Oleh Reza A.A Wattimena
Buku Lengkap bisa diunduh di: Naskah Reza, Epistemologi Pembebasan
Jika terbantu dengan karya-karya dari Rumah Filsafat, donasi bisa disalurkan ke: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius
Pada Maret 2025, saya diminta menghadiri seminar karya ilmiah di SMU Gonzaga, Jakarta Selatan. Ini adalah almamater saya tercinta. Saya mendengar beberapa presentasi dari murid-murid SMA, dan kemudian memberikan beberapa komentar di akhir keseluruhan acara. Satu hal yang muncul di kepala saya: begitu mengesankan, sekaligus begitu dangkal pada saat yang sama.
Berkat kecanggihan teknologi, terutama kecerdasan buatan, begitu banyak informasi didapatkan. Namun, tak semua informasi bisa dipercaya. Sikap kritis tentu amat diperlukan, supaya kita bisa membedakan informasi palsu dan informasi faktual. Sikap kritis semacam ini juga tak tampak pada berbagai presentasi yang saya saksikan. Ada kecenderungan menghamba pada berbagai informasi yang diterima dari internet, terutama dari kecerdasan buatan.[1]
Ada juga kebuntuan, ketika informasi faktual sudah diterima. Informasi tersebut dijadikan suguhan utama. Tak ada analisis yang mendalam terhadap informasi faktual yang tersaji. Ada kemalasan berpikir di tengah presentasi yang memukau tentang fakta-fakta yang tersaji dari dunia maya.
Informasi aktual, pada hakekatnya, bersifat dualistik. Ada manusia sebagai subyek mengetahui. Ada tema tertentu sebagai obyek yang diketahui. Pengetahuan pun tercipta lewat konsep yang merupakan hasil abstraksi pikiran.[2]
Pengetahuan semacam ini memiliki unsur manipulatif. Obyek dinamai dengan konsep. Dengan itu, obyek pun dikuasai oleh manusia, sang subyek. Ada kekerasan yang bersifat epistemologis di dalam pengetahuan dualistik semacam ini.[3]
Di sisi lain, pengetahuan dualistik juga cenderung kering. Ia hanya informasi semata. Tidak ada makna yang menggerakkan hati maupun pikiran manusia. Tidak ada inspirasi yang bisa membangun harapan untuk bertindak. Pendek kata, pengetahuan dualistik obyektif itu amat sangat membosankan.
Inilah yang kiranya terjadi di dalam proses pendidikan di Indonesia. Pendidikan hanya menjadi proses transfer pengetahuan yang bersifat obyektif dualistik. Proses belajar menjadi begitu menyiksa dan membosankan. Tak heran, sekolah justru menumpulkan kecerdasan, dan membunuh sikap kritis. Karena frustasi oleh kebosanan, banyak peserta didik yang kelebihan energi, lalu terlibat di dalam beragam tindakan kriminal, seperti tawuran.
Apakah pengetahuan harus terjebak pada pengetahuan obyektif yang bersifat dualistik? Apakah pengetahuan harus menjadi kering dan tak bermakna? Apakah pendidikan harus hanya menjadi proses perpindahan pengetahuan obyektif semacam itu?[4] Jawabannya jelas tidak.
Saya teringat pengalaman saya belajar. Saya tak pernah tertarik pada pengetahuan obyektif yang bersifat dualistik. Memang, untuk bertahan hidup, kita memerlukan pengetahuan semacam itu. Namun, hati saya mencari pengetahuan yang lebih mendalam, yakni pengetahuan yang membebaskan, tidak hanya dari kebodohan, tetapi juga dari penderitaan.
Di dalam filsafat, kajian tentang ilmu pengetahuan berada di ranah epistemologi. Epistemologi berasal dari kata episteme di dalam bahasa Yunani Kuno. Artinya adalah pengetahuan. Epistemologi hendak memahami segala sesuatu terkait pengetahuan manusia, dan dampaknya untuk hidup secara keseluruhan.[5]
Tesis S2 filsafat saya membahas pemikiran epistemologi Immanuel Kant, seorang filsuf Jerman.[6] Saya meneliti proses terbentuknya pengetahuan di dalam debat epistemologi filsafat Jerman di abad 17 dan 18. Kant membahas ini semua di dalam salah satu bukunya yang paling terkenal, yakni Kritik der reinen Vernunft. Kant melihat peran aktif akal budi manusia di dalam menciptakan pengetahuan. Manusia bukanlah kertas putih yang bisa ditulis begitu saja oleh pengalaman-pengalaman di dalam proses terbentuknya pengetahuan.
Saya juga sudah menulis dua buku terkait filsafat ilmu pengetahuan. Satu buku merupakan bahan ajar. Buku lainnya merupakan karya bersama dengan para mahasiswa, sewaktu saya di Surabaya dulu. Buku itu bergerak lebih jauh dengan membahas ciri mendasar, sejarah sekaligus masa depan ilmu pengetahuan modern di semua unsur kehidupan.
Semua kajian tersebut membawa saya untuk menuliskan buku ini, yakni epistemologi pembebasan. Saya melihat, bahwa epistemologi pembebasan merupakan terobosan untuk kebuntuan kajian epistemologi yang sudah ada sekarang ini. Epistemologi klasik, sebagaimana saya menyebutnya, terjebak pada pengetahuan obyektif yang bersifat dualistik. Ada kecenderungan, pengetahuan disempitkan menjadi apa yang berguna. Pengetahuan, dengan kata lain, disempitkan menjadi semata teknologi, yakni alat untuk mengelola alam demi memenuhi kebutuhan manusia yang kerap kali berpijak pada kerakusan.
Sudah lama, hati saya tersangkut pada pemikiran teori kritis mazhab Frankfurt. Skripsi sarjana saya meneliti pemikiran mereka, terutama di dalam bidang hukum dan politik.[7] Teori kritis memiliki ciri unik, karena ia hendak mengungkap unsur-unsur yang menindas di dalam pengetahuan manusia, sekaligus di dalam tata kelola masyarakat. Dalam rumusan Habermas, salah seorang pemikir teori kritis mazhab Frankfurt, pengetahuan harus memiliki tujuan pembebasan, atau tujuan emansipatoris, dari segala bentuk penindasan yang ada.[8]
Ciri pembebasan itu berkembang menjadi sebuah teori komunikasi.[9] Akal budi dipahami tidak lagi semata sebagai alat dari kepentingan yang kerap tak masuk akal, melainkan menjadi akal budi komunikatif (kommunikative Vernunft). Bahasa dan komunikasi menjadi alat pembebasan manusia dari segala bentuk penindasan. Proses komunikasi lalu diperluas Habermas ke dalam teori politik dan hukum, yakni teori demokrasi deliberatif.[10] Proses yang kurang lebih serupa juga diterapkan di dalam teorinya tentang iman dan agama di era pasca metafisik.[11]
Namun, Habermas juga masih terjebak pada pengetahuan yang bersifat obyektif dualistik. Selama masih ada dualisme, selama itu pula, pengetahuan masih bersifat terbatas.[12] Selama masih ada batas, maka potensi untuk konflik akan terus ada.[13] Teori Habermas belum menyentuh pembebasan yang sebenarnya, yakni pembebasan dari segala bentuk penindasan yang kerap kali berakar di pikiran manusia.
Dalam arti ini, pembebasan masih bersifat parsial. Di dalam paradigma pengetahuan dualistik obyektif, peluang penindasan akan selalu ada. Orang bisa dijajah oleh struktur sosial politik yang menindas.[14] Ia juga bisa dijajah oleh kebodohannya sendiri yang berakhir pada penderitaan.
Terobosan saya temukan dari sudut pandang filsafat Asia. Akar dari tradisi ini adalah pemikiran Buddhisme, Taoisme dan Vedanta.[15] Tiga tradisi ini menyebar ke seluruh Asia, dan bahkan menciptakan corak percampuran yang unik di masing-masing tempat. Tiga tradisi ini menekankan kekuatan akal budi di dalam menghasilkan pengetahuan yang bersifat dualistik-obyektif, namun bergerak lebih dari itu.[16]
Di dalam tradisi Asia, terutama jika sudah dilepaskan dari tradisi yang membusuk, dan ini yang kiranya merupakan tugas filsafat, pengetahuan adalah sesuatu yang hidup. Ia adalah pengalaman langsung yang utuh disini dan saat ini. Pengetahuan semacam ini berada sebelum segala bentuk konsep dan pikiran yang muncul. Ia tidak hanya mencerdaskan, tetapi juga membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan dan penderitaan yang ia alami.[18]
Teori epistemologi pembebasan ini terkait dengan empat teori yang sudah saya kembangkan sebelumnya. Mereka adalah teori transformasi kesadaran, teori tipologi agama, teori politik progresif dan teori etika natural empiris.[19] Keempat teori tersebut, beserta teori epistemologi pembebasan, adalah sumbangan saya bagi perkembangan filsafat, baik di Indonesia maupun di tingkat global. Semoga anda menemukan pencerahan dan pembebasan dengan membacanya.
Reza A.A Wattimena
Jakarta, Mei 2025
[1] Lihat (Wattimena 2023) dan (Farina 2022)
[2] Lihat (Wattimena, Teori Transformasi Kesadaran dan Pengembangannya 2025)
[3] Lihat (Wattimena, Filsafat dan Sains 2008) dan (Wattimena, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Sebuah Pendekatan Kontekstual 2011)
[4] Lihat (Wattimena, Mendidik Manusia: Revolusi Pendidikan Indonesia Abad 21 2020)
[5] (Wattimena, Filsafat dan Sains 2008) (Wattimena, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Sebuah Pendekatan Kontekstual 2011)
[6] Lihat (Wattimena, Filsafat Kritis Immanuel Kant 2010)
[7] Lihat (Wattimena, Melampaui Negara Hukum Klasik 2007)
[8] Lihat (Sindhunata 2019)
[9] Lihat (Habermas 1981)
[10] Lihat (Wattimena, Melampaui Negara Hukum Klasik 2007) (Hardiman 2009) (Habermas, Faktizität und Geltung – Beiträge zur Diskurstheorie des Rechts und des demokratischen Rechtsstaats 1989)
[11] Lihat (Reder 2014)
[12] Lihat (Krishnamurti 2024)
[13] Lihat (Krishnamurti 2024)
[14] Lihat (Wattimena, Teori Transformasi Kesadaran dan Pengembangannya 2025)
[15] Lihat (Watts 1995) (Wattimena, Dengarkanlah: Pandangan Hidup Timur, Zen dan Jalan Pembebasan 2018)
[16] Lihat (Sahn The Compass of Zen)
[17] Hasil rumusan penulis
[18] Lihat (Wattimena, Jantung Hati Zen 2025)
[19] Lihat (Wattimena, Teori Transformasi Kesadaran dan Pengembangannya 2025)

