Meresapi Ketidaktahuan

Oleh Reza A.A Wattimena

Di 2025, ketika Indonesia diterkam kegelapan, banyak orang bertanya, bagaimana dengan nasib kita? Apakah Indonesia akan terus miskin dan terbelakang, seperti sekarang? Apakah ketidakadilan akan terus terjadi pada mayoritas warga Indonesia, seperti sekarang ini? Jawaban jujur atas ini semua: tidak ada yang tahu.

Jangankan masa depan bangsa, atau dunia, masa depan saya pribadi juga tidak bisa diketahui. Saya…tidak… tahu. Saya bisa mengajukan banyak pandangan soal masa depan saya. Namun, itu semua hanya spekulasi. Sejujurnya, saya tidak tahu…

Lebih jauh lagi, setiap orang dihantui pertanyaan-pertanyaan mendasar. Sebelum saya lahir, saya ada dimana? Beragam spekulasi penuh ilusi bisa diajukan. Namun, sejujurnya, tak ada yang sungguh tahu.

Jika tubuh saya mati, kemana saya pergi? Ada yang bilang, saya akan lahir lagi. Ada juga yang bilang, saya akan pergi ke surga, atau neraka. Namun, sungguh sejujurnya, saya tidak tahu, dan tidak ada yang tahu.

Di dalam hidup, kita harus berani jujur. Ada kebohongan-kebohongan kecil yang, terkadang, mesti kita katakan dalam hubungan dengan orang lain. Namun, untuk diri sendiri, kita mesti sepenuhnya jujur. Dan kejujuran tertinggi adalah, kita tidak tahu apapun tentang dunia ini.

Sekali lagi, kita bisa berspekulasi. Kita bisa membuat cerita khayal. Ada yang tentang kehidupan setelah mati. Ada yang terkait dengan masa depan kita, baik sebagai pribadi, bangsa, ataupun dunia.

Spekulasi pun beragam. Ada spekulasi penuh khayal yang biasa tertanam di dalam agama maupun budaya. Jawaban-jawaban atas pertanyaan dasar hidup manusia dibuat seperti dongeng. Orang menjadi takut dan tersesat karenanya.

Ada juga spekulasi yang berpijak pada akal sehat. Hal ini kental di dalam filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Ketidaktahuan dibongkar dengan pencarian yang bersifat terbuka dan rasional. Namun, setiap satu hal terjawab, lalu jutaan pertanyaan muncul, dan mengundang rasa ingin tahu, sekaligus kebingungan.

Di ujung pencarian, satu hal yang jelas, bahwa kita tidak sungguh tahu apapun. Kita bisa memberi nama pada sesuatu. Namun, itu tidak berarti, bahwa kita mengetahuinya. Kita bahkan tak sungguh tahu, siapa kita sebenarnya.

Jalan pembebasan memeluk ketidaktahuan dengan kesadaran penuh. Ketidaktahuan adalah sesuatu yang harus diresapi. Ketidaktahuan adalah kejujuran yang seutuhnya. Ketika kita menjadi sepenuhnya tidak tahu, dan menghayati hal tersebut, kita akan terbebaskan.

Ketidaktahuan juga adalah keterbukaan. Kita tidak mengurung dunia ke dalam konsep. Kita tidak menghakimi orang lain dengan semena-mena. Ketika tenggelam di dalam ketidaktahuan, kita menjadi satu dengan segala yang ada.

Ketidaktahuan juga adalah kebebasan. Kita tidak terpenjara oleh masa lalu maupun masa depan. Keduanya hanyalah konsep belaka yang tak berpijak pada kenyataan. Kita juga tidak terpenjara oleh ide tentang “diri” pribadi yang mutlak dan abadi, baik tentang diri kita, tuhan maupun tentang mahluk hidup lainnya.

Ketidaktahuan juga adalah kejernihan. Kita terbebas dari prasangka terhadap orang lain, maupun terhadap dunia. Kita tidak diberatkan oleh pikiran yang berlebihan. Lalu, kita bisa bersikap dengan tepat dari saat ke saat, sesuai dengan keadaan di depan mata.

Dengan melepas konsep dan bahasa, kita menjadi sungguh tak tahu. Kita kembali ke keadaan batin sebelum pikiran muncul. Zen menyebut ini sebagai hakekat Buddha (Buddha Nature) yang merupakan diri kita yang sebenarnya. Di titik ini, tak ada perbedaan antara kita dengan seluruh semesta.

Inilah yang disebut sebagai pencerahan. Ia berada sebelum dan setelah akal budi. Ia adalah kemampuan untuk melihat dan menyatu dengan kenyataan sebagaimana adanya. Secara intuitif, kita lalu bisa paham, bagaimana kita mesti bersikap dari saat ke saat.

Apa artinya bersikap tepat dari saat ke saat? Jika ada orang lapar, berikan makan. Jika ada orang haus, berikan minuman. Jika ada orang bersikap egois dan merugikan orang lain, tegurlah sesuai dengan keadaan.

Akar dari semua itu adalah sikap meresapi ketidaktahuan. Di dalam teori transformasi kesadaran yang saya kembangkan, inilah titik tertinggi, yakni kesadaran kekosongan. Tidak ada pikiran, konsep ataupun bahasa yang mengaburkan kenyataan yang ada. Kita terhisap di dalam ketidaktahuan yang justru menghasilkan begitu banyak pengetahuan.

Saya teringat sosok Sokrates, bapak filsafat Barat, atau filsafat Eropa. Ia sadar betul, bahwa orang paling bijaksana adalah orang yang menyadari, bahwa ia tak tahu apa-apa. Ia terus terbuka dan belajar dari segala yang ada. Ia membiarkan pertanyaan-pertanyaan datang berkunjung, dan semakin memperdalam kesadaran akan ketidaktahuan yang ia miliki.

Shunryu Suzuki, Zen master asal Jepang, punya posisi yang serupa. Batin Zen, demikian katanya, adalah batin seorang pemula (Zen mind is beginner’s mind). Tidak ada kesimpulan mutlak di kepalanya. Yang ada hanya kemungkinan-kemungkinan yang terus menari, tanpa henti.

Di dalam hisapan ketidaktahuan, segalanya menjadi misteri. Kita menjadi sungguh jujur dan terbuka. Resapi ketidaktahuan yang penuh misteri ini. Rasakan kelegaaan seluas semesta disini dan saat ini…

Dipublikasikan oleh

avatar Tidak diketahui

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Kesadaran, Agama dan Politik. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023), Zendemik (2024), Teori Politik Progresif Inklusif (2024), Kesadaran, Agama dan Politik (2024) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.