
Oleh Reza A.A Wattimena
Rismon Sianipar, ahli teknik elektro lulusan Jepang dengan ratusan karya ilmiah, terus bersuara terkait pemalsuan Ijazah Jokowi. Ia berharap, bahwa Universitas Gadjah Mada (UGM) berani mengajukan bukti-bukti ilmiah dan siap berargumentasi secara rasional untuk kasus ini. Rismon melanjutkan, bahwa universitas adalah tempat pencarian kebenaran ilmiah. Ia harus bebas dari politik korup khas penguasa busuk. Lalu, UGM mengajukan argumen-argumen dangkal, dan kemudian membisu.
Hal serupa terjadi di Universitas Indonesia (UI) dengan skandal yang melibatkan Bahlil. Tipu daya menjadi jurus untuk lulus. Para dosen dan pejabat kampus ikut serta terlibat di dalam kebusukan yang terjadi. Walaupun terbukti berbuat curang dengan berbagai kejanggalan yang penuh kebusukan, Bahlil tetap diperbolehkan tercatat sebagai mahasiswa, dan melanjutkan studi doktoralnya. UI juga diam membisu…
Dua contoh ini adalah puncak dari gunung kebusukan yang sungguh mengakar dalam. Ada akar historis dan epistemologis dari busuknya universitas-universitas di Indonesia. Lepas dari adanya kemungkinan, bahwa ini semua adalah pengalihan isu terhadap hal-hal yang lebih mendesak, yakni korupnya rezim gemoy fufufafa, lima hal kiranya penting untuk diperhatikan.
Pertama, di dalam sejarahnya, dunia pendidikan Indonesia tidak lahir dari pencarian akan kebenaran. Tidak ada kecintaan atas pengetahuan di dalamnya. Sebaliknya, dunia pendidikan Indonesia lahir dari rahim kolonialisme, terutama Pemerintahan Belanda. Ia adalah upaya untuk menghasilkan tenaga kerja terampil dengan tingkat cara berpikir yang amat rendah, bahkan cenderung bodoh.
Dua, di universitas-universitas tua, terutama di Eropa dan sebagian Timur Tengah, kebenaran ilmiah adalah sesuatu yang dihargai. Pengetahuan adalah sesuatu yang dipandang berharga, dan layak dicari. Dengan semangat inilah, filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang. Universitas lahir sebagai penjaga akal sehat, pembina nurani serta simbol keluhuran kebudayaan manusia. Sekali lagi, ini semua tidak pernah terjadi di Indonesia.
Tiga, karena lahir dari rahim penjajah, universitas-universitas di Indonesia pun menjadi pengabdi penguasa. Mereka ikut membenarkan penjajahan dan perbudakan. Mereka diuntungkan dengan kedekatan kepada penguasa busuk tersebut. Bisa juga dikatakan, DNA dunia akademik Indonesia bukanlah pencari kebenaran dan pembentukan pengetahuan, melainkan pengembang mental penjilat penguasa.
Empat, tak hanya penguasa yang dijilat, industri pun juga. Di Indonesia, pendidikan menjadi pengabdi kepentingan bisnis dan industri belaka. Pemikiran kritis dan pencarian kebenaran tidak menjadi tujuan sama sekali, atau hanya tertulis di dalam visi serta visi universitas, tanpa ada upaya penerapan. Tak heran, di 2025 ini, mutu berpikir manusia Indonesia adalah salah satu yang terendah di dunia.
Lima, maka, universitas tidaklah bisa diandalkan. Mereka mengkhianati makna dari “universitas” itu sendiri. Di Indonesia, universitas hanyalah alat penguasa untuk memperbodoh rakyatnya sendiri. Karena cenderung bodoh, maka rakyat Indonesia bisa dikendalikan, dipecah belah dan dipermiskin, demi kekayaan para penguasa busuknya.
Di Indonesia, kebenaran ilmiah tidak dapat ditemukan di universitas. Tidak ada kecintaan akan pengetahuan serta kebijaksanaan di dalamnya. Harapan Rismon Sianipar dan kawan-kawan terhadap UGM kiranya tak berpijak pada kenyataan. Kita mesti mencari kebenaran, pengetahuan dan kebijaksanaan di luar dunia akademik, yakni di luar universitas.
Ketika dunia akademik dengan beragam institusi universitasnya membusuk, dimana kita mesti mencari sandaran kebenaran, akal sehat dan kesadaran? Ruang publik masyarakat sipil masih menyimpan harapan itu. Tak semuanya baik, terutama begitu banyak ajaran yang terlumuri agama kematian dari tanah gersang. Namun, dicelah himpitan kata dan bahasa, setitik pencerahan masih bisa mengembangkan kejernihan nurani, akal sehat dan kesadaran seluruh mahluk. Semoga Rumah Filsafat masih berada di jalan itu…