Tak Perlu Memaafkan (ataupun Dimaafkan)

Oleh Reza A.A Wattimena

Saya menerima pesan dari seorang teman. Tanpa alasan, ia meminta maaf. Ia merasa telah banyak merepotkan saya. Ia merasa bersalah, karena tidak bisa memberikan balasan yang sepadan.

Pesan ini memicu pemikiran reflektif saya. Mengapa orang meminta maaf? Mengapa orang ingin dimaafkan? Mengapa kita, kerap kali dipaksa, juga perlu memaafkan?

Kata maaf terkait dengan sebuah kesalahan. Mungkin, ada kesalahan yang terjadi di masa lalu. Namun, luka dan kekecewaan yang timbul masih ada di masa sekarang. Kata maaf adalah sebuah upaya untuk meringankan, ataupun melepaskan luka tersebut.

Namun, mengapa manusia terluka? Mengapa tindakan orang lain melukai kita? Sebaliknya, mengapa tindakan kita melukai orang lain? Jawabannya sederhana: karena kita memiliki kesalahan berpikir mendasar tentang kehidupan.

Maaf itu Percuma

Ada enam hal yang kiranya perlu diperhatikan. Pertama, setiap orang hidup dengan tingkat kesadarannya masing-masing. Detilnya bisa dilihat di dalam buku saya tentang Teori Transformasi Kesadaran. Saya lampirkan buku tersebut di akhir tulisan. Dari tingkat kesadaran yang ada, orang berperilaku dan membuat keputusan di dalam hidupnya.

Dua, artinya, orang selalu bertindak sesuai dengan apa yang mereka anggap baik. Mereka berusaha sebaik mungkin, sesuai dengan tingkat kesadarannya. Bahkan, berniat jahat pun lahir dari tingkat kesadaran tertentu. Lepas dari segala penghakiman baik atau buruk, semua orang selalu berusaha yang terbaik, sesuai dengan tingkat kesadarannya.

Tiga, oleh karena itu, kita kerap kali tak memahami tindakan orang lain. Banyak orang membuat pilihan-pilihan yang bodoh dari sudut pandang kita. Banyak orang berperilaku yang aneh, jika kita melihatnya menggunakan kaca mata kita. Ini semua bisa dijelaskan dengan sederhana, bahwa orang bertindak sungguh sesuai dengan tingkat kesadarannya masing-masing.

Empat, jika begitu, kesalahan tidak bisa ditimpakan kepada orang lain. Kita kerap kali mencoba memahami tindakan orang dengan tingkat kesadaran yang kita punya. Kita berharap lebih, daripada apa yang ada. Kita hidup di dalam ilusi pikiran kita, dan melepaskan kenyataan sebagaimana adanya. Kita terluka, karena kita hidup dalam ilusi.

Lima, maka dari itu, memaafkan adalah tindakan percuma. Meminta maaf juga adalah sesuatu yang sia-sia. Sekali lagi, orang bertindak sesuai dengan tingkat kesadarannya. Yang mesti diperiksa adalah harapan kita tentang orang lain yang kerap kali tak sesuai dengan kenyataan.

Kita juga tak perlu selalu menyesuaikan diri dengan harapan orang lain. Apalagi, ketika kita tidak melakukannya, kita merasa bersalah, dan harus meminta maaf. Keputusan dan perilaku kita juga lahir dari tingkat kesadaran yang kita miliki. Inilah yang mesti sungguh kita perhatikan.

Enam, tanpa maaf, bukan berarti tidak ada hukuman. Pelanggaran hukum tetap harus ada sanksi yang sesuai. Orang memiliki kewajiban untuk menjaga tatanan yang ada, supaya tetap stabil dan adil. Memaafkan memang percuma, tetapi penegakan hukum adalah sesuatu yang niscaya.

Kita Mesti Mati

Tugas utama kita adalah terus memperluas kesadaran yang kita punya. Kita perlu sadar, bahwa orang lain dan seluruh mahluk hidup adalah diri kita sendiri. Di titik ini, kecil kemungkinan, kita akan menyakiti mahluk lain. Juga dari titik ini, kita bisa memahami perilaku orang lain, tanpa terluka olehnya, atau menuntut permintaan maaf dari mereka.

Untuk itu, kita mesti mati setiap saat. Kita mesti mati dari masa lalu. Kita mesti juga mati dari ilusi tentang orang lain. Justru dengan kita mati, kita akan sungguh hidup sesuai dengan kenyataan sebagaimana adanya.

Teman saya tak perlu meminta maaf. Di dalam hidup, kita semua selalu berusaha melakukan yang terbaik. Tak ada yang perlu dimaafkan. Sungguh.. tidak ada…

Buku Teori Transformasi Kesadaran bisa diunduh disini: Teori Transformasi Kesadaran dan Pengembangannya

Dipublikasikan oleh

avatar Tidak diketahui

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Kesadaran, Agama dan Politik. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023), Zendemik (2024), Teori Politik Progresif Inklusif (2024), Kesadaran, Agama dan Politik (2024) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.