Politik sebagai Transformasi Kesadaran

Oleh Reza A.A Wattimena

Pertengahan April 2025, saya berpergian dari Ubud menuju Bandara I Gusti Ngurah Rai di Kuta, Bali. Di perjalanan, seperti biasa, saya mengobrol santai dengan supir. Ia adalah warga Sleman, Yogyakarta yang kini merantau ke Bali. Bersama istrinya, mereka mencari rejeki di Pulau Dewata ini.

Baru dua bulan ini, ia menjadi supir. Sebelumnya, ia adalah seorang kontraktor alat-alat berat. Ia mendirikan perusahaan di Balikpapan, Kalimantan. Salah satu kontrak terbesarnya berasal dari proses pembangunan IKN (Ibu Kota Nusantara) yang menjadi ambisi buta penguasa Indonesia sebelumnya.

Bisnisnya berantakan. Pemerintah berhutang, dan sampai April 2025, tidak ada kepastian pembayaran. Jumlahnya pun lumayan besar, yakni 4 Miliar Rupiah. Baginya, jalan keluar satu-satunya adalah memulai kembali dari nol dengan segala keterbatasan yang ada.

Di 2025 ini, Indonesia memang hidup di bawah rezim omon-omon. Janji-janji besar diumbar. Namun, tak ada wujud nyata dari semua ini. Jangankan hutang kepada pengusaha, hutang kepada rakyat, yakni pengentasan korupsi dan penghancuran kemiskinan, pun hanya menjadi janji palsu belaka.

IKN kini menjadi proyek mangkrak. Konon, ia menjadi simbol kebodohan penguasa korup Indonesia. Puluhan triliun uang dihamburkan secara sia-sia. Sementara, secara keseluruhan, rakyat kita terus dicekik oleh ketidakadilan, kebodohan dan kemiskinan.

Akar dari semua ini adalah kedunguan tata kelola pemerintahan. Kedunguan ini berakar pada sebab yang lebih dalam, yakni mutu kesadaran yang sempit dan rendah. Dampaknya jelas terhadap perilaku maupun keputusan-keputusan politik yang dibuat rezim. Di semua unsur kehidupan, yang terjadi adalah penurunan mutu dan ketidakadilan.

Ketika kesadaran rendah, mata kita menjadi buta. Kita tidak bisa melihat keadaan sebagaimana adanya. Analisis dan kebijakan tidak memperbaiki masalah, justru memperbesarnya. Berbagai proyek baru yang mencurigakan justru dimulai.  Inilah yang kiranya terjadi di rezim omon-omon gemoy fufufafa di Indonesia sekarang ini.

Di Indonesia, kita seperti kena kutuk. Kita tidak pernah mendapatkan pemimpin bangsa yang baik. Yang bermunculan adalah deretan koruptor dengan segala kerumitan serta kebusukannya. Sejak merdeka, Indonesia pun relatif tak berubah, yakni tetap bangsa yang dipenuhi kebodohan serta kemiskinan di segala unsurnya.

Ada tujuh hal yang kiranya patuh direfleksikan. Pertama, politik dengan kesadaran rendah adalah politik distingtif-dualistik, sebagaimana pisau analisis di dalam teori transformasi kesadaran yang saya kembangkan. Politik ini memecah belah, dan menciptakan ketegangan. Dengan cara pandang yang memecah belah ini, konflik, pengrusakan alam dan perang pun tak terhindarkan.

Dua, politik distingtif-dualistik menekankan identitas keakuan. Penekanan ini menciptakan ilusi keterpisahan yang membuat orang melihat dunia serta orang lain sebagai sesuatu yang asing. Buahnya adalah identitas yang sempit. Orang melihat dirinya hanya sebagai individu, ataupun kelompok tertentu, yang berbeda dengan mahluk hidup lainnya.

Tiga, di Indonesia, buah dari politik kesadaran sempit ini jelas, yakni korupsi di berbagai bidang. Korupsi adalah pembusukan fungsi, termasuk di dalamnya adalah pencurian uang rakyat. Bentuknya beragam, mulai dari kecurangan pemilu, birokrasi yang korup sampai dengan radikalisme agama yang dibiarkan berkembang. Korupsi kini menjadi tantangan terbesar Indonesia.

Empat, di titik ini, sebagai bangsa, kita memerlukan transformasi kesadaran. Politik jelas harus menjadi proses transformasi kesadaran. Artinya, identitas para pelaku politik harus dibuat sejalan dengan kenyataan sebagaimana adanya, yakni tak terbatas seluas kenyataan. Inti utama filsafat politik adalah filsafat kesadaran, atau transformasi kesadaran di titik terdalam.

Lima, politik sebagai transformasi kesadaran berarti politik yang bersifat total inklusif. Seluruh kehidupan dilihat sebagai bagian dari politik, bukan hanya manusia dari kelompok tertentu semata. Manusia tidak hanya dilihat sebagai individu, tetapi sebagai satu kesatuan dengan segala yang ada. Dari sudut identitas yang tak terbatas ini, strategi dan kebijakan politik yang sesuai pun dirumuskan.

Enam, sebagai transformasi kesadaran, politik adalah sesuatu yang terus berubah. Cara-cara lama dipertanyakan dan dikaji ulang, terutama cara-cara yang korup serta merusak. Dengan kata lain, politik sebagai transformasi kesadaran adalah politik progresif. Perubahan, sebagai sesuatu yang tetap, dijadikan dasar untuk mewujudkan kebaikan bagi semua mahluk.

Tujuh, sebagai transformasi kesadaran, politik juga secara alami memperhatikan alam. Alam keseluruhan, termasuk segala mahluk di dalamnya, dilihat sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Inklusivitas identitas mencakup segala kenyataan yang ada. Bisa dibilang, politik transformasi kesadaran adalah politik yang bersifat auto ekologis.

Sebagai transformasi kesadaran, politik adalah sebuah visi besar. Ia menjauh dari politik korup dan sempit, seperti yang kita saksikan di berbagai belahan dunia sekarang ini. Politik sebagai transformasi kesadaran tidak hanya menawarkan kemakmuran dan keadilan bagi rakyat, tetapi juga pencerahan batin yang membebaskan manusia dari penderitaan yang kerap ia buat dengan pikirannya sendiri. Di abad 21 ini, lepas dari beragam gaya politik maupun pemikiran politik yang ada, politik sebagai transformasi kesadaran kiranya pilihan terbaik yang kita punya.

Uraian menyeluruh tentang Teori Transformasi Kesadaran bisa dilihat disini: Teori Transformasi Kesadaran dan Pengembangannya

Dipublikasikan oleh

avatar Tidak diketahui

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Kesadaran, Agama dan Politik. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023), Zendemik (2024), Teori Politik Progresif Inklusif (2024), Kesadaran, Agama dan Politik (2024) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.