Hari itu, sekujur tubuh saya terasa lelah. Begitu banyak kegiatan yang dilakukan. Begitu banyak orang yang ditemui. Kekacauan lalu lintas Jakarta juga memperlemah tubuh.
Karena begitu lelah, saya tak lagi memiliki energi, ketika sampai di rumah. Seluruh tubuh terasa letih. Bahkan, saya tak lagi mampu melakukan meditasi formal. Saya hanya ingin mandi, lalu beristirahat.
Keadaan Indonesia juga sedang gelap gulita. Begitu banyak orang dipecat dari pekerjaannya. Begitu sulit untuk mencari pekerjaan yang mampu mencukupi kebutuhan dasar. Lebih dari 70 persen rakyat Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan dunia.
Rezim gemoy fufufafa sungguh membunuh harapan kita untuk menjadi bangsa yang adil dan makmur. Tempo, media massa terbaik di Indonesia, bahkan dunia, terus mendapat ancaman teror. Korupsi dibiarkan bertumbuh liar di berbagai bidang kehidupan. Rezim gemoy fufufafa terus saja memprovokasi masyarakat untuk melawan dengan penuh kekerasan.
Inilah luka-luka kehidupan. Dari sudut pandang relatif, hidup memang tak pernah adil. Saya teringat Jacques Derrida, pemikir Perancis. Keadilan selalu merupakan sesuatu yang akan datang, dan tak pernah sungguh ada di saat ini.
Luka melekat pada ingatan. Apa yang telah berlalu masih menyiksa dada. Apa yang di masa mendatang terus mencekik mencemaskan. Kebahagiaan pun seperti lepas dan genggaman.
Disinilah pentingnya memulihkan diri. Di tengah hantaman kegiatan, kita perlu berhenti. Di tengah hantaman kebingungan, kita perlu memeluk sunyi. Tak perlu ke gunung nan jauh, cukup sadar penuh disini dan saat ini.
Di dalam bahasa Jawa, kata mulih berarti pulang. Ini bisa diartikan dua hal. Mulih bisa berarti ke rumah fisik, atau rumah bangunan. Mulih juga bisa berarti kembali ke rumah sejati kita, yakni jati diri kita yang sejati.
Memahami mulih sebagai pulang rumah fisik juga bisa membuat kita jatuh ke dalam penderitaan. Rumah fisik dibuat indah dan nyaman. Namun, batin tetap tersiksa oleh berbagai kebencian, kecemasan dan kebodohan. Juga, rumah fisik akan hancur oleh perubahan keadaan, sehingga kita akan menderita, jika melekat padanya.
Kita perlu kembali ke rumah sejati kita. Inilah kesadaran murni yang dimiliki semua mahluk. Ia berada di luar ruang dan waktu. Ia tidak bisa dihancurkan.
Kesadaran murni adalah inti kehidupan. Ia adalah perasaan kehidupan itu sendiri (feeling of life itself), sebagaimana diungkap oleh Christof Koch, seorang neurosaintis. Kesadaran adalah panggung, atau latar belakang, dari semua pengalaman manusia. Mengutip Immanuel Kant, filsuf Jerman, kesadaran bukanlah pengalaman, melainkan salah satu kondisi-kondisi kemungkinan (die Bedingungen der Möglichkeit) bagi hadirnya pengalaman manusia.
Tradisi Zen menegaskan, bahwa rumah sejati kita berada sebelum pikiran. Pikiran konseptual bersifat dualistik. Ia memotong dan memisahkan. Ini berguna untuk membantu manusia mengelola hidup keseharian. Namun, untuk sampai pada pencerahan batin, orang perlu kembali ke sebelum pikiran, guna menemukan dirinya yang sebenarnya.
Jati diri sejati, atau true self, adalah konsep kuno. Ia bahkan lebih tua dari sejarah manusia itu sendiri. Inilah konsep yang menunjuk langsung pada sesuatu yang berada sebelum konsep. Para Yogi di masa kuno menyebutnya sebagai Atman.
Ciri jati diri sejati itu kosong. Ia tidak memiliki konsep, bahasa ataupun pandangan tertentu. Ia berada sebelum itu semua. Walaupun kosong, jati diri sejati itu sepenuhnya sadar, dan bersifat tak terbatas.
Diri sejati itu dimiliki oleh semua mahluk hidup. Anda dan saya pun memilikinya. Itulah identitas asli kita yang melampaui ruang dan waktu. Ia tidak pernah lahir, dan tidak akan pernah mati.
Diri sejati itu adalah keseluruhan semesta. Kita dan segala yang ada selalu terhubung dengannya, tanpa pernah terpisahkan. Ketika kita mengenali dan menyadari diri sejati kita, kita memulihkan tidak hanya diri kita sendiri, tetapi juga negeri dan bumi. Satu mahluk tercerahkan, seluruh alam semesta ikut bersamanya. Kesalingterkaitan dan kesalingbergantungan dari segala yang ada adalah sebuah hal yang tak terbantahkan.
Dunia ini penuh ketidakpastian. Indonesia pun kini hidup di masa kegelapan. Inilah bagian dari ciri kesementaraan dari kenyataan. Saatnya kita mulih ke dalam diri sejati kita sendiri, serta mencurahkan harapan yang lebih baik untuk negeri, dan untuk bumi…
===
Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

