Agama, Kurban Hewan dan Persaudaraan Kosmik

(Potongan Tulisan dalam buku Hewan dan Ritus Agama)

Oleh Reza A.A Wattimena, Pendiri Rumah Filsafat; Pengembang Teori Transformasi Kesadaran, Agama, Politik dan Etika Natural Empiris

Sudah ribuan tahun, ritus agama identik dengan pengorbanan. Darah hewan tertumpah sebagai tanda kepatuhan manusia pada Tuhannya. Bahkan, di beberapa tempat, darah manusia dijadikan sarana kurban untuk sang pencipta. Di abad 21, praktek-praktek ini sungguh dipertanyakan, terutama karena perkembangan kesadaran manusia di seluruh dunia.

Di Indonesia, setiap hari raya Idul Adha, umat Islam melakukan korban hewan. Ini dilakukan sebagai tanda ketakwaan manusia pada Tuhan, sekaligus saat untuk berbagi kepada orang-orang yang membutuhkan daging kurban. Dengan perkembangan kesadaran, diikuti dengan perkembangan sains dan teknologi yang begitu pesat, apakah praktek ini masih relevan? Ada tiga pandangan dasar yang dijabarkan oleh Deny JA di dalam tulisannya yang berjudul Akan Menguatkah? Tafsir yang Tak Lagi Harus Hewan Dijadikan Kurban Ritus Agama, Renungan Idul Adha.

Pertama, praktek ini harus terus dilakukan, karena sesuai dengan tradisi Islam yang sudah ada. Dua, praktek ini bisa ditafsirkan dengan cara lain, misalnya dengan memberikan bantuan sedekah pada mereka membutuhkan. Tiga, sejalan dengan pandangan Shahid Ali Muttaqi yang dikutip Deny JA, praktek mengorbankan binatang harus dilepaskan, karena tidak sesuai dengan perkembangan kesadaran dan moral manusia di abad 21. Saya berpendapat, bahwa pandangan ketiga adalah pandangan yang tepat, dan amat layak diterapkan di dunia di abad 21 ini.

Sembilan Pertimbangan

Ada sembilan hal yang menjadi pertimbangan. Pertama, agama haruslah merawat kehidupan. Maka, agama tidak boleh mengorbankan mahluk hidup, apapun alasannya, apalagi untuk kepentingan ritual. Saya merumuskan teori tipologi agama untuk mengembangkan pandangan ini. (Lihat buku, klik Teori Transformasi Kesadaran dan Pengembangannya)

Dua, agama tidak hanya harus merawat kehidupan, tetapi juga mengembangkannya. Kehidupan memiliki ekspresi yang beragam, terutama lewat beragam kekayaan seni dan budaya. Agama harus mendorong semua ekspresi tersebut untuk berkembang, sejauh itu tidak merusak rasa keadilan dan membunuh mahluk hidup lain.

Tiga, agama, sejatinya, adalah pencipta keteraturan. Ini kiranya sesuai dengan arti kata agama itu sendiri, yakni a-gama (tanpa kekacaauan). Keteraturanlah yang menghadirkan kehidupan, sehingga bisa berkembang sesuai ekspresi alamiahnya. Tanpa keteraturan, yang ada hanya kehancuran.

Empat, di dalam sejarah, agama kerap terpeleset menjadi ideologi kematian. Inilah agama yang bersifat tertutup, serta takut pada perubahan dan kritik. Ia mengorbankan kehidupan, dengan segala keindahan di dalamnya, demi ajarannya sendiri yang sudah ketinggalan jaman. Agama/ideologi kematian semacam ini tidak layak untuk ada di abad 21.

Lima, berbicara kehidupan, kita berbicara soal energi. Seluruh kenyataan adalah energi yang saling terkait, seperti yang terbukti dengan jelas di dalam fisika kuantum dengan Theory of Entanglement. Setiap keberagaman bentuk material (tubuh) juga merupakan satu ekspresi energi yang sama. Maka, sejatinya, manusia dan hewan adalah sama-sama bagian dari satu jaringan energi yang sama seluas alam semesta serta kenyataan itu sendiri.

Enam, dengan pemahaman ini, kita lalu menemukan persaudaraan tidak hanya dengan semua mahluk hidup, tetapi juga dengan seluruh alam semesta. Inilah yang saya sebut sebagai persaudaraan kosmik. Kita melihat seluruh alam semesta beserta isinya sebagai bagian dari hidup kita sendiri. Ada rasa damai dan jernih yang lahir dari kesadaran semacam ini.

Tujuh, buah dari persaudaran kosmik adalah cinta kasih alamiah terhadap segala yang ada. Cinta dan kebaikan tidak datang dari perintah moral atau agama. Cinta dan welas asih tak datang dari ketakutan pada api neraka, ataupun rayuan surgawi yang penuh tipu daya. Cinta kasih dan kebaikan lahir dari persaudaraan kosmik dengan segala yang ada. Di tingkat kesadaran dan pemahaman ini, apakah kita masih mau membunuh binatang, apalagi untuk ritus agama?

Delapan, sejatinya, agama dan kehidupan itu satu. Keduanya terkait erat dengan keteraturan semesta. Namun, dalam perjalanan, karena kepentingan politik sempit, agama kerap jatuh menjadi agama/ideologi kematian yang justru merusak kehidupan. Inilah yang mesti kita cegah dengan berbagai bentuk usaha bersama.

Sembilan, Deny JA melihat pentingnya kita melakukan penafsiran berbeda tentang tradisi Kurban di dalam Islam. Saya sepakat dengan ini, dan ingin mendorong pandangannya lebih jauh. Kita harus hidup dengan fakta yang terdalam tentang kehidupan itu sendiri, yakni bahwa kita adalah satu jaringan maha besar dengan segala yang ada di dalam alam semesta yang terus berkembang dan penuh misteri ini. Dengan fakta kosmik ini, rasa persaudaraan kosmik dan cinta kasih alami universal akan tumbuh di hati kita.

Hidup akan dipenuhi kejernihan dan kedamaian. Damai akan muncul di hati, dan damai juga akan tercipta di bumi. Ini kiranya sejalan dengan cita-cita mendasar sekaligus arti terpenting dari semua agama dunia. Substansi terdalam inilah yang perlu untuk diangkat, dan disebarkan ke seluruh penjuru bumi.

Hewan dan Kesadaran

Secara intuitif alamiah, kita semua tahu, ada yang suci di dalam kehidupan. Sedikit kesadaran akan membawa kita pada pemahaman ini. Deny JA mengutip soal Hachiko, yakni anjing yang tetap setia menunggu pemiliknya yang sudah meninggal. Ini bukan cerita pertama, dan jelas bukan yang terakhir, tentang bagaimana hewan memiliki tingkat kesadaran tertentu yang membuat ia mampu bersikap luhur.

Walaupun tidak sekompleks manusia, ada secercah kesadaran di dalam diri hewan maupun tumbuhan. Dengan berpijak pada filsafat fenomenologi, saya menyebutnya sebagai kesadaran minimal (minimal consciousness). Dengan kesadaran ini, mahluk hidup bisa mengenali lingkungannya, dan bersikap tepat untuk menghadapi berbagai keadaan. Memang, kesadaran ini belum mencakup kesadaran reflektif transendental, atau kesadaran diri sebagai pelaku (agency self consciousness) yang lebih kompleks, seperti pada manusia.

Dari sudut pandang teori kesadaran, saya melihat, bahwa hewan, secara khusus, memiliki kesadaran sebagai pribadi (consciousness as person). Mereka bisa mengenali dirinya sendiri sebagai mahluk yang berdiri mandiri, terlepas dari hewan-hewan lainnya. Mereka bisa mengenali pemiliknya. Dengan pengalaman keseharian kita bersama hewan, hal ini kiranya sudah tak bisa terbantahkan.

Melihat hewan sebagai saudara dengan kesadaran diri sebagai pribadi (consciousness as person), kiranya, juga tak berlebihan. Sudah tak terhitung lagi orang yang membangun hubungan persaudaraan dengan hewan yang mereka rawat. Dalam banyak hal, seperti dikutip Deny JA, hewan memiliki keluhuran sikap yang lebih tinggi dari manusia. Menghargai kehidupan mereka juga kiranya tidak hanya wajar, tetapi merupakan kewajiban kita sebagai manusia.

Para master spiritual dari berbagai tradisi kuno sudah memahami dan menghidupi persaudaraan kosmik ini. Beberapa tradisi menolak untuk membunuh atau memakan hewan. Beberapa tradisi bersedia mengorbankan hewan sungguh untuk keperluan yang tak lagi bisa dihindarkan, misalnya untuk kasus-kasus gawat darurat. Sudah waktunya, kita sungguh mengurangi pembunuhan hewan untuk keperluan apapun, terutama untuk keperluan ritual agama.

Jangan ditunda lagi…

Dipublikasikan oleh

avatar Tidak diketahui

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Kesadaran, Agama dan Politik. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023), Zendemik (2024), Teori Politik Progresif Inklusif (2024), Kesadaran, Agama dan Politik (2024) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.