
Oleh Reza A.A Wattimena
Dua minggu belakangan, tiga teman berkabar ke saya. Mereka banyak bercerita tentang hidup mereka. Satu hal yang sama, yakni mereka dilanda kesepian akut. Di tengah ketidakpastian politik ekonomi dunia, bahkan justru di tengah keberhasilan karir yang mereka bangun, mereka merasa sepi.
Ada yang kesepiaannya begitu mencekam. Kesedihan menjadi bagian utuh dari kesehariannya. Segalanya seolah menjadi tak bermakna, dan bahkan menyakitkan dada. Ada yang hendak memutuskan untuk bunuh diri.
Tentang Kesendirian
Seingat saya, saya pernah berbicara soal ini di salah satu podcast Youtube saya. Saya coba menanyakan hal ini ke diri saya, apakah saya kesepian? Saya cukup sering menghabiskan waktu sendirian. Namun, setelah melihat lebih dalam, saya sama sekali tidak merasa kesepian.
Saya sungguh menikmati kesendirian saya. Ada kebebasan untuk melakukan apa yang diinginkan. Ada waktu luang untuk bermain musik dan membaca buku. Dalam hal ini, saya merasa menjadi orang paling beruntung di dunia.
Kerap kali, saya bercanda, ketika teman bertanya tentang kesibukan saya. “Saya sibuk sekali. Sibuk tidak melakukan apapun.” Jika dilihat lebih dalam, saat-saat sendiri adalah saat-saat terbaik dalam hidup saya. Ada kebahagiaan yang lahir dari dalam diri, dan mengisi keseharian saya.
Di saat sendiri, kreativitas mengalir deras. Saya menulis. Saya membuat lagu. Atau, saya sekedar duduk, menikmati kopi dan keadaan sekitar disini dan saat ini.
Memang, kesendirian membuat orang menjadi asli. Ia tidak lagi menjadi manusia, atau anggota kelompok, suku atau ras tertentu. Di dalam kesendirian yang sejati, orang menyentuh kecerdasan kreatif di dalam dirinya. Ia menjadi satu harmoni dengan segala yang ada.
Ada paradoks disini. Di dalam kesendirian, saya menemukan keseluruhan. Saya sendiri, tetapi tidak merasa sepi. Sebaliknya, saya sungguh sendiri, dan menjadi satu dengan seluruh eksistensi.
Ini rupanya tidak dialami banyak orang. Di dalam sendiri, mereka ditikam derita kesepian. Menjadi sendiri adalah sesuatu yang menakutkan. Mereka melakukan segala cara, supaya tidak sendiri, dan disiksa kesepian. Ada lima hal yang penting untuk direnungkan.
Akar Kesepian
Pertama, akar kesepian bukanlah tidak adanya teman, atau pasangan. Orang bisa merasa sangat kesepian di dalam sebuah hubungan. Orang bisa disiksa kesepian, justru di tengah keramaian. Dalam arti ini, akar kesepian adalah putusnya hubungan dengan kenyataan.
Misalnya, orang melekat pada identitas sosialnya yang hanyalah merupakan kesepakatan sementara, dan bukan kenyataan. Ia menjadi manusia, atau orang Indonesia, atau orang Ambon, atau orang Jawa, dan sebagainya. Ketika identitas itu goyah, biasanya karena konflik, orang lalu merasa sendiri dan sepi. Hidup dalam ilusi membuatnya tak pernah menyadari diri sejatinya.
Dua, orang merasa sepi, ketika ia hanyut dalam pikiran. Pikiran bukanlah kenyataan. Kerap kali, pikiran itu mengambang tanpa akar. Ia hanya berupa penyesalan atas masa lalu, ataupun kecemasan yang mencekik atas masa depan. Hanyut dalam keduanya membuat kita menderita, dan tersiksa oleh kesepian.
Tiga, pikiran juga selalu menciptakan dualisme yang ilusif. Seolah aku berbeda dengan dunia. Seolah, orang lain, dan juga mahluk lain, tidak ada kaitannya dengan hidupku. Saya membahas soal ini secara mendalam di dalam teori transformasi kesadaran. Ketika terjebak di dualisme, ilusi keterpisahan pun muncul, dan kesepian menjadi tak terhindarkan.
Empat, dualisme kerap berkembang menjadi isolasi. Karena trauma dan kecewa, orang memutus diri dari dunia sosial. Isolasi adalah keadaan yang tak alami. Dalam keadaan ini, tidak hanya kesepian yang muncul, depresi pun mulai mencekik jiwa.
Lima, ketika kesepian mencekik, orang berusaha mencari jalan keluar. Beragam cara dicoba. Biasanya kecanduan akan muncul, mulai dari rokok, belanja, seks dan narkoba. Dalam terkaman depresi dan kecanduan, kesepian pun semakin membara.
Kontak Dengan Kenyataan
Kesepian bukanlah soal ketiadaan orang lain. Orang justru bisa ditikam kesepian di tengah keramaian. Kesepian adalah soal keterputusan dengan kenyataan. Orang hanyut dalam pikiran dan perasaan, serta lupa untuk sungguh hidup di sini dan saat ini.
Kerap kali, pikiran adalah ilusi. Ia tidak ada hubungan dengan strategi untuk bergerak dalam kenyataan. Melihat pikiran sebagai ilusi akan memutus rantai penyiksaaan diri yang tak perlu. Sebelum pikiran, diri sejati manusia tampil ke depan. Alam semesta pun terasa dalam pelukan.
Ada perasaan cukup. Orang seperti berada di rumah yang menyejukkan dan menenangkan. Kesepian akan pergi dengan sendirinya. Justru di dalam kesedirian, ada perasaan damai yang menyentuh seluruh nadi, dan rasa kesatuan hakiki dengan seluruh semesta. Dari kejauhan, harapan saya, semoga teman-teman yang tersiksa kesepian membaca tulisan saya…