Kembali, saya menerima beberapa pesan. Beberapa teman bosan hidup. Mereka lelah dengan segalanya. Karena begitu bosan dan lelah, bunuh diri seolah menjadi jalan keluar yang bermakna.
Sejujurnya, jika digali lebih dalam, mereka tidak sungguh bosan dengan hidup. Mereka bosan dengan rutinitas keseharian. Mereka bosan dengan tanggung jawab yang tak ada habisnya. Mereka bosan dengan keadaan dunia, terutama politik dan ekonomi, yang semakin gelap.
Mereka juga bosan dengan kemiskinan. Pekerjaan yang semakin sulit didapat. Gaji yang tak pernah bisa menutupi kebutuhan. Mereka juga bosan dililit hutang yang tak ada habisnya.
Terlebih, mereka bosan merasa kecewa, baik kecewa dalam karir, maupun dalam hubungan antar manusia. Mereka bosan, karena terus merasa stress tanpa henti. Mereka juga lelah dengan depresi yang membuat hidup terasa menyiksa. Pendek kata, mereka bosan menderita.
Jadi, tidak ada manusia yang bosan dengan hidup. Mereka bosan dan lelah dengan keadaan di luar diri mereka. Mereka letih dengan pikiran yang terus disiksa trauma, penyesalan dan kecemasan yang tak pernah berlalu. Dari sinilah rasa ingin bunuh diri lahir.
Yang lebih menyiksa dari semuanya adalah ketika orang hanyut dalam pikiran. Pikiran manusia, sejatinya, itu seperti tempat sampah. Ia adalah sisa-sisa apa yang pernah dilihat dan didengar dari masa lalunya. Pola pikir manusia juga terbentuk sepenuhnya dari pengaruh lingkungan sosialnya.
Pada titik ini, banyak orang terjebak pada kesalahpahaman mendasar. Mereka mengira, bahwa pikiran itu nyata. Mereka menyangka, bahwa pikiran itu identik dengan kebenaran. Kesalahpahaman inilah yang membawa orang pada segala bentuk derita kehidupan.
Jalan keluarnya sederhana. Kita hanya perlu mengamati pikiran yang datang dan pergi dengan penuh kesadaran dan kelembutan. Kemampuan mengamati dengan sadar dan lembut ini adalah kecerdasan khas manusia. Ia tidak bisa ditiru oleh kecerdasan buatan.
Ketika diamati, maka pikiran akan lenyap. Ketika disadari secara lembut, maka perasaan akan lenyap. Begitu rapuhnya pikiran dan perasaan yang kita punya. Di titik ini, kita sampai pada kesadaran sederhana, bahwa pikiran dan perasaan manusia itu bersifat ilusif, yakni seolah ada, tetapi tidak sungguh ada.
Hal yang sama dengan dunia. Apa yang kita sebut sebagai kenyataan, hidup atau dunia adalah pengalaman kita. Semua terjadi di dalam kesadaran batiniah yang kita punya. Jika disadari dengan lembut, semua itu akan lenyap, dan yang tersisa hanya ruang kosong yang sepenuhnya sadar dan terbuka.
Di titik ini, kita memasuki keabadian. Artinya, kita sungguh hidup di sini dan saat ini. Kita menyentuh kebenaran dan kenyataan yang sejati. Kita bersama dengan sang pencipta.
Segala hal terjadi di dalam ruang dan waktu tertentu. Tanpa kedua hal tersebut, peristiwa menjadi tidak mungkin. Namun, sebagaimana dinyatakan oleh Immanuel Kant, pemikir Jerman, di dalam bukunya yang berjudul Kritik der reinen Vernunft, ruang dan waktu bukanlah kenyataan yang berada terpisahkan dari pikiran manusia. Ruang dan waktu adalah prakondisi bagi pengetahuan yang tertanam di dalam akal budi manusia.
Jika dunia dan segala isinya terkait erat dengan pikiran manusia, apa yang ada, sebelum pikiran muncul? Tidak ada jawaban untuk itu. Setiap jawaban akan memasuki dunia pikiran lagi dalam bentuk bahasa dan konsep. Ada ruang sunyi maha luas yang sepenuhnya terbuka, sebelum pikiran muncul.
Di dalam tradisi filsafat, ruang sunyi itu disebut juga sebagai jati diri sejati. Ada yang menyebutnya sebagai Atman, yakni jiwa semesta. Ada yang menyebutnya sebagai Buddha, yakni kesadaran murni yang sepenuhnya terbuka dan stabil. Nama menjadi tidak penting, karena ruang sunyi ini berada sebelum nama.
Di dalam ruang sunyi ini, tidak ada diri. Tidak ada subyek, dan tidak ada obyek. Yang ada hanyalah ruang terbuka yang kosong, sadar dan stabil. Inilah hidup yang sesungguhnya, yang seutuhnya, dalam kesatuan tak terpisahkan dengan segala yang ada.
Persentuhan dengan ruang sunyi ini membawa banyak hal baik. Keseimbangan batin tercipta. Naik turunnya kehidupan pun bisa dijalani dengan keseimbangan yang dibutuhkan. Sikap welas asih terhadap semua mahluk lahir secara alami. Kreativitas untuk berkarya pun mengalir deras.
Di titik ini, hidup menjadi sungguh meriah. Rasa bosan dan letih lenyap seketika. Setiap saat menjadi amat indah dan bermakna. Surga pun sudah di tangan, tanpa perlu menunggu tubuh lenyap.
Untuk teman-temanku di luar sana, semoga tulisan ini membantu…
