Oleh Dhimas Anugrah, (Ketua Circles Indonesia. Komunitas pembelajar di bidang budaya, filsafat, dan sains)
Apa jadinya jika sains dan spiritualitas, dua bidang yang sering dianggap bertolak belakang, justru saling melengkapi? Inilah yang coba dijawab oleh konsep “Neuropistis,” sebuah pendekatan yang saya gagas untuk menghubungkan neurosains dan iman dalam upaya memahami pengalaman spiritual manusia. Berasal dari kata Yunani “neûron” (saraf) dan “pistis” (iman), konsep ini lahir dari refleksi saya atas pentingnya jembatan antara dimensi biologis dan transenden dalam kehidupan manusia.
Neuropistis mencoba hadir sebagai kerangka pemikiran yang mengeksplorasi keterkaitan antara proses neurologis dalam otak dengan pengalaman transenden yang sering kali sulit dijelaskan secara ilmiah. Melalui pendekatan ini, saya mengajak Anda mempertimbangkan pengalaman spiritual, seperti rasa dekat dengan Tuhan, mungkin memiliki dasar neurologis yang dapat diukur, tanpa mengurangi nilai dan maknanya yang mendalam. Seperti diketahui bersama, bahwa manusia berada di persimpangan antara dimensi material dan transenden. Di sinilah neuropistis menawarkan perspektif yang lebih terbuka.
Neuropistis mengajukan bahwa pengalaman spiritual tidak semata-mata dapat direduksi menjadi sekadar aktivitas saraf, melainkan juga mencerminkan keterhubungan manusia dengan realitas yang lebih luas. Konsep ini mengundang kita mempertimbangkan, otak mungkin bukanlah pencipta, melainkan “penerima” atau “penyalur” dari pengalaman transenden yang melampaui batas-batas material. Dengan demikian, neuropistis membuka pintu bagi obrolan yang lebih akrab antara sains dan iman, mengajak kita merenungkan misteri kesadaran dan hakikat keberadaan manusia.
Dialektika Neurosains
Dalam neurosains, ada pemahaman “reduksionis materialistis,” pendekatan yang mencoba menjelaskan fenomena kompleks—seperti pikiran, emosi, dan bahkan pengalaman spiritual—dengan mereduksinya menjadi sekadar aktivitas saraf dan proses biokimia di dalam otak. Pandangan ini sering kali menganggap segala sesuatu yang kita alami, termasuk iman maupun perasaan religius atau transenden, hanyalah hasil dari mekanisme neurologis yang dapat diukur dan diamati. Dengan kata lain, fenomena seperti kesadaran dan makna hanyalah efek samping dari fungsi otak yang kompleks, tanpa realitas independen di luar proses biologis tersebut. Sebagai konsekuensinya, dimensi spiritual sering kali dipandang sebagai ilusi yang muncul dari pola-pola aktivitas saraf, bukan sebagai aspek esensial dari realitas manusia.
Pandangan “dualitas transendental” menawarkan perspektif yang berbeda. Perspektif ini mengakui bahwa realitas terdiri dari dua dimensi yang saling melengkapi: yang material (fisik) dan yang transenden (non-fisik). Dalam lensa pandang ini, otak dan tubuh adalah instrumen yang memungkinkan manusia berinteraksi dengan dunia material, sementara kesadaran dan pengalaman spiritual mungkin bersumber dari dimensi transenden yang melampaui batas-batas fisik. Dengan demikian, “dualitas transendental” tidak menolak temuan neurosains, tetapi mengigatkan bahwa ada aspek-aspek pengalaman manusia—seperti makna, tujuan, dan spiritualitas—yang tidak dapat sepenuhnya dijelaskan hanya melalui mekanisme biologis. Ini membuka ruang bagi harmoni antara sains dan iman, di mana keduanya dapat berkontribusi dalam memahami kompleksitas keberadaan manusia.
Steven Pinker, ahli psikologi kognitif, dalam bukunya How the Mind Works (1997) menyatakan, banyak aspek kesadaran dan pengalaman manusia dapat dijelaskan melalui mekanisme evolusi dan fungsi otak. Menurutnya, pikiran manusia pada dasarnya merupakan hasil dari proses adaptasi biologis yang berperan meningkatkan peluang bertahan hidup manusia dalam lingkungannya. Pinker juga berpendapat, fungsi-fungsi kognitif, seperti bahasa, persepsi, dan pemikiran logis, telah berkembang untuk membantu manusia menghadapi tantangan lingkungan secara adaptif. Ia menolak gagasan kesadaran atau makna hidup memerlukan penjelasan metafisik, dengan menegaskan bahwa semua proses mental pada akhirnya dapat dilacak ke aktivitas neurologis yang dipengaruhi oleh seleksi alam.
Nancy Murphy, seorang filsuf dan teolog, dalam bukunya Bodies and Souls, or Spirited Bodies? (2006), menolak pandangan semacam ini. Ia berpendapat, kesadaran manusia, termasuk pengalaman spiritual, merupakan fenomena yang muncul dari kompleksitas interaksi biologis dalam otak, tetapi ini tidak berarti bahwa aspek-aspek tersebut dapat direduksi sepenuhnya menjadi proses material. Murphy mengusulkan pendekatan non-reduksionis yang menghormati temuan neurosains, tapi tetap mengakui realitas pengalaman subjektif dan makna eksistensial yang tak dapat dijelaskan hanya oleh sains materialistik. Dengan demikian, ia memperjuangkan integrasi antara perspektif sains dan spiritualitas, di mana tubuh dan kesadaran dilihat sebagai entitas yang saling terkait secara utuh, bukan sebagai dua substansi terpisah.
Antonio Damasio, dalam bukunya The Feeling of What Happens: Body and Emotion in the Making of Consciousness (1999), mendukung pandangan Pinker dengan menunjukkan kesadaran manusia muncul dari hubungan antara otak dan seluruh tubuh melalui proses emosional dan biologis. Menurutnya, pengalaman subyektif adalah hasil dari mekanisme neurologis yang menyatukan berbagai sinyal dari tubuh untuk menciptakan kesadaran diri. Pula, Patricia Churchland, dalam Braintrust: What Neuroscience Tells Us about Morality (2011), sejalan dengan perspektif semacam ini. Ia mengungkapkan, moralitas dan pengalaman manusia yang kompleks berasal dari adaptasi saraf yang berfungsi memperkuat hubungan sosial. Churchland berargumen, pemahaman mendalam tentang fungsi otak dapat mengungkap bagaimana norma dan perilaku manusiawi berkembang secara biologis, tanpa memerlukan entitas transenden atau metafisik.
John F. Haught menolak lensa pandang bernuansa reduksionis materialistis yang diajukan oleh Pinker, Damasio, dan Churchland. Ia berpendapat, pengalaman manusia, terutama dalam hal makna dan spiritualitas, tidak dapat sepenuhnya dijelaskan melalui mekanisme biologis karena aspek transenden dari kesadaran melampaui penjelasan materialistik (Science and Faith: A New Introduction, 2012). Haught menekankan pentingnya dimensi eksistensial dan tujuan, yang menurutnya hanya dapat dipahami melalui perspektif yang mencakup sains dan spiritualitas. Empat tahun sebelumnya, Keith Ward, dalam The Big Questions in Science and Religion (2008), sebenarnya juga sudah menentang reduksionisme materialistis dengan menyatakan bahwa kesadaran manusia memiliki sifat unik yang tidak dapat direduksi menjadi aktivitas saraf. Ia berargumen, ada realitas non-material yang berkontribusi pada kesadaran dan pengalaman spiritual, yang tidak dapat dijelaskan oleh sains semata. Ward mendukung pendekatan non-reduksionis yang melihat otak sebagai alat mengakses dimensi transenden, sejalan dengan pandangan Murphy dan Haught.
Dialektika antara para tokoh ini menunjukkan percakapan mendalam antara reduksionisme materialistis dan pendekatan dualitas transendental atau non-reduksionis dalam memahami kesadaran manusia. Reduksionisme tampak berpijak pada ontologi materialistik yang mengasumsikan realitas dapat sepenuhnya diukur dan dijelaskan oleh hukum-hukum fisik, sementara dualitas transendental menegaskan pengalaman subyektif dan makna memiliki eksistensi yang melampaui ranah material. Perdebatan ini mencerminkan konflik epistemologis antara sains empiris (fisika) dan spiritualitas (metafisika), yang mempertanyakan batas kemampuan sains dalam mengakses hakikat realitas. Dengan demikian, dialektika ini mengundang refleksi tentang perlunya paradigma yang lebih integratif, terbuka, di mana dimensi empiris dan transenden dapat saling melengkapi dalam menjelaskan kompleksitas kesadaran manusia.
Tawaran Neuropistis
Neuropistis, sebagai konsep yang saya maknai sebagai pendekatan yang menerima temuan-temuan neurosains dengan refleksi filosofis tentang kesadaran, melihat dialektika ini sebagai peluang melampaui dikotomi antara reduksionisme materialistis dan dualitas transendental. Saya berpendapat, kesadaran tidak hanya muncul dari proses biologis, tetapi juga merupakan pengalaman fenomenologis yang dapat dipahami lebih dalam melalui pendekatan multidimensi yang menyatukan sains, humaniora, dan spiritualitas. Neuropistis yang saya tawarkan mengajak kita melihat tentang bagaimana otak memungkinkan pengalaman subyektif sekaligus mengakui bahwa makna dan nilai tidak dapat sepenuhnya direduksi ke dalam proses biologis. Neuropistis adalah pendekatan integratif yang berikhtiar menjelaskan kesadaran manusia melalui percakapan ramah antara neurosains, filsafat, serta refleksi eksistensial, dengan tetap menghargai dimensi biologis dan transenden.
Konsep neuropistis tidak memusuhi reduksionisme ilmiah, melainkan melihatnya sebagai salah satu alat penting dalam memahami aspek fisik dari kesadaran. Namun, neuropistis menolak klaim bahwa semua aspek pengalaman manusia dapat disederhanakan menjadi mekanisme biologis semata. Dengan sama-sama menerima neurosains dan iman, neuropistis menegaskan bahwa makna, nilai, dan tujuan dalam kehidupan adalah dimensi penting dari realitas yang dialami manusia, yang tak dapat dijelaskan secara memadai tanpa melibatkan refleksi filosofis dan spiritual.
Neuropistis berbeda dari pemikiran para tokoh dalam dialektika di atas karena konsep ini berupaya menjembatani kedua kubu yang berseberangan, bukan memilih salah satu pihak. Berbeda dari pandangan Pinker, Damasio, dan Churchland yang menitikberatkan pada penjelasan biologis, neuropistis seperti yang sudah saya katakan, tidak memandang kesadaran sebagai hasil mekanis semata, melainkan sebagai fenomena kompleks yang melibatkan dimensi makna dan pengalaman subjektif. Di sisi lain, neuropistis juga tidak sepenuhnya berpijak pada pendekatan transenden seperti yang ditegaskan Murphy, Haught dan Ward, melainkan mencari jalan tengah dengan tetap menghormati batas-batas empirisme ilmiah. Dengan demikian, neuropistis menawarkan sintesis yang menempatkan sains dan refleksi spiritual dalam percakapan yang saling memperkaya untuk memahami dialektika ini secara lebih menyeluruh.
Meminjam konsep “triperspectivalism” John Frame dalam The Doctrine of the Knowledge of God (1987), neuropistis menawarkan, realitas perlu dipahami melalui tiga aspek yang saling melengkapi: aspek nilai dan makna (normative perspective), fenomena empiris (situational perspective), serta pengalaman subyektif (existential perspective). Dalam konteks kesadaran, penjelasan materialistik dari aspek empiris tidak dapat berdiri sendiri tanpa memperhitungkan nilai-nilai normatif dan pengalaman eksistensial yang memperkaya pemahaman manusia. Pendekatan ini memandang setiap dimensi tersebut memiliki peran penting, di mana percakapan yang ramah antara sains dan iman mampu menciptakan wawasan yang lebih utuh. Dengan demikian, neuropistis memberikan sintesis yang menghormati sikap terbuka terhadap fakta empiris dan makna spiritual dalam memahami kesadaran manusia.
Tidak Hitam Putih Maupun A atau B
Neuropistis mengajak kita tidak terjebak pada ekstrem materialisme ataupun mistisisme yang menolak peran sains dalam memahami kesadaran. Pendekatan ini menyoroti, pengalaman spiritual memiliki potensi yang dapat dipelajari secara empiris, tetapi pemahaman mendalam tentangnya memerlukan keterbukaan pada makna transenden. Dengan demikian, ia menempatkan manusia sebagai makhluk multidimensi yang berada di persimpangan antara fakta biologis dan makna eksistensial. Neuropistis mendorong kita mengembangkan paradigma integratif yang mengedepankan harmoni antara sains dan spiritualitas dalam pencarian kebenaran yang utuh.
Pendekatan neuropistis yang mengintegrasikan sains dan spiritualitas sejalan dengan pemikiran Marion Beauregard dalam bukunya The Spiritual Brain: A Neuroscientist’s Case for the Existence of the Soul (2007). Beauregard menawarkan perspektif bahwa pengalaman spiritual tidak dapat sepenuhnya direduksi menjadi aktivitas saraf, karena kesadaran memiliki dimensi makna dan nilai yang membutuhkan pendekatan multidimensi. Ia berpendapat, percakapan ramah antara sains dan spiritualitas bukan sekadar upaya rekonsiliasi, melainkan kebutuhan epistemologis untuk memahami realitas manusia secara utuh. Pandangan ini memperkuat konsep neuropistis, yang mengajak kita melihat kesadaran sebagai fenomena kompleks yang berada di persimpangan antara fakta biologis dan makna eksistensial.
Namun, meski Beauregard menegaskan pentingnya dimensi spiritual dalam memahami kesadaran, ia cenderung lebih berpihak pada argumen eksistensi jiwa sebagai entitas non-material yang independen. Neuropistis, di sisi lain, tidak berfokus pada pembuktian keberadaan jiwa sebagai substansi terpisah, melainkan pada percakapan yang seimbang antara neurosains dan refleksi imani untuk memahami fenomena spiritual. Neuropistis melihat otak sebagai instrumen yang berperan dalam memfasilitasi pengalaman transenden, tanpa perlu memperdebatkan aspek metafisik jiwa secara langsung. Dengan demikian, perbedaan utama terletak pada pendekatan epistemologis: Beauregard menitikberatkan argumen spiritualitas pada eksistensi jiwa, sedangkan neuropistis lebih berfokus pada integrasi makna, sains, dan pengalaman.
Meski mengajukan kritik terhadap reduksionisme, neuropistis tidak mengabaikan kontribusi penting dari temuan-temuan empiris dalam neurosains. Pendekatan neuropistis justru mengapresiasi berbagai temuan yang dikemukakan oleh tokoh seperti Pinker, Damasio, dan Churchland, terutama dalam memahami mekanisme biologis kesadaran. Neuropistis mengakui bahwa aspek-aspek seperti adaptasi evolusioner, hubungan antara emosi dan fungsi otak, serta peran saraf dalam moralitas memberikan pemahaman yang berharga tentang dasar-dasar pengalaman manusia. Dengan demikian, konsep ini berusaha menerima penjelasan ilmiah dan refleksi imani untuk membangun kerangka pemahaman yang lebih menyeluruh dan mendalam tentang kesadaran serta spiritualitas manusia.
Pentingnya Kesediaan untuk Terbuka
Neuropistis mengusulkan pentingnya keterbukaan pada temuan-temuan neurosains, karena hal ini memberikan wawasan empiris yang memperkaya pemahaman tentang dasar biologis kesadaran manusia. Dengan mempelajari mekanisme neurologis, kita dapat memahami bagaimana emosi, memori, dan pengalaman subjektif terbentuk dan diproses dalam otak. Keterbukaan ini mencegah kita terjebak dalam dogma religius yang menolak fakta ilmiah, sekaligus menghindari reduksionisme yang menyederhanakan realitas kompleks manusia. Melalui pendekatan yang terbuka, neuropistis mengajak kita memanfaatkan sains sebagai alat penting dalam menyelidiki misteri kesadaran tanpa mengesampingkan refleksi filosofis dan makna transenden.
Dengan sikap terbuka terhadap sains, neuropistis mengakui bahwa pemahaman tentang proses saraf dapat membantu menjelaskan pengalaman manusia sehari-hari, seperti rasa cinta, kesadaran moral, dan hubungan sosial. Namun, ia tetap menegaskan bahwa sains belum dapat sepenuhnya menjawab pertanyaan mendalam tentang makna hidup, tujuan eksistensial, dan pengalaman transenden. Oleh karena itu, pendekatan ini mendorong kolaborasi antara ilmuwan, filsuf, dan teolog untuk mengintegrasikan berbagai perspektif dalam memahami kesadaran secara lebih utuh. Sikap ini memungkinkan manusia terus mengeksplorasi batas-batas pengetahuan tanpa menolak dimensi spiritual yang memberikan makna pada kehidupan.
Neurosains telah berjasa dalam membongkar berbagai takhayul dengan menjelaskan fenomena-fenomena yang dulu dianggap mistis, seperti pengalaman dekat kematian (near-death experiences), halusinasi, dan dejavu, sebagai hasil dari aktivitas otak tertentu. Dengan temuan ini, sains membantu manusia memahami banyaknya pengalaman luar biasa dapat dijelaskan melalui mekanisme saraf tanpa harus bergantung pada keyakinan supranatural. Penjelasan-penjelasan ilmiah tersebut mengurangi ketakutan irasional yang sering kali muncul dari kesalahpahaman tentang fenomena mental. Meski begitu, neuropistis tetap menghargai bahwa di balik fenomena-fenomena tersebut, masih ada dimensi makna dan simbolisme yang tidak dapat diabaikan begitu saja, melainkan perlu dipahami melalui refleksi imani yang mendalam.
Neuropistis menekankan pentingnya keterbukaan terhadap dimensi iman, yang memberikan manusia kerangka makna dan tujuan hidup yang sering kali tidak dapat dijelaskan oleh sains. Iman membantu manusia memahami pengalaman transenden, seperti rasa koneksi dengan sesuatu yang lebih besar, yang tidak dapat direduksi menjadi aktivitas saraf belaka. Keterbukaan terhadap iman memungkinkan manusia melihat bahwa sains dan spiritualitas dapat bekerja sama dalam mencari jawaban atas pertanyaan eksistensial yang lebih dalam. Dengan pendekatan ini, neuropistis menghindari konflik antara sains dan iman, menciptakan ruang obrolan yang memperkaya pemahaman tentang kompleksitas kesadaran dan keberadaan manusia.
Neuropistis juga mengakui bahwa iman bersifat personal, yang diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari melalui akhlak yang baik dan buah kehidupan yang elok, seperti kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri. Iman yang sejati tidak hanya berupa kepercayaan abstrak, tetapi tercermin dalam perilaku yang mencerminkan nilai-nilai luhur yang mempererat hubungan antarmanusia. Pemahaman ini sejalan dengan pandangan bahwa spiritualitas berfungsi mengarahkan setiap insan menuju kehidupan yang bermakna, di mana kesadaran moral dan empati berkembang dalam harmoni dengan kesadaran biologis. Dengan demikian, neuropistis menempatkan pengalaman iman sebagai aspek esensial dalam proses pembentukan diri yang mencakup dimensi biologis, sosial, dan eksistensial.
Dengan terbuka terhadap sains dan iman, neuropistis menawarkan kesadaran bahwa manusia adalah makhluk multidimensi yang hidup di dalam realitas material sekaligus transenden. Melalui percakapan yang saling memperkaya, kita dapat memahami kesadaran tidak hanya sebagai proses biologis, tetapi juga sebagai jalan menuju makna dan tujuan yang lebih tinggi. Akhirulkalam, neuropistis mengajak kita terus mengeksplorasi misteri kehidupan dengan pikiran yang terbuka, kerendah-hatian, dan semangat yang penuh pencarian akan kebenaran.
Bibliografi
Beauregard, Mario, dan Denyse O’Leary. The Spiritual Brain: A Neuroscientist’s Case for the Existence of the Soul. New York: HarperOne, 2007.
Churchland, Patricia S. Braintrust: What Neuroscience Tells Us about Morality. Princeton: Princeton University Press, 2011.
Damasio, Antonio R. The Feeling of What Happens: Body and Emotion in the Making of Consciousness. New York: Harcourt Brace, 1999.
Frame, John M. The Doctrine of the Knowledge of God. Phillipsburg, NJ: P&R Publishing, 1987.
Haught, John F. Science and Faith: A New Introduction. New York: Paulist Press, 2012.
Murphy, Nancey. Bodies and Souls, or Spirited Bodies? Cambridge: Cambridge University Press, 2006.
Pinker, Steven. How the Mind Works. New York: W. W. Norton & Company, 1997.
Ward, Keith. The Big Questions in Science and Religion. West Conshohocken, PA: Templeton Foundation Press, 2008.
