Indonesia, Dunia dan Entropi

Oleh Reza A.A Wattimena

Indonesia diterangi matahari kembar. Karena begitu panas, dua matahari ini membakar segalanya. Yang hangus terbakar tidak hanya keadaan ekonomi, tetapi juga kepercayaan rakyat. Drama kekuasaan juga mendorong amarah rakyat yang bisa bermuara pada revolusi berdarah.

Yang juga terbakar hangus adalah upaya pemberantasan korupsi. Masyarakat terpesona oleh isu-isu murahan, lalu melupakan monster ini. Padahal, musuh terbesar negeri ini adalah korupsi, yakni pembusukan hidup politik dan moral bangsa. Ketika ia dilupakan, monster ini akan siap memangsa habis harapan bangsa.

Hadirnya matahari kembar dan korupsi struktural ini berakar pada berkembangnya feodalisme ekstrem. Manusia dinilai dari harta dan jabatan. Lembaga-lembaga negara diisi orang-orang dengan mental penjilat dan gemar cari muka, namun minim pencapaian. Karena semua ini, seluruh tata hidup publik menjadi membusuk.

Dunia global juga semakin panas. Konflik global tidak berkurang, bahkan cenderung bertambah. Timur Tengah terus memanas. Bahkan, Asia Selatan juga terbakar oleh dua negara bersenjata nuklir yang kini saling berperang.

Dunia, jelas, semakin kompleks. Kepentingan-kepentingan sempit negara-negara besar mencekik dunia. Masalah lingkungan semakin gawat, namun seolah terlupakan. Perang nuklir pun terus mengancam dunia, terutama dengan perkembangan konflik antara India dan Pakistam pada Mei 2025 ini.

Kompleksitas akan berbuah kekacauan. Begitu banyak unsur yang saling bertentangan. Begitu banyak kepentingan tersembunyi yang mengotori diplomasi. Karena unsur-unsur yang saling bertentangan ini, kekacauan yang merusak pun tak terhindarkan.

Ini kiranya sejalan dengan teori Entropi. Akar dari teori ini adalah ilmu fisika dan biologi modern. Pandangannya sederhana, kompleksitas yang ekstrem akan bermuara pada kekacauan dan kehancuran. Ini kiranya berlaku di level organisme biologis kehidupan, sampai dengan struktur sosial politik.

Entropi kiranya sejalan dengan teori jatuh bangunnya peradaban yang saya kembangkan. Negara dibangun di atas perjuangan yang berat. Setelah mencapai masa emas, kompleksitas mulai terbangun. Pengeroposan pun mengikuti berikutnya sebagai dampak dari kompleksitas yang tak terkendali. Dari pengeroposan, negara itu pun hancur, atau terpecah.

Akar dari entropi adalah ciri dari kenyataan itu sendiri. Segalanya sementara. Apapun yang dibangun, meski dengan usaha yang begitu berat, pasti akan hancur. Ini tidaklah terhindarkan. Begitu banyak contoh yang bisa kita deret dari sejarah manusia.

Salah paham lainnya adalah soal penggunaan akal budi. Peradaban modern, dengan segala kompleksitasnya, berpijak pada akal budi, atau rasionalitas. Tata hidup publik dibangun di atas dasar rasionalitas manusia. Namun, akal budi tidaklah memiliki ensensi. Ia hanyalah alat bantu untuk tujuan-tujuan lain yang sudah ditentukan sebelumnya.

Juga, akal budi sangat bergantung pada tingkat kesadaran. Tingkat kesadaran rendah akan membuat akal budi digunakan sebagai alat perusak. Inilah yang terjadi pada pengembangan senjata pemusnah massal, maupun teknologi produksi yang merusak lingkungan. Sebaliknya, dengan tingkat kesadaran yang tinggi, akal budi bisa menjadi alat perawat dan pengembang kehidupan.

Karena tingkat kesadaran yang rendah, akal budi juga bisa terpleset menjadi akal bulus. Akal budi manusia digunakan untuk menipu dan memanipulasi. Entropi juga lahir dari kepercayaan buta pada akal bulus semacam ini. Untuk bisa keluar dari entropi dan kutukan akal bulus ini, kita harus berpijak pada sesuatu yang lebih mendasari daripada akal budi, yakni kesadaran.

Kesadaran adalah cara kita merasakan keberadaan dan kehidupan kita setiap saatnya. Ada tingkat kesadaran rendah, dimana orang melihat perbedaan kehidupan sebagai tanda untuk permusuhan. Ada juga tingkat kesadaran yang tinggi, dimana orang melihat seluruh alam semesta sebagai bagian dari dirinya sendiri. Meningkatkan kesadaran berarti menjadi terbuka total pada segala yang ada di alam semesta.

Entropi mungkin tak terhindarkan. Ia adalah bagian dari siklus perubahan kehidupan. Satu hal kiranya perlu untuk tetap diusahakan, yakni menjadi sederhana. Artinya, dalam berpikir, kita menjadi sederhana, namun kreatif serta produktif. Pikiran akan mewujud langsung dalam tindakan dan keputusan-keputusan yang dibuat.

Indonesia dan dunia mungkin akan lenyap dengan entropi. Namun, batin kita tetap bisa terselamatkan, karena terus berupaya menjadi sederhana. Pada titik tertinggi, teori transformasi kesadaran, sebagaimana saya rumuskan, adalah kesadaran kekosongan. Ini adalah keadaan tanpa konsep dan bahasa, serta berada sebelum pikiran. Ini adalah kesederhanaan yang mutlak.

Di tengah dunia yang semakin kompleks, dan terjebak dalam entropi, perjuangan yang sejati adalah perjuangan untuk menjadi sederhana. Sederhana bukan berarti dangkal, melainkan menjadi tepat guna, sesuai dengan keadaan di depan mata. Untuk mencapai ini, tingkat kesadaran harus terus meluas, bahkan menyentuh diri sejati yang juga merupakan semesta itu sendiri.

Dengan pola ini, kita bisa membawa secercah harapan di tengah himpitan kekalutan. Kita menyalakan lilin di tengah Indonesia yang semakin.. dan semakin gelap….

Dipublikasikan oleh

avatar Tidak diketahui

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Kesadaran, Agama dan Politik. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023), Zendemik (2024), Teori Politik Progresif Inklusif (2024), Kesadaran, Agama dan Politik (2024) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.