Indonesia 2025, Masihkah Mungkin Menjadi Guru?

Oleh Reza A.A Wattimena

Selama lebih dari 15 tahun, saya bekerja di berbagai institusi pendidikan. Saya merasa, pendidikan adalah panggilan hidup saya. Saya merasa punya misi untuk ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini adalah suatu kebanggaan saya dari lubuk hati terdalam.

Saya mengajar filsafat. Disini, saya tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan. Saya tidak hanya mengajarkan kumpulan fakta semata. Lebih dari itu, saya mengajak orang untuk berpikir secara kritis, sistematis, rasional dan terbuka. Mungkin lebih tepat dikatakan, bahwa saya mencoba membentuk kebijaksanaan, seperti di dalam teori epistemologi pembebasan yang saya rumuskan (lihat buku: Naskah Reza, Epistemologi Pembebasan).

Namun, di 2020, saya berhenti bekerja di institusi pendidikan. Pandemi COVID 19 membuat kegiatan belajar mengajar menjadi sulit. Saya pun fokus melakukan penelitian di bidang filsafat dan neurosains di Bali. Di 2025 ini, saya tetap mengajar, walaupun tidak lagi di berbagai institusi pendidikan yang ada. Mengapa?

Bagaimana mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang luhur, jika kepala negaranya memenangi pemilu dengan cara-cara curang? Bagaimana mengajarkan keteladanan ketekunan dan kerja keras dalam hidup, jika Indonesia diperintah oleh fufufafa? Bagaimana mengajarkan nilai kejujuran, jika kepala negara dan segenap pejabatnya terus mengucapkan kebohongan? Bagaimana mengajarkan sikap kritis dan rasional, jika para pemimpin masyarakat memuja agama kematian dari tanah gersang?

Kedangkalan seolah menjadi semangat jaman. Kedunguan menjadi penyakit akut para pemimpin bangsa. Proses pendidikan menjadi racun bagi pikiran. Kita hidup di masa kegelapan.

Budaya membaca juga semakin menurun. Orang tak lagi membaca buku. Mereka sibuk dengan tayangan digital yang pendek yang penuh dengan tipuan. Akhirnya, daya ingat dan daya pikir, secara keseluruhan, pun semakin menurun.

Orang tak lagi mampu berpikir mendalam. Analisis menjadi dangkal. Hidup menjadi ajang konsumsi, dan mengikuti trend digital secara buta. Kreativitas pun menjadi menurun di segala bidang.

Ketika membaca dan berpikir terjebak pada kedangkalan, maka menulis menjadi tak mungkin. Menulis adalah menuangkan hidup dalam kata dan konsep. Ketika hidup tak lagi direfleksikan, kedangkalan adalah buahnya. Tak heran, di berbagai belahan dunia, karya sastra dan filsafat mengalami penurunan mutu yang amat tajam.

Keadaan semakin diperparah dengan berkembangnya kecerdasan buatan. Informasi semakin mudah didapat. Akibatnya, ia menjadi tak berharga. Di tengah tumpukan informasi dalam genggaman tangan, manusia justru semakin bodoh, dangkal dan merusak.

Ada lima hal yang kiranya penting untuk direnungkan. Pertama, dunia menjadi semakin kompleks. Begitu banyak hal yang tak dapat kita kontrol, terutama sebagai pribadi. Maka, fokus harus sungguh kita tentukan, yakni mengembangkan kesadaran kita sebagai manusia. Dalam hal ini, teori transformasi kesadaran bisa amat membantu (lihat buku: Teori Transformasi Kesadaran dan Pengembangannya).

Dua, pengembangan kesadaran bukanlah pengembangan pribadi. Justru, pribadi (persona:topeng) adalah ilusi yang mesti disadari, dan digunakan seperlunya. Sebagai manusia, kita justru harus hidup dalam kenyataan sebagaimana adanya. Di dalam kenyataan ini, segalanya adalah ilusi, termasuk pribadi, kecuali kesadaran murni yang bersifat kosong dan terbuka, tanpa batas. Dengan pola hidup semacam ini, kejernihan dan kebijaksanaan menjadi bagian dari hidup kita.

Tiga, sejatinya, dalam apapun yang kita lakukan, kita perlu menjadi guru. Dalam arti ini, guru adalah suatu cara hidup (way of life, mode of being), dan bukan sekedar pekerjaan semata. Artinya, kita perlu membagikan apa yang kita ketahui kepada semua yang membutuhkan. Inilah yang saya sebut sebagai guru multidimensional, dan bukan hanya guru profesional yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan semata.

Empat, di Indonesia 2025, menjadi guru formal, atau dosen, di institusi pendidikan adalah sesuatu yang tak mungkin. Orang, tentunya, bisa tetap berusaha. Namun, krisis keteladanan, sistem yang membusuk dan krisis kebijaksanaan di semua bidang kehidupan masyarakat, membuat pendidikan menjadi tak mungkin. Tak heran, para peserta didik terjebak dalam depresi pribadi, sekaligus tindakan kriminal di tingkat sosial, seperti tawuran.

Lima, di tengah kegelapan, tak perlu kita memaki dan menghina. Justru, di tengah kegelapan, kita perlu menyalakan lilin. Di Indonesia 2025, tak mungkin menjadi guru formal, namun selalu mungkin untuk menjadi guru, dan mengajar di setiap detik hidup kita. Inilah lilin-lilin kecil yang kita nyalakan bersama, dan semoga bisa menjadi cahaya yang memberi terang untuk kebaikan bersama… semoga…

Dipublikasikan oleh

avatar Tidak diketahui

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Kesadaran, Agama dan Politik. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023), Zendemik (2024), Teori Politik Progresif Inklusif (2024), Kesadaran, Agama dan Politik (2024) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.