Oleh Reza A.A Wattimena
Akhir Februari 2025, saya berkendara di daerah Cawang. Waktu menunjukkan jam 8 pagi. Begitu banyak kendaraan di jalan. Kemacetan besar pun tak terhindarkan.
Di tengah kemacetan, saya kaget. Ada motor kencang sekali melewati jalan pejalan kaki. Ia mengebut di tengah trotoar. Ada polisi di sekitar. Namun, mereka diam saja, seolah tak melihat, dan tak peduli.
Sudah berulang kali, saya mengalami kejadian dengan pola serupa. Pelanggaran terjadi di depan mata penegak hukum. Tak ada yang peduli. Pelanggaran pun terus terjadi, tanpa ada teguran, hukuman dan rasa bersalah sedikit pun.
Knalpot perusak telinga dibiarkan. Pelanggar lampu merah didiamkan. Yang lebih besar lagi, koruptor busuk didiamkan, bahkan dijadikan pejabat negara yang digaji oleh uang rakyat. Di tengah semua ini, sebagian besar rakyat Indonesia terus hidup dalam cekikan kemiskinan dan kebodohan. Indonesia sungguh telah menjadi gelap.
Kejahatan juga sungguh telah menjadi banal. Ketika terjadi, ia tidak lagi menciptakan kekagetan di sanubari. Kejahatan telah menjadi tawar, dan menjadi bagian dari keseharian. Ia tidak lagi dilihat sebagai kejahatan, melainkan sebagai sesuatu hal yang biasa.
Hukum ditabrak. Di depan mata umum, ia dipatahkan, bahkan oleh orang-orang yang telah bersumpah untuk mematuhinya. Tak ada konsekuensi apapun. Ketika satu pelanggaran didiamkan, maka jutaan pelanggaran lainnya akan terjadi.
Hukum adalah buah dari moral. Tak hanya hukum yang ditabrak, moral pun diinjak. Ajaran baik dan buruk yang tertanam di dalam sanubari budaya dianggap tak ada. Orang menipu, mencuri dan saling menyakiti, tanpa ada pertimbangan moral sedikit pun.
Tiga hal dasar menjadi penyebab. Pertama, Indonesia mengalami krisis keteladanan. Para pemimpin tidak memberikan contoh tentang hidup yang sadar dan bermartabat. Sebaliknya, mereka justru menunjukkan sikap sombong, korup, culas, rakus dan gemar menabrak hukum serta moral.
Dua, kebohongan sungguh sudah bertumpuk di Indonesia. Ia telah menjadi banal. Ia mengisi keseharian manusia-manusia Indonesia. Seolah, menjadi manusia Indonesia berarti berenang di dalam lautan kebohongan setiap harinya.
Tiga, akar masalahnya adalah ketika kata tak lagi bermakna. Kata menjadi kosong. Ia hanya menjadi buih-buih manis yang hampa makna. Ketika kata tak lagi bermakna, kontrak sosial yang membentuk negara dan hubungan antar manusia juga runtuh.
Tak hanya kontrak sosial yang rusak. Hubungan antar manusia pun menjadi goyah. Rumah tangga pecah, karena kata tak lagi bermakna. Janji setia dalam suka dan duka hanya pemanis yang tak berharga.
Ketika tak lagi bermakna, politik juga menjadi omon-omon belaka. Sejuta masalah muncul, tanpa ada tanggapan yang memadai. Indonesia gelap adalah kenyataan yang hanya bisa disangkal oleh mereka yang buta akal sehat dan nurani. Negara pun dipimpin para bandit yang culas dan rakus.
Kata yang dikhianati adalah ibu dari korupsi. Kata seolah mengalami pembusukan, karena dicabut dari apa yang nyata. Tak hanya uang dan jabatan yang dilumuri korupsi. Pikiran serta ucapan manusia pun juga telah menjadi korup.
Maka, kita perlu membuat kata menjadi bermakna. Kita perlu menanamkan kata pada apa yang sungguh nyata. Kontrak sosial kita sebagai bangsa amat bergantung pada hal ini. Kebahagiaan serta keselamatan kita sebagai manusia pribadi juga tergantung padanya.
Membuat kata menjadi bermakna berarti mengisi kata dengan kesadaran. Kita berkata-kata dengan sadar. Kita memahami maknanya, dan bersedia menjadikannya kenyataan. Setiap kata menjadi bermakna, karena ia diucapkan secara sadar dengan niat yang kokoh untuk mewujudkannya.
Kata dan bahasa mungkin hanya ciptaan manusia. Ia tak memiliki kebenaran mutlak. Namun, dalam hidup keseharian yang penuh dengan perubahan serta bersifat relatif, perannya amatlah penting. Ketika kata menjadi bermakna, hidup bersama pun menjadi sejahtera.
Ketika kata menjadi bermakna, kebenaran pun terasa di udara. Sebagai bangsa, kita akan menemukan kemakmuran serta kedamaian yang sudah begitu lama kita dambakan..
