Martabat Manusia dalam Terkaman Kecerdasan Buatan: Mempertimbangkan Dokumen Antiqua et Nova dari Paus Fransiskus

Oleh Reza A.A Wattimena

Sudah lama, saya suka bermusik. Saya ingin menciptakan lagu, dan kemudian merekamnya dengan aransemen yang megah. Namun, karena keterbatasan, saya tidak juga mampu melakukannya. Ini berubah, setelah saya berkenalan dengan teknologi kecerdasan buatan di bidang musik.

Setelah mengisi beberapa kolom daring, termasuk lirik, teknologi tersebut mengeluarkan beberapa lagu, sesuai dengan kriteria yang saya inginkan. Hasilnya sungguh luar biasa. Aransemennye megah, dan mutu suara yang dihasilkan juga amat bagus. Membuat musik bermutu kini hanya cukup mengetik beberapa pilihan di keyboard, tanpa memerlukan bantuan manusia lain.

Di waktu yang lain, seorang teman bercerita, bahwa hidupnya kini sungguh bergantung pada teknologi kecerdasan buatan. Teknologi tersebut berperan menjadi sekretaris pribadi yang mengurus semua kebutuhannya, mulai dari membuat presentasi sampai dengan mengirimkan pesan ucapan selamat ulang tahun. Alhasil, sebagai seorang pemilik bisnis, ia tidak lagi perlu mencari manusia untuk berperan sebagai sekretaris pribadinya.

Dalam dua hal itu, bagaimana dengan manusia yang bekerja sebagai musisi dan sekretaris profesional? Apakah mereka masih dapat bekerja untuk menopang hidup mereka? Teknologi kecerdasan buatan memiliki kemampuan tinggi untuk melakukan tugas-tugas manusia. Bahkan, dalam beberapa hal, mereka bisa bekerja lebih cepat dengan hasil kerja yang bermutu lebih tinggi.

Tidak hanya musisi dan sekretaris profesional yang terancam. Begitu banyak profesi lainnya juga mengalami kejutan, mulai dari dokter, pengacara bahkan sampai guru. Para penulis, seperti saya, juga terancam profesinya oleh kehadiran serta perkembangan teknologi kecerdasan buatan ini. Masa depan manusia pun dihadapkan pada ketidakpastian besar.

Yuval Harari, penulis buku Sapiens dan beberapa buku lainnya, melihat lahirnya kelas manusia tak berguna (useless class). Inilah manusia-manusia korban perkembangan teknologi, terutama teknologi kecerdasan buatan. Mereka ahli dibidangnya, namun keahlian mereka sudah dikuasai oleh oleh teknologi kecerdasan buatan. Mereka pun lalu menjadi tak berguna di hadapan masyarakat industri kapitalistik yang berteknologi maju.

Ketakutan lainnya adalah perbudakan yang dilakukan oleh teknologi kecerdasan buatan tersebut kepada manusia. Tema ini kiranya marak ditemukan di berbagai film science fiction. Teknologi kecerdasan buatan menjadi begitu canggih dan berkuasa, sehingga mampu memperbudak manusia. Gejala ke arah ini kiranya sudah bisa dirasakan sekarang.

Tanggapan Gereja Katolik Roma: Antiqua et Nova

Pada 14 Januari 2025, Paus Fransiskus, pemimpin tertinggi Gereja Katolik Roma, bertemu dengan Kardinal Victor Manuel Fernandez. Bersama, mereka merumuskan dokumen Antiqua et Nova (Yang Kuno dan Yang Baru). Dokumen sepanjang kurang lebih 30 halaman itu baru diterbitkan pada 28 Januari 2025.

Dokumen tersebut berisi 117 paragraf. Ia mencoba menanggapi tantangan yang muncul dari perkembangan teknologi kecerdasan buatan di dalam bidang pendidikan, ekonomi, hubungan antar manusia dan perang. Saya menemukan 12 poin penting yang kiranya perlu kita refleksikan bersama.

Pertama, kecerdasan buatan haruslah dilihat sebagai buah dari perkembangan teknologi dan sains untuk menata dunia. Gereja mendukung penuh perkembangan teknologi sains ini, terutama untuk menjaga serta mengembangkan martabat manusia. Sains dan teknologi dipandang sebagai kerja sama Tuhan dan manusia untuk menyempurnakan dunia yang diciptakan (world of creation) oleh Tuhan.

Dua, teknologi kecerdasan buatan adalah teknologi yang unik. Ini adalah teknologi yang bisa meniru kecerdasan manusia. Ia bisa belajar untuk mengembangkan dirinya sendiri (machine learning process). Ia bisa menerima kritik dan masukan, lalu menyatukannya di dalam kerja-kerja kesehariannya.

Tiga, kecerdasan buatan juga harus dibedakan dengan kecerdasan manusiawi. Kecerdasan buatan bekerja secara mekanis. Kecerdasan manusia memiliki unsur itu. Akan tetapi, ia juga memiliki keunikan, karena bersifat alamiah, dan bisa mencapai kebijaksanaan.

Empat, dengan perkembangan kecerdasan buatan, manusia juga tidak boleh lupa mengembangkan dirinya. Manusia harus terus melatih dirinya untuk mengembangkan akal sehat serta kejernihan nuraninya. Ia juga harus berani bertanggung jawab atas pikiran maupun perbuatannya. Kebebasan tanpa tanggung jawab hanya akan berbuah kekacauan dan kehancuran.

Lima, dalam arti ini, kecerdasan buatan adalah alat yang ideal. Ia adalah pembantu manusia untuk mengembangkan diri dan martabatnya. Kecerdasan buatan tidaklah dibuat untuk tujuan pada dirinya sendiri. Ia juga tidak dibuat untuk membuat manusia menjadi tak berguna, seperti yang sekarang ini menjadi kecemasan banyak orang.

Enam, maka dari itu, proses evaluasi harus terus dilakukan. Gerak kecerdasan buatan haruslah terus dalam kontrol manusia. Sains, teknologi dan hukum memainkan peranan penting dalam hal ini. Terlebih, tingkat kesadaran para pengembang sekaligus pengguna teknologi kecerdasan buatan haruslah meningkat.

Tujuh, “Kecerdasan buatan”, demikian tulis Paus Fransiskus, “harus digunakan hanya sebagai alat untuk melengkapi kecerdasan manusia, dan bukan menggantikan kekayaannya.” (poin 112) Kecerdasan manusia bersifat alami dan organik. Ia juga bisa bekerja secara mekanis. Dengan bantuan kecerdasan buatan, kecedasan manusia bisa menyentuh kebijaksanaan yang lebih tinggi.

Delapan, berkat perkembangan kecerdasan buatan, karya manusia justru semakin berharga. Karya manusia tidak sempurna. Ia penuh dengan sentuhan organik alami khas manusia. Ini justru menjadi semakin berharga di tengah perkembangan teknologi kecerdasan buatan yang juga bisa berkarya di berbagai bidang.

Sembilan, berkat revolusi digital, informasi menjadi begitu mudah dan murah didapatkan. Teknologi kecerdasan buatan mampu mengolah informasi tersebut, dan menjadikannya karya yang bermutu. Ini semua mengajak manusia untuk bergerak ke arah yang lebih tinggi, dan tidak lagi melihat pengetahuan semata sebagai pengumpulan informasi. Dengan segala kemudahan ini, manusia pun diajak untuk mencari kebijaksanaan yang sejati.

Sepuluh, bagi Paus Fransiskus, batas-batas teknologi kecerdasan buatan adalah spiritualitas. Dalam arti ini, spiritualitas berpijak pada terang filsafat dan ajaran teologis Gereja Katolik Roma. Spiritualitas ini menjadi penunjuk arah bagi penggunaan teknologi kecerdasan buatan di dalam kehidupan. Teknologi ini lalu menjadi pelestari sekaligus pengembang martabat manusia.

Sebelas, di bagian akhir tulisannya, Paus Fransiskus berbicara soal nilai hidup manusia. Nilai manusia bukanlah pada kemampuannya mengingat informasi. Nilai manusia juga bukan dilihat dari kecerdasan yang ia punya. Paus mengingatkan, bahwa nilai sejati manusia terletak pada kemurahatiannya (generosity) terhadap semua mahluk hidup yang ada. Sikap murah hati adalah wujud nyata dari cinta dan welas asih.

“Kebijaksanaan dari hati”, demikian tulisnya, “dapat menyinari dan membimbing teknologi yang berpusat pada manusia ini untuk dapat menciptakan kebaikan bersama, merawat rumah bersama kita, mengembangkan pencarian atas kebenaran, merawat perkembangan manusia yang menyeluruh, mendorong solidaritas manusia dan persaudaraan, dan membawa manusia kepada tujuan tertingginya, yakni kebahagiaan dari persekutuan utuh dengan Tuhan.” (Poin 116)

Dua belas, Paus Fransiskus mengingatkan, bahwa teknologi kecerdasan buatan tidaklah bertujuan untuk penguasaan alam. Ia adalah bagian dari rencana Tuhan untuk dunia ciptaan. Sebagai bagian dari alam ciptaan, teknologi ini selalu mengandung misteri Ilahi. Ia adalah sebuah keterbukaan yang penuh dengan berbagai kemungkinan. Teknologi kecerdasan buatan, dalam arti ini, adalah hal yang baru (Nova) dan bergandengan tangan dengan hal yang kuno (Antiqua), yakni ajaran Gereja Katolik Roma yang sudah berusia lebih dari dua ribu tahun.

Beberapa Tanggapan

Setelah membaca dokumen Antiqua et Nova, ada empat hal yang kiranya perlu diperhatikan. Pertama, dokumen ini amat relevan untuk kehidupan manusia di abad 21 ini. Sejauh saya tahu, ini adalah pernyataan resmi pertama dari kelompok agama terhadap perkembangan teknologi kecerdasan buatan. Isi dokumen ini sangat penting, dan ditulis dengan bahasa yang sangat indah, sehingga tidak hanya menyentuh akal budi manusia, tetapi juga perasaannya.

Dua, Paus Fransiskus berbicara dari sudut pandang teologi Gereja Katolik Roma. Di dalam teologi ini, Tuhan dipandang sebagai sesuatu yang terpisah dari diri manusia. Inilah yang saya sebut teologi eksternal. Teologi semacam ini membuat manusia cenderung menjadi tidak dewasa di dalam berpikir dan bertindak, karena terus melemparkan tanggung jawab serta memohon pertolongan ke Tuhan yang, dikiranya, berada di luar kesadarannya.

Tiga, dari sudut teori transformasi kesadaran yang saya kembangkan, kesadaran adalah kunci untuk kebahagiaan serta kebijaksanaan manusia. Kesadaran pula yang menuntun tindakan manusia di dalam kesehariannya. Dalam arti ini, kesadaran bisa dipahami sebagai sosok Ilahi yang menciptakan sekaligus merawat kenyataan. Dokumen Paus sama sekali tidak berbicara soal transformasi kesadaran manusia, sehingga cenderung mudah terjatuh menjadi himbauan-himbauan indah moralis, tanpa langkah strategis yang terukur dan jelas.

Empat, teknologi bisa menciptakan keterasingan manusia. Manusia tidak menemukan rumah yang membuatnya nyaman di dunia yang begitu kering dan mekanistik. Begitu pula teologi eksternal yang menempatkan Tuhan lepas dari kesadaran sekaligus nurani manusia. Salah satu buah berbahaya keterasingan manusia adalah sikap egois antroposentrik, yang semata melihat kepentingan serta ukuran manusia sebagai pertimbangan, sambil melupakan mahluk hidup lain di dunia ciptaan.

Yang terpenting, kita harus menghargai upaya Gereja Katolik Roma untuk bersuara terkait perkembangan teknologi kecerdasan buatan. Seruan penghormatan kepada martabat manusia amatlah penting di jaman ini, terutama ketika keuntungan ekonomis dilihat sebagai ukuran utama kehidupan dan keberhasilan. Seruan Antiqua et Nova bukan hanya ditujukan untuk Umat Katolik semata, tetapi juga seruan untuk kita semua. Ia patut didengar, direnungkan dan diterapkan di dalam tata hidup bersama semua alam ciptaan.

Jangan ditunda lagi.

Dipublikasikan oleh

avatar Tidak diketahui

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Kesadaran, Agama dan Politik. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023), Zendemik (2024), Teori Politik Progresif Inklusif (2024), Kesadaran, Agama dan Politik (2024) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.