Raungan-raungan Keterbelakangan

Oleh Reza A.A Wattimena

Jakarta, Maret 2025, waktu menunjukkan jam 8 malam. Cuaca cerah, disertai angin semilir yang menciptakan rasa nyaman. Saya berdiri di tepi lapangan sepak bola kecil di daerah Jakarta Selatan, menikmati malam yang syahdu. Tiba-tiba, ada suara orang meraung keras, seperti sedang marah-marah.

Suara itu keluar dari kampung terdekat. Orang yang berteriak menggunakan bahasa asing yang tak saya kenali. Ia seperti meracau, layaknya orang gila. Suaranya merusak telinga. Keindahan malam rusak oleh raungan tersebut.

Ini tidak terjadi sekali, melainkan berkali-kali. Teriakan meracau tersebut berlanjut sampai sekitar jam 10 malam. Katanya, teriakan keras itu adalah bagian dari ritual agama tertentu, dan berlangsung setiap hari. Tindakan itu sungguh menciptakan polusi suara. Begitu banyak orang, termasuk saya, yang terganggu oleh raungan ini.

Secara umum, sudah puluhan tahun, Indonesia mengalami masalah ini. Ada dorongan untuk menjadi bangsa beradab, maju, adil dan makmur. Namun, ada dorongan pula untuk tetap bodoh, timpang, miskin dan terbelakang. Di 2025 ini, dorongan untuk menjadi maju, beradab, adil dan makmur nyaris terlupakan.

Rezim gemoy fufufafa tentu tak peduli. Mereka sibuk membuat kebijakan-kebijakan yang menghina rakyat. Mereka sibuk korupsi untuk memperkaya diri dan kelompok sempitnya. Mereka hanya menanti revolusi berdarah yang lahir dari kemiskinan dan kebodohan yang mencekik rakyat begitu lama.

Beberapa Refleksi

Ada enam hal yang bisa direfleksikan. Pertama, saya melihat raungan ini lahir dari sesuatu yang lebih dalam, yakni kebodohan dan kemiskinan yang dibiarkan membusuk begitu lama. Tidak hanya dibiarkan, kebodohan dan kemiskinan tersebut justru diperdalam oleh beragam kebijakan oleh rezim gemoy fufufafa di 2025 ini. Raungan kegilaan ritualistik merusak telinga adalah raungan pahit penuh kesedihan atas kekecewaan selama puluhan, bahkan ratusan, tahun atas keadaan politik maupun ekonomi yang penuh ketidakadilan.

Dua, kebodohan itu buntutnya panjang. Ritual yang tak relevan terus dilestarikan. Kreativitas buntu oleh kebodohan dan kemiskinan yang tersebar luas. Akibat kebodohan, orang melekat pada tata ritual yang merusak akal sehat dan membunuh kepekaan nurani.

Tiga, orang bisa bodoh, namun tetap memperoleh gelar tinggi di bidang pendidikan. Orang bisa bodoh, dan memegang gelar doktor di satu bidang tertentu, biasanya di salah satu universitas di Indonesia. Kebodohan, dalam arti ini, adalah ketidakberpikiran, yakni ketidamampuan menggunakan pemikiran untuk mempertanyakan keadaan, dan memahami keadaan secara mendalam. Orang bisa jago berhitung dan menghafal, tetapi tetap bodoh, karena tidak mampu dan berani untuk berpikir kritis.

Empat, ketidakberpikiran menciptakan kemiskinan pengetahuan. Di era sekarang ini, pengetahuan begitu mudah didapatkan. Cukup dengan sentuhan jari, informasi dan pengetahuan sepanjang sejarah manusia bisa diperoleh. Namun, karena ketidakberpikiran, semua itu menjadi percuma, bahkan orang cenderung jatuh pada informasi-informasi yang menyesatkan pikiran.

Lima, buah dari semua ini adalah hidup penuh kedangkalan. Orang beragama secara dangkal. Ia hanya memahami kulit permukaan, tanpa menyelam ke dalam inti agama yang ada. Karena kedangkalan yang ada, agama tidak menciptakan perubahan batin, tetapi justru memperbodoh dan mempermiskin.

Enam, di dalam teori tipologi agama yang saya kembangkan, hal ini disebut juga sebagai agama kematian. Inilah agama yang merusak akal sehat dan membunuh kepekaan nurani. Inilah agama yang merusak budaya leluhur. Inilah agama yang merusak segala yang indah tentang kehidupan, dan terpaku pada kematian semata.

Melampaui Keterbelakangan

Ritual agama adalah bagian dari keseharian masyarakat Indonesia. Ini tentunya tidak bisa dipungkiri. Namun, kejernihan di dalam berpikir, empati dan sikap kritis kiranya amat diperlukan disini. Jangan sampai ritual agama melahirkan raungan-raungan keterbelakangan yang membuat bangsa kita semakin bodoh dan miskin.

Raungan-raungan ritualistik agamis ini juga merupakan tanda kebobrokan sistem politik, hukum dan ekonomi bangsa kita. Ia adalah tanda kebodohan bangsa ini. Jika keadilan sosial dan upaya mencerdaskan kehidupan berbangsa terwujud, maka raungan-raungan ini akan lenyap secara alami. Kebaikan bersama pun akan terwujud.

Pada akhirnya, di Indonesia, kita perlu memeluk agama kehidupan, sebagaimana saya kembangkan di dalam teori tipologi agama. Inilah agama yang menghargai segala keindahan hidup. Inilah agama yang mencerdaskan pemeluknya dengan kejernihan, sikap kritis dan empati kepada semua mahluk. Hanya dengan berpindah ke agama kehidupan, dan mewujudkan keadilan sosial untuk semua, bangsa kita bisa bergerak menuju kemakmuran yang kita dambakan bersama.

===

Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

cropped-rf-logo-done-rumah-filsafat-2-1.png

Dipublikasikan oleh

avatar Tidak diketahui

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Kesadaran, Agama dan Politik. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023), Zendemik (2024), Teori Politik Progresif Inklusif (2024), Kesadaran, Agama dan Politik (2024) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.