Dua minggu ini, akhir Maret 2025, ketika orang sibuk libur Lebaran, saya melakukan begitu banyak kegiatan. Ada kegiatan yang sungguh saya nikmati, seperti misalnya menulis, bermusik dan mengajar. Namun, ada kegiatan-kegiatan yang wajib dilakukan, kerap dengan penuh keterpaksaan.
Akibatnya, tubuh dan pikiran saya menjadi begitu lelah. Begitu banyak hal yang mesti dipikirkan dan dikerjakan, nyaris secara bersamaan. Persis awal April 2025, terutama karena kelelahan, semua itu meledak. Emosi saya meluap, dan saya berkonflik besar dengan salah seorang kawan.
Makian terucap. Barang-barang terlempar. Ini seperti perang nuklir lokal antara dua sahabat. Jejak gigitan ingatannya masih terasa, ketika saya menulis ini.
Kelupaan akan Mangkok
Mangkok adalah analogi untuk kesadaran. Mangkok bisa menampung semua jenis makanan. Ketika dicuci, makanan itu lenyap dari mangkok, tanpa jejak. Mangkok tak ternoda, walaupun diisi beragam jenis makanan yang terus berganti.
Makanan itu adalah analogi untuk pikiran dan perasaan. Ia datang dan pergi, seringkali tanpa diundang. Ia amat sementara dan bersifat ilusif, yakni antara ada dan tiada. Makanan ditampung oleh mangkok sama seperti pikiran serta perasaan ditampung oleh kesadaran.
Saya lupa menjadi mangkok. Saya melahap semua emosi dan pikiran saya begitu saja. Saya hanyut ke dalamnya. Buahnya adalah penderitaan, baik yang saya rasakan, maupun yang kawan saya terima.
Seni Menjadi Mangkok
Menjadi mangkok berarti belajar menampung semua emosi dan pikiran yang ada. Ini juga berarti kita mengamati dan menyadari dengan lembut segala yang datang ke dalam batin. Ada kebebasan di dalam proses pengamatan. Ada jarak yang melahirkan kebijaksanaan sekaligus kelembutan.
Jika kita lupa akan hal ini, maka kita akan menjadi makanan. Kita menempel pada pikiran dan perasaan yang muncul. Dunia akan menjadi seperti roller coaster dengan perubahan naik turun suasana hati yang ekstrem. Ini adalah penderitaan yang amat berat.
Menjadi mangkok berarti juga menyentuh pengetahuan terpenting, bahwa aku bukanlah pikiran maupun perasaanku. Pikiran berganti. Perasaan datang dan pergi. Namun, sebagai mangkok kesadaran, aku tetap stabil serta membumi di sini dan saat ini.
Pikiran dan perasaan itu ada, sekaligus tidak ada. Hal yang sama berlaku tentang dunia. Ketiga hal ini, yakni dunia, pikiran dan perasaan manusia tidaklah pernah terpisah. Dengan menyadari penuh, bahwa dunia, pikiran dan perasaan bersifat ilusif, kita akan secara alami kembali pada keadaan batin sebelum pikiran muncul.
Inilah jati diri kita yang asli. Ia berada sebelum segala bentuk pikiran maupun perasaan. Ia bahkan berada sebelum ruang dan waktu. Jati diri sejati segala yang ada adalah kekosongan yang sadar dan tak terbatas. Disini dan saat ini, kita menyentuh keabadian.
Ada waktunya marah. Ada waktunya kita bahagia. Ada waktunya kita bersedih. Ada waktunya kita meminta maaf, dan ada waktunya kita memaafkan. Jalani semua itu dengan kejernihan batin yang datang sebelum pikiran muncul…
