
Oleh Reza A.A Wattimena
Sejak kecil, saya diajar untuk menjadi manusia yang beriman pada ajaran tertentu. Sekolah dan guru mengajarkannya. Orang tua dan masyarakat mengajarkannya. Beriman seolah menjadi tanda, bahwa saya telah menjadi manusia yang baik.
Ini pandangan yang salah kaprah. Beriman berarti mempercayai sesuatu yang kita tak tahu. Beriman juga berarti mempercayai sesuatu yang masih “misteri”. Pada titik terjauh, beriman berarti mempercayai omong kosong, atau delusi yang diciptakan orang lain.
Sesat Beriman
Banyak juga yang beriman, karena terpaksa. Mereka takut akan tekanan dan hukuman sosial, jika tak beriman. Mereka takut akan hukuman neraka khayalan. Mereka juga tergiur oleh hadiah surga khayalan.
Khayalan-khayalan semacam ini amatlah berbahaya. Orang kehilangan akal sehat dan kejernihan nuraninya. Orang tidak memiliki kesempatan untuk belajar kebijaksanaan yang sejati. Karena khayalan sesat semacam ini, orang juga terus diperas secara ekonomi, dan bahkan bersedia membunuh orang lain.
Di berbagai konteks, khayalan-khayalan semacam ini juga menjadi pembenaran untuk kebodohan. Orang bersembunyi di balik kutipan ayat dan ajaran-ajaran usang. Penindasan dan perbudakan dalam segala bentuknya seolah diperbolehkan. Kekerasan seolah menjadi suci, karena dibalut khayalan-khayalan hidup beriman.
Tak jarang juga, di dalam sejarah manusia, perang berkobar, karena memperjuangkan iman. Darah manusia lain, dengan iman yang lain, seolah tak bernilai. Nyawa dipangkas demi kesetiaan pada iman khayal belaka. Bahkan, sampai abad 21 ini, begitu banyak orang yang siap mati di medan perang demi membela imannya.
Berhenti Beriman
Maka, kita perlu berhenti beriman. Kita perlu mengetahui dan mengalami kebenaran langsung. Dengan pengetahuan dan pengalaman nyata, kita tak lagi harus percaya. Kita berhenti mempercayai kebenaran, dan mulai mengalaminya di dalam hidup.
Kita menyentuh “Yang Tak Terbatas”. Kita tenggelam di dalamnya. Konsep dan bahasa runtuh di hadapan pengalaman langsung. Di titik ini, kita tidak lagi memerlukan iman terhadap ajaran apapun.
Kebenaran akan membebaskanmu. Begitulah bunyi pepatah lama yang selalu tepat. Beriman secara buta akan memenjarakan kita di dalam kebodohan dan penindasan. Sudah saatnya, kita berhenti beriman.
Bagaimana cara mengalami kebenaran secara langsung, dan berhenti beriman? Kita kembali ke keadaan batin sebelum pikiran muncul. Ini adalah keadaan batin sebelum konsep dan bahasa muncul. Ada keterbukaan penuh terhadap pengalaman hidup disini dan saat ini.
Kita lalu menjadi kesadaran yang kosong dan tak terbatas. Semua diketahui dan dialami secara langsung, tanpa konsep-konsep yang menganggu. Kebenaran menjadi nyata dan hidup. Bersama dengan persentuhan dengan kebenaran ini, segala bentuk kebingungan, kebencian, kekerasan dan kebodohan pun lenyap…