
Oleh Reza A.A Wattimena
Pagi ini, 20 Mei 2025, tawuran besar terjadi di dekat rumah saya di Jakarta. Sekumpulan anak muda berkendara motor dan bersenjata tajam saling bertengkar. Suasana begitu kacau. Bahkan, polisi yang mencoba melerai juga diserang dengan batu dan petasan.
Hal ini sudah sering terjadi, dan tak pernah ada jalan keluar yang memadai. Di masa saya remaja, sekitar pertangahan tahun 1990-an, tawuran sudah menjadi tradisi. Kerap kali, tak ada sebab yang jelas. Bahkan, ketika pulang sekolah, saya sempat terjebak di tengah tawuran pelajar yang sedang terjadi.
Tawuran pelajar ini hanya model kecil dari konflik yang lebih besar. Perang di tingkat global tidak berkurang, dan justru bertambah. Ada yang diberitakan dengan gencar di televisi, seperti misalnya konflik di Gaza dan perang Ukraina. Namun, ada ratusan ribu lainnya yang terjadi, dan lolos dari perhatian dunia, seperti perang antar kartel narkoba di Amerika Selatan, dan gerakan terorisme agamis yang mengakar dalam di Indonesia.
Dunia semakin terbelah. Setiap orang punya teori dan ideologinya masing-masing, biasanya berpijak pada agama ataupun aliran filsafat tertentu. Benturan ide, teori dan ideologi inilah yang melahirkan konflik maupun perang. Di abad 21, perang tidak hanya dengan pedang dan panah, tetapi dengan senjata pemusnah massal yang bisa membunuh milyaran manusia, serta merusak alam.
Ada delapan hal yang kiranya perlu direnungkan. Pertama, akar setiap konflik adalah kelekatan pada identitas semu. Orang mengira dirinya adalah bagian mutlak dari kelompok sosial tertentu, seperti ideologi, agama dan bangsa tertentu. Akibatnya, rasa perbedaan pun muncul. Dari perbedaan yang ada tersebut, sedikit gesekan akan memicu konflik, dan bahkan perang yang berkepanjangan.
Dua, kelekatan pada identitas semu ini muncul, karena kesadaran yang bersifat sempit. Saya menyebutnya sebagai kesadaran dualistik-distingtif. Orang dari kelompok lain, dan alam, dilihat sebagai obyek untuk dikuasai serta dimanipulasi. Kesadaran sempit semacam ini akan melahirkan kebencian dan penderitaan di dalam diri.
Tiga, ideologi berakar pada konsep. Konsep adalah hasil abstraksi pikiran manusia atas kenyataan. Konsep, dengan demikian, bukanlah kenyataan, dan bersifat ilusif. Kumpulan konsep ini menjadi ideologi yang beragam, dan menciptakan ilusi perbedaan yang melahirkan konflik berkepanjangan.
Empat, orang fanatik, baik fanatik agama ataupun ideologi, itu seperti hidup dalam mimpi. Pikirannya penuh konsep ilusif yang dikira sebagai nyata. Ia seperti hidup di dalam kepalanya semata. Karena dipenjara oleh ilusi semacam itu, ia memiliki pemahaman yang salah tentang kehidupan. Dari pemahaman yang salah itulah lahir kebencian dan konflik antar manusia, serta antara manusia dengan alam.
Lima, jalan keluarnya sederhana, yakni melepaskan segala konsep, teori, ideologi dan agama yang menyempitkan cara hidup manusia. Di dalam Zen, pencerahan muncul sebelum pikiran dan perasaan ada. Kita kembali ke keadaan batin seluas semesta, sebelum identitas sempit dan konsep lahir. Di titik ini, kita menjadi sepenuhnya kosong dari konsep, namun sadar seutuhnya sebagai alam semesta itu sendiri.
Enam, caranya sederhana, yakni cukup arahkan perhatian ke dalam diri. Arahkan perhatian ke subyek yang memperhatikan. Amatilah sang pengamat di dalam batin dengan lembut, lalu beristirahat disitu. Segala bentuk dualisme dan konflik akan lenyap seketika.
Tujuh, ketika perhatian tertuju pada subyek yang memperhatikan, batin akan tenang secara alami. Harmoni akan muncul dari dalam diri. Tak ada secercah penderitaan ataupun kebencian apapun yang tersisa di dalam hati. Hubungan antar manusia dan dengan alam pun akan secara alami menjadi seimbang.
Delapan, perdamaian dunia hanya dapat terwujud, jika manusia bisa menemukan kedamaian di dalam dirinya sendiri. Tak ada jalan lain. Ratusan ajaran filsafati dan gerakan sosial dibangun akan berujung pada perbedaan baru, serta konflik yang baru. Jika manusia melepaskan segala konsep, teori dan ideologi, serta kembali ke keadaan batin alaminya sebelum pikiran muncul, maka perdamaian dunia yang sejati bisa terwujud.
Perdamaian dunia yang sesungguhnya menjadi nyata, ketika ide tentang perdamaian dunia dibuang jauh-jauh. Ide-ide itu kerap tertanam di dalam filsafat, ideologi dan agama yang menciptakan perbedaan-perbedaan semu. Ide-ide itu adalah bangkai dari masa lalu yang mesti dilenyapkan. Ketika ide dilepas, manusia akan hidup harmonis secara alami sebagai mahluk semesta bersama semua mahluk, bulan, bintang dan galaksi yang tak terbatas…