 40-44), menunjukkan:
- 2% pria dan 0,9% wanita mengidentifikasi diri sebagai homoseksual
- 0,8% pria dan 0,5% wanita mengaku sebagai biseksual
- 6,2% pria dan 4,4% wanita memiliki ketertarikan terhadap sesama jenis, tapi tidak dijelaskan apakah ini bersifat eksklusif atau tidak.
Laumann membedakan antara identitas seksual dan ketertarikan seksual sebagai dua hal yang tidak selalu berjalan bersamaan. Dengan kata lain, tidak semua orang yang memiliki ketertarikan sesama jenis secara otomatis mengidentifikasi diri sebagai homoseksual atau biseksual. Temuan serupa diperoleh oleh Joseph Harry. Dalam penelitiannya, ia menyatakan bahwa 2,4% pria dapat dikategorikan sebagai gay, namun juga mencatat bahwa sekitar 5,7% responden pria menunjukkan perilaku atau ketertarikan homoseksual non-eksklusif (Jones and Yarhouse, 2009: 43-44).
Rangkaian data ini memperlihatkan bahwa angka-angka yang sering dikutip dalam wacana publik mengenai homoseksualitas sangat bergantung pada definisi, instrumen pengukuran, serta pendekatan metodologis yang digunakan. Ketika angka-angka tersebut tidak dijelaskan secara jernih, kesimpulan publik yang ditarik darinya berpotensi menyesatkan. Karena itu, penting membedakan antara identitas, ketertarikan, dan perilaku dalam studi-studi seputar seksualitas manusia.
Dalam konteks ini, komunitas ilmiah cenderung sepakat bahwa homoseksualitas merupakan bagian dari keragaman orientasi seksual manusia, tapi sejauh mana prevalensinya, dan bagaimana hal itu diukur, masih menjadi medan percakapan akademik yang terus berkembang. Pula, salah satu tantangan terbesar dalam memahami dan menyampaikan data tentang orientasi seksual adalah bagaimana informasi tersebut dikumpulkan, diproses, dan dikomunikasikan. Dalam hal ini, penggunaan temuan awal dari Alfred Kinsey dan timnya mendapat sorotan kritis, bukan karena temuan itu tidak penting dalam konteks sejarah, melainkan karena cara penggunaannya yang sering kali tidak akurat atau bahkan menyesatkan dalam wacana publik.
Laporan Kinsey sendiri tidak pernah menyatakan bahwa 10% populasi laki-laki di Amerika Serikat adalah homoseksual secara permanen atau identitas (Jones and Yarhouse, 2000: 35). Yang dilaporkan adalah bahwa 10% dari responden penelitian mereka pernah mempraktikkan perilaku homoseksual secara eksklusif selama periode tiga tahun. Ini adalah detail penting yang sering diabaikan, tapi sangat berpengaruh dalam memahami cakupan dan interpretasi data. Mengabaikan konteks ini sama saja dengan menyalahgunakan data untuk memperkuat narasi tertentu.
Lebih jauh lagi, keabsahan metodologis dari studi yang dilakukan oleh Alfred Kinsey mendapatkan kritik tajam dari berbagai kalangan. Sampel yang digunakan dalam penelitian tersebut tidak mencerminkan populasi umum secara representatif, karena sebagian besar data dikumpulkan dari kelompok-kelompok yang sangat terbatas dan cenderung ekstrem, termasuk populasi narapidana, banyak di antaranya merupakan pelaku kejahatan seksual. Dalam lingkungan tertutup seperti penjara, praktik homoseksual dapat muncul bukan sebagai ekspresi orientasi seksual sejati, melainkan sebagai bentuk adaptasi terhadap tekanan situasional atau bahkan sebagai hasil dari paksaan struktural. Ketika temuan-temuan dari lingkungan semacam ini dimasukkan ke dalam statistik umum tanpa penyesuaian metodologis yang memadai, maka terjadi distorsi serius dalam kesimpulan yang dihasilkan (Handoko, 2016).
Pengakuan salah satu rekan Kinsey sendiri, Wardell Pomeroy, bahwa Kinsey menolak pandangan homoseksualitas sebagai kelainan biologis bawaan (1982: 76) menunjukkan bahwa sejak awal riset ini dipengaruhi oleh sudut pandang tertentu. Ini tidak secara otomatis mendiskualifikasi hasilnya, tapi memperingatkan kita agar tidak memperlakukan hasil riset sebagai netral secara nilai. Ketika asumsi-asumsi ideologis tidak diungkapkan secara eksplisit, riset bisa saja kehilangan kejelasan tujuannya dan menjadi instrumen justifikasi, bukan pemahaman.
Lebih dari sekadar persoalan teknis, penggunaan temuan Kinsey dalam perdebatan sosial telah melampaui batas validitas metodologisnya. Angka 10% yang dikutip secara luas sering kali digunakan sebagai dasar bagi berbagai argumen publik maupun kebijakan, seolah-olah ia merepresentasikan populasi umum secara stabil dan dapat digeneralisasi. Padahal, sebagaimana ditunjukkan oleh studi-studi dengan metodologi yang lebih ketat seperti yang dilakukan oleh Laumann dan Harry, prevalensi identifikasi atau perilaku homoseksual ternyata jauh lebih rendah dan sangat bergantung pada instrumen pengukuran, periode studi, serta definisi operasional yang digunakan.
Dalam konteks ini, tanggung jawab intelektual tidak cukup ditopang oleh ketepatan data semata; ia menuntut integritas yang menyeluruh dan kerendahhatian moral yang tulus. Ketepatan dalam menggunakan informasi bukan sekadar penghormatan teknis terhadap metodologi ilmiah, melainkan bagian dari sikap batin yang lebih dalam, yang dalam kerangka ini dapat disebut sebagai hospitalitas epistemis.
Hospitalitas epistemis adalah kesiapan membuka diri terhadap realitas sebagaimana adanya, bukan sebagaimana kita ingin melihatnya. Ia mencakup kesediaan mendengarkan dengan sungguh-sungguh, menunda penilaian, mengakui keterbatasan pengetahuan kita, dan memberi tempat bagi suara yang mungkin asing, berlawanan, atau tidak nyaman. Ini adalah sikap intelektual yang menolak arogansi epistemis, atau sikap berpikir bahwa kita selalu tahu lebih baik, dan sebaliknya, kita diajak memilih menghargai kompleksitas kenyataan dengan kejujuran dan tanggung jawab.
Dalam isu yang menyentuh identitas manusia secara mendalam seperti homoseksualitas, hospitalitas epistemis menjadi kunci: ia memanggil kita untuk tidak sekadar mengutip statistik atau menyusun argumen, tapi menyambut manusia yang berdiri di balik data, dengan segala pengalaman, pergumulan, dan martabatnya. Dalam terang ini, akurasi bukan sekadar tuntutan akademik, melainkan sebuah ekspresi kasih yang terwujud dalam ketelitian berpikir dan keadilan dalam menyampaikan. Ia adalah wujud dari cinta yang berpikir, dan pemikiran yang mencintai.
Dari Fakta ke Makna
Ketika angka-angka statistik tentang homoseksualitas diperdebatkan dalam ruang publik, yang sebenarnya sedang dipertaruhkan bukan hanya kebenaran metodologis, tapi juga otoritas epistemik, siapa yang berhak menafsirkan realitas, dan untuk tujuan apa. Fakta ilmiah, sebagaimana telah diulas dalam bagian sebelumnya, tidak pernah berdiri sendiri. Ia dikumpulkan melalui kerangka kerja tertentu, dibaca dengan asumsi tertentu, dan sering kali dipresentasikan untuk membenarkan narasi tertentu. Dalam konteks inilah, pertanyaan tentang homoseksualitas tidak cukup dijawab dengan statistik semata, melainkan menuntut pemikiran filosofis yang lebih mendalam mengenai relasi antara kebenaran, kekuasaan, dan kemanusiaan.
Michel Foucault, dalam The Archaeology of Knowledge (1969), mengingatkan bahwa data dan diskursus ilmiah tidak pernah bebas nilai. Produksi pengetahuan selalu terkait dengan struktur kekuasaan yang mengaturnya, apa yang boleh dikatakan, siapa yang boleh bicara, dan bagaimana makna dibentuk dalam masyarakat. Ketika angka 10% dari Kinsey diterima begitu saja sebagai “kenyataan ilmiah,” padahal dibangun di atas populasi terbatas yang tidak representatif, maka kita tidak sedang membaca realitas, melainkan sedang mengafirmasi konstruksi karikatur sosial yang mengklaim dirinya sebagai realitas. Dengan demikian, ilmu pengetahuan bukan sekadar sumber klarifikasi, tapi juga alat legitimasi.
Dalam kerangka ini, pendekatan kritis tidak berarti mencurigai semua data ilmiah, ia menuntut transparansi epistemis, yaitu kesadaran bahwa setiap hasil riset membawa serta asumsi, nilai, dan keterbatasan. Ini penting, sebab dalam isu moral yang menyentuh martabat manusia, seperti homoseksualitas, data yang tidak dijelaskan dengan cermat berpotensi menjadi alat penghakiman atau justifikasi yang tidak adil. Ketika statistik digunakan untuk menetapkan siapa yang “normal” dan siapa yang “menyimpang,” maka ilmu pengetahuan telah berpindah fungsi dari alat pemahaman menjadi instrumen eksklusi.
Di sinilah refleksi filosofis menemukan tempatnya. Dalam pandangan Emmanuel Levinas, manusia tidak boleh direduksi menjadi angka atau kategori, sebab wajah sesama selalu mendahului konsep. Bagi Levinas, tanggung jawab terhadap sesama mendahului pengetahuan (Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, 1969) Dengan kata lain, relasi etis tidak bergantung pada validitas statistik, tapi pada pengakuan terhadap keberadaan yang unik dan tak tereduksi dari setiap pribadi. Maka, meski sains dapat memberi kita peta statistik tentang prevalensi homoseksualitas, ia tidak dapat menggantikan kewajiban moral untuk memperlakukan setiap manusia sebagai subjek yang layak dihargai, bukan objek yang dinilai.
Karena itu, percakapan tentang homoseksualitas dalam masyarakat tidak cukup hanya mempertanyakan “berapa persen,” tapi perlu juga bertanya “apa artinya menjadi manusia dalam keberagaman.” Inilah letak kepekaan filosofis yang sering hilang dalam debat publik: kita lebih sibuk menilai seberapa besar populasi homoseksual, daripada merenungkan bagaimana masyarakat bisa membangun ruang hidup yang adil, aman, dan bermartabat bagi semua.
Dalam terang ini, sains tetap memiliki tempat penting, sebagai alat klarifikasi dan pembuka pemahaman. Namun, tanpa dimensi etis dan refleksi filosofis yang menyertainya, data yang kering dan tak terikat makna hanya akan memperluas jurang alienasi dan salah paham. Maka, sebagaimana ditegaskan dalam bagian sebelumnya, hospitalitas epistemis, yakni keberanian berpikir jujur, mendengar yang lain, dan menyambut kebenaran meski tak nyaman, adalah jalan menuju perjumpaan yang benar antara ilmu, moralitas, dan kemanusiaan.
Menyulam Kebenaran, Menyambut Sesama
Ketika sains, teologi, dan filsafat duduk bersama dalam meja percakapan tentang homoseksualitas, sesungguhnya yang sedang diuji bukan hanya validitas data atau ketepatan tafsir, tapi juga kedalaman kemanusiaan kita. Dalam dunia yang semakin dipenuhi oleh label dan klasifikasi, semangat filosofis Levinas menjadi penanda jalan: sebelum kita mengetahui, kita dipanggil bertanggung jawab. Wajah sesama bukanlah teka-teki statistik, ia adalah misteri etis yang menuntut penghormatan, bukan perhitungan.
Gereja dan masyarakat modern ditantang untuk tidak berhenti pada angka, dogma, atau doktrin yang beku. Kita dipanggil berjalan lebih jauh, memahami bahwa hospitalitas bukan kelembutan sentimental, melainkan keberanian spiritual untuk hadir dalam ketegangan antara kebenaran dan cinta, antara norma dan narasi, antara iman dan tubuh yang rapuh. Di tengah segala data yang berseliweran, perbedaan pendapat yang mengeras, dan luka-luka yang belum sembuh, pertanyaan sesungguhnya adalah: apakah kita bersedia membuka ruang yang cukup lapang bagi kemanusiaan yang tidak selalu kita pahami?
Hospitalitas epistemis dan moral mengundang kita pada kerendah-hatian yang lembut dan mendalam: sebuah kesadaran bahwa tidak semua pertanyaan etis dapat dijawab tuntas melalui angka atau argumentasi rasional, dan tidak setiap niat baik harus dibangun di atas kesepakatan ideologis yang sama. Dalam kerangka ini, dengan penuh hormat dan kesadaran akan kompleksitas manusia, saya memang berpijak pada pemikiran epistemis bahwa praktik homoseksualitas tidak sejalan dengan pemahaman teologi tradisional yang saya anut. Namun, keyakinan ini tidak menjadi penghalang bagi cinta, perhatian, dan penghormatan yang selayaknya tetap hadir dalam setiap perjumpaan.
Justru di ruang-ruang yang kadang tidak selalu jelas batasnya, di antara hasrat memahami dan pendirian filosofis-teologis, iman menemukan bentuknya yang paling autentik. Hospitalitas epistemis, dalam pengertian ini, bukan sekadar menerima perbedaan, tapi membuka ruang bagi percakapan yang jujur, bagi kehadiran yang utuh, dan bagi perjumpaan yang memuliakan martabat setiap pribadi, meski kita tidak selalu sepakat dalam hal pandangan filosofis-teologis.
Akhirulkalam, tulisan ini mengundang kita semua, entah sebagai teolog, ilmuwan, filsuf, rohaniwan, awam, atau warga biasa, untuk merenung: bisakah kita mengubah cara bertanya, dari “siapa yang benar” menjadi “bagaimana kita bersama”? Dalam dunia yang sering kali terbagi antara “kami” dan “mereka,” mungkin inilah saatnya kita belajar kembali menjadi “kita.” Karena dalam dunia yang semakin terpolarisasi, hospitalitas bukanlah jawaban akhir, tapi ia bisa menjadi awal yang baru, sebuah langkah kecil tapi radikal untuk menyulam kebenaran sambil tetap menyambut sesama.
Sumber:
Foucault, M., 2002. The Archaeology of Knowledge. Translated by A.M. Sheridan Smith. London: Routledge. (Originally published 1969)
Handoko, Y.T., 2016. Memikirkan Ulang Homoseksualitas. Surabaya: GratiaFIDE.
Jones, S.L. and Yarhouse, M.A., 2000. Homosexuality: The Use of Scientific Research in the Church’s Moral Debate. Downers Grove: InterVarsity Press.
Kinsey, A.C., Pomeroy, W.B. and Martin, C.E., 1948. Sexual Behavior in the Human Male. Philadelphia: Saunders.
LeVay, S., 2011. Gay, Straight, and the Reason Why: The Science of Sexual Orientation. New York: Oxford University Press.
Levinas, E., 1969. Totality and Infinity: An Essay on Exteriority. Pittsburgh: Duquesne University Press.
Neill, J., 2009. The Origins and Role of Same-Sex Relations in Human Societies. Jefferson, NC and London: McFarland & Co.
Pomeroy, W.B., 1982. Dr. Kinsey and the Institute for Sex Research. New Haven: Yale University Press.
Verkuyl, J., 1992. Etika Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia.