Yesus Sang Filsuf

Oleh Dhimas Anugrah (Ketua Circles Indonesia. Komunitas pembelajar di bidang budaya, filsafat, dan sains)

Ketika nama Yesus Kristus terlintas di benak Anda, apa yang muncul pertama kali? Mungkin, seperti banyak orang, Anda membayangkan sosok religius—seorang pemimpin spiritual, Juruselamat yang membawa harapan bagi umat manusia. Tapi, bagaimana jika kita berhenti sejenak dan bertanya: Apakah Yesus juga seorang filsuf besar yang menawarkan makna terdalam dari eksistensi manusia?

Kalau kita melihat daftar filsuf Yunani Kuno seperti Sokrates, Platon, dan Aristoteles, nama Yesus memang tidak ada di sana. Namun, ajarannya membawa sesuatu yang berbeda: cinta, pengampunan, dan keadilan yang seolah berbicara lintas batas zaman dan tempat. Ajaran-ajaran ini menjadi landasan penting dalam pembentukan nilai-nilai kemanusiaan di dunia modern. Tapi tentu saja, tidak semua orang sepakat. Bagi sebagian pihak, ajaran Yesus terkadang dianggap terlalu ideal, jauh dari kenyataan dunia yang keras dan penuh persaingan.

Filsafat Moral Yesus dan Tanggapan Filsafat

Pesan Yesus tentang “kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Matius 5:44) adalah salah satu pernyataan paling radikal dalam sejarah pemikiran moral. Di dunia yang kerap diatur oleh hukum pembalasan setimpal (lex talionis), ajaran ini mengubah paradigma moral yang sudah mendarah daging.

Respons terhadap ajaran ini datang dari berbagai filsuf besar. Immanuel Kant, misalnya, melihat ajaran Yesus sebagai manifestasi dari “imperatif kategoris”—kewajiban moral universal yang menuntut manusia bertindak melampaui emosi pribadi demi menghormati martabat sesama. Menurut Kant, mengasihi musuh adalah ekspresi dari keadilan sejati, di mana semua manusia layak dihargai setara, terlepas dari perbuatan buruk mereka.

Namun, filsuf seperti Friedrich Nietzsche menyampaikan kritik keras. Dalam “On the Genealogy of Morality,” ia menyebut moralitas kasih universal Yesus sebagai “moralitas budak,” yang lahir dari rasa dendam kaum lemah terhadap kekuatan dan kemuliaan manusia yang lebih besar. Nietzsche berpendapat, ajaran kasih kepada musuh menekan potensi manusia untuk menjadi kuat dan kreatif. Baginya, manusia yang sehat spiritualnya harus berani mengafirmasi kekuatannya dan menciptakan nilai-nilainya sendiri, bukan tunduk pada moralitas yang mengagungkan pengorbanan diri.

Di sisi lain, Hannah Arendt memberikan pandangan lebih seimbang. Ia menilai ajaran Yesus tentang pengampunan sebagai langkah yang sangat diperlukan demi mengatasi siklus balas dendam dalam politik. Dalam “The Human Condition,” Arendt menjelaskan bahwa pengampunan adalah tindakan kreatif yang memungkinkan masa depan baru lahir, bebas dari determinisme sejarah. Bagi Arendt, pengampunan adalah bentuk kebebasan yang membebaskan manusia dari beban kesalahan masa lalu. Dengan demikian, ajaran Yesus tentang kasih dan pengampunan tidak hanya menjadi prinsip moral pribadi, tetapi juga memiliki implikasi sosial yang luas. Namun, bagaimana ajaran ini berhubungan dengan etika kebajikan yang diajarkan oleh filsuf lain?

Yesus dan Etika Kebajikan dalam Perspektif Lain

Para filsuf Yunani Kuno, terutama Aristoteles, menekankan pentingnya “Etika Kebajikan.” Menurutnya, karakter moral ideal terbentuk melalui kebiasaan, pendidikan, dan refleksi mendalam. Keutamaan (arete) seperti keberanian, keadilan, dan kebijaksanaan adalah jalan menuju “eudaimonia,” atau kebahagiaan yang sempurna—kehidupan yang berkelimpahan dalam kebaikan dan harmoni.

Di sisi lain, ajaran Yesus memperkenalkan pendekatan moral yang lebih radikal. Ketika Yesus berkata, “Jika seseorang menampar pipi kananmu, berikan juga pipi kirimu” (Matius 5:39), ia tidak mengajarkan kelemahan, tetapi menantang naluri manusia yang cenderung membalas kekerasan dengan kekerasan. Yesus menawarkan kekuatan batin dalam menahan emosi—kekuatan yang mampu menghentikan siklus kekerasan melalui pengendalian diri, kasih, dan pengampunan.

Tokoh-tokoh besar seperti Mahatma Gandhi dan Martin Luther King Jr. adalah contoh dari penerapan prinsip ini. Gandhi, yang terinspirasi oleh ajaran cinta kasih Yesus, mengembangkan konsep “ahimsa” (tanpa kekerasan) dalam perlawanan damainya terhadap kolonialisme Inggris. Di Amerika Serikat, King memimpin gerakan hak-hak sipil bagi kaum Afrika-Amerika dengan strategi non-kekerasan. Ia sering mengutip ajaran Yesus dalam pidato-pidatonya, menyerukan agar kekerasan dan diskriminasi tidak dilawan dengan balas dendam, tetapi dengan cinta yang dapat mengubah hati musuh.

Namun, di balik keberhasilan tersebut, kritik tajam muncul dari Friedrich Nietzsche dan Bertrand Russell, yang mempertanyakan efektivitas dan dampak jangka panjang dari ajaran kasih universal Yesus dalam tatanan sosial. Nietzsche, seperti sempat disebut di awal tadi, melihat moralitas yang diajarkan oleh Yesus, terutama cinta tanpa syarat dan pengampunan, sebagai manifestasi dari “ressentiment“—rasa dendam tersembunyi dari kaum lemah terhadap mereka yang kuat. Nietzsche berpendapat, moralitas ini bukan lahir dari kekuatan atau keberanian, melainkan dari ketidakmampuan orang-orang yang tertindas untuk menghadapi kenyataan kekuasaan dan kekerasan.

Menurut Nietzsche, ajaran seperti “kasihilah musuhmu” tidak memotivasi manusia untuk berkembang, melainkan mendorong manusia menerima kelemahan sebagai suatu kebajikan. Moralitas kasih Yesus, menurutnya, mengubah nilai-nilai kekuatan, dominasi, dan keberhasilan menjadi “jahat,” sementara kelemahan, kerendahan hati, dan pengorbanan dipandang sebagai “baik.” Nietzsche menyebut hal ini sebagai “moralitas budak”—moralitas yang membatasi vitalitas manusia dan menolak hasrat berkuasa (will to power), yaitu dorongan alami manusia untuk menciptakan, bertindak, dan mengatasi rintangan.

Nietzsche juga mengkritik bahwa ajaran kasih tanpa syarat tidak sesuai dengan sifat manusia yang kompetitif dan dinamis. Baginya, konflik adalah bagian tak terelakkan dari kehidupan, dan melalui konflik itulah manusia bisa mencapai kekuatan tertinggi dan pencapaian besar. Oleh karena itu, ajaran moral yang menolak kekerasan dianggap mengingkari realitas hidup itu sendiri. Nietzsche tidak sekadar menolak moralitas Yesus, tetapi juga menawarkan alternatif. Ia menyerukan manusia agar melampaui moralitas tradisional dan menciptakan nilai-nilai baru yang berdasarkan afirmasi terhadap kehidupan, keberanian, dan kekuatan. Dalam konsep “Übermensch” (manusia unggul), Nietzsche membayangkan manusia yang mampu mengatasi moralitas konvensional, termasuk moralitas berbasis pengorbanan diri, dengan cara menciptakan jalan hidupnya sendiri.

Übermensch” bukanlah sosok yang menggunakan kekerasan tanpa aturan, tetapi individu yang bebas, kreatif, dan bertanggung jawab atas nilai-nilai yang ia jalani. Nietzsche menganggap manusia sejati tidak akan tunduk pada nilai-nilai kolektif yang membatasi potensi besar dalam dirinya. Dengan demikian, dalam dunia sekuler, moralitas ideal menurut Nietzsche adalah moralitas yang membangun keberanian, kreativitas, dan kekuatan batin tanpa merasa bersalah karena mengejar tujuan hidup yang tinggi.

Yesus dan Filosofi Cinta-Nya

Russell, dalam kritiknya terhadap ajaran kasih tanpa syarat, memberikan pandangan bahwa prinsip-prinsip moral yang diajarkan dalam beberapa doktrin agama, seperti “mengasihi musuh” dan “mengampuni tanpa syarat,” memiliki keterbatasan serius ketika diterapkan dalam masyarakat yang kompleks dan pluralistik. Dalam esainya “Why I Am Not a Christian,” ia menunjukkan bahwa penerapan literal dari prinsip-prinsip ini tidak kompatibel dengan kebutuhan akan hukum dan keadilan sosial.

Menurut filsuf Inggris itu, hukum bertugas melindungi keteraturan sosial dan menjamin keadilan melalui pemberian konsekuensi yang adil bagi setiap pelanggaran. Jika pelaku kejahatan dibiarkan tanpa konsekuensi dengan dalih kasih atau pengampunan tanpa syarat, masyarakat akan menghadapi risiko meningkatnya pelanggaran hukum. Tanpa mekanisme hukuman yang rasional, hukum kehilangan efektivitasnya dalam menghalangi tindakan-tindakan yang berbahaya bagi kesejahteraan umum.

Russell berpendapat, moralitas yang hanya berlandaskan kasih tanpa syarat dapat menyebabkan disfungsi sosial, karena mengabaikan kebutuhan akan rasa keadilan. Dalam pandangannya, moralitas harus lebih pragmatis dan mempertimbangkan dampaknya terhadap kesejahteraan sosial secara keseluruhan. Di sinilah Russell tampak lebih memilih pendekatan utilitarianisme, sebuah pandangan etika yang menilai moralitas suatu tindakan berdasarkan seberapa besar tindakan tersebut menghasilkan manfaat atau kebahagiaan bagi jumlah orang terbanyak.

Sebagai pendukung rasionalitas dalam moralitas, Russell menegaskan pentingnya adanya keseimbangan antara hak-hak individu dan kewajiban sosial. Sebuah masyarakat yang sehat, menurutnya, tidak dapat bergantung sepenuhnya pada nilai-nilai sentimental, seperti cinta dan pengampunan, tetapi membutuhkan struktur rasional yang memberikan keadilan kepada semua pihak. Pandangan ini menekankan, meskipun nilai-nilai etis seperti empati dan pengampunan memiliki peran penting dalam hubungan antarindividu, dalam konteks sosial yang lebih luas, keadilan dan penegakan hukum harus tetap dijalankan secara objektif untuk menjaga stabilitas sosial.

Kritik yang dilontarkan oleh Nietzsche dan Russell terhadap ajaran kasih tanpa syarat memang didasarkan pada kekhawatiran bahwa norma-norma tersebut sulit diterapkan secara realistis dalam masyarakat yang kompleks. Namun, argumen dari pemikir modern seperti Steven Pinker menunjukkan, bahwa meskipun kritik ini relevan dalam konteks tertentu, prinsip-prinsip seperti kasih dan pengampunan tetap memiliki signifikansi dalam perkembangan moral masyarakat manusia, bahkan dalam dunia sekuler.

Dalam bukunya “The Better Angels of Our Nature,” Pinker berpendapat, bahwa kekerasan antarmanusia telah menurun secara signifikan selama beberapa abad terakhir. Ia menghubungkan penurunan ini dengan berkembangnya norma-norma moral yang berakar pada empati, kerja sama, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Menurutnya, nilai-nilai ini tidak bergantung pada doktrin agama tertentu, melainkan muncul sebagai bagian dari evolusi sosial dan budaya manusia. Manusia, sebagai makhluk sosial, belajar untuk mengadopsi strategi-strategi perilaku yang meminimalkan konflik dan memperkuat solidaritas sosial.

Pendekatan Pinker ini berlandaskan pada konsep, bahwa norma moral tidak hanya dibentuk oleh otoritas keagamaan, tetapi juga dapat dijelaskan melalui proses rasional dan ilmiah. Evolusi moral manusia, menurutnya, melibatkan pengakuan akan tindakan-tindakan yang mencerminkan cinta dan pengampunan cenderung mendorong stabilitas dan harmoni dalam masyarakat. Hal ini memperlihatkan bahwa meskipun ajaran seperti “mengasihi musuh” tampak utopis dalam pandangan Nietzsche dan Russell, prinsip tersebut bisa memiliki efektivitas praktis, jika dipahami dalam kerangka kerja sosial yang lebih luas, seperti membangun kepercayaan antarkomunitas dan mengurangi siklus balas dendam.

Prinsip-prinsip ini juga mendapat dukungan dari teori-teori psikologi sosial yang menyoroti peran empati dalam membangun hubungan yang sehat dan mengurangi kecenderungan kekerasan. Dengan mendorong sikap saling memahami dan memaafkan, norma-norma ini menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi kerja sama sosial. Bahkan di dalam konteks sekuler, nilai-nilai ini dapat diterapkan melalui kebijakan-kebijakan yang menitikberatkan pada keadilan restoratif, mediasi konflik, dan pendidikan moral yang berbasis pada hak asasi manusia.

Dengan demikian, meskipun Russell dan Nietzsche punya argumen yang tidak rapuh dalam menyoroti risiko kelemahan prinsip kasih tanpa syarat dalam konteks hukum dan keadilan, pemikir modern seperti Pinker memberikan perspektif yang menunjukkan, bahwa kasih dan pengampunan memiliki peran penting dalam membangun masyarakat yang damai dan stabil. Hal ini menegaskan: norma-norma moral yang awalnya bersumber dari tradisi keagamaan dapat tetap relevan dalam dunia modern sebagai pilar bagi harmoni sosial dan kemajuan manusia.

Kerajaan Allah: Visi Masyarakat Ideal

Selain tanggapan teoretis dari para filsuf, ajaran Yesus juga telah memotivasi berbagai gerakan sosial di banyak wilayah dunia. Albert Schweitzer dalam  “The Quest of the Historical Jesus” dan Walter Rauschenbusch dalam “Christianity and the Social Crisis” menegaskan, bahwa inti pengajaran Yesus terletak pada konsep “Kerajaan Allah”—sebuah tatanan dunia yang berlandaskan keadilan, cinta, dan perdamaian. Bagi kalangan religius, konsep ini kerap dipahami sebagai janji transendental yang akan diwujudkan oleh Tuhan. Ini sejalan dengan pandangan Rudolf Bultmann dalam “Jesus and the Word” serta Hans Küng dalam “On Being a Christian.” Di sisi lain, dalam perspektif filsafat sekuler, “Kerajaan Allah” lebih dipandang sebagai simbol dari cita-cita sosial yang berorientasi pada keadilan dan kemanusiaan.

Karl Marx melihat potensi revolusioner dalam ajaran Yesus, meskipun ia mengkritik agama sebagai “candu masyarakat.” Dalam buku “The Communist Manifesto” yang ia tulis bersama Friedrich Engels, Marx menyerukan akan sebuah masyarakat tanpa kelas, di mana eksploitasi manusia dihapuskan. Tujuan ini, meskipun berbeda metode, memiliki kesamaan dengan visi Yesus tentang keadilan bagi semua orang, terutama kaum tertindas.

Pendekatan yang lebih rasional datang dari John Rawls. Dalam “A Theory of Justice,” Rawls merumuskan prinsip keadilan sosial melalui konsep “veil of ignorance.” Ia menyatakan, keadilan perlu diukur dari bagaimana sebuah sistem memperlakukan individu yang paling lemah. Nilai ini mencerminkan ajaran Yesus tentang perhatian kepada mereka yang termarjinalkan—”yang terakhir akan menjadi yang pertama” (Matius 20:16).

Namun, konsep cinta, pengampunan, dan perdamaian yang diajarkan Yesus tidak terlepas dari kritik tajam. Lagi-lagi oleh Nietzsche. Ia menilai, ajaran ini adalah bentuk “ressentiment,” yaitu dendam kaum lemah yang merasa tak mampu bersaing dalam dunia yang menuntut kekuatan dan keberanian. Filsuf Jerman itu berpendapat, upaya menciptakan dunia tanpa konflik justru menekan kekuatan kreatif manusia dan bertentangan dengan realitas dasar kehidupan yang penuh dengan persaingan, tantangan, dan pertumbuhan melalui penderitaan. Baginya, moralitas yang lahir dari pengampunan dan kasih cenderung melanggengkan sikap penundukan diri dan menghalangi individu dari pencapaian potensi tertingginya.

Meskipun demikian, dialektika antara pandangan para filsuf dan ajaran Yesus ini memperkaya wacana tentang moralitas dan kehidupan manusia. Realitas menunjukkan bahwa nilai-nilai seperti kasih dan keadilan sosial, yang sering dianggap sebagai “utopis,” telah mengilhami gerakan-gerakan besar yang membawa perubahan sosial signifikan. Selain Gandhi dan Dr.  King, prinsip-prinsip ini juga memengaruhi kebijakan publik di negara-negara Skandinavia, yang mengutamakan kesejahteraan dan kesetaraan sosial, menunjukkan bahwa visi ini tidak sekadar fantasi, tetapi dapat diwujudkan dalam kehidupan nyata.

Filsuf yang Mengajak Kita Melampaui Diri

Yesus Kristus bukan sekadar seorang guru moral yang mengajarkan etika luhur, melainkan seorang Filsuf Agung yang berbeda karena Dia dengan berani mengklaim sebagai Tuhan. Ajaran-Nya tentang cinta, pengampunan, dan keadilan sosial tetap menjadi salah satu tantangan etis terbesar dalam sejarah pemikiran manusia. Putra Maria itu tidak hanya mengajarkan moralitas yang indah, tetapi menyerukan transformasi batin yang mendalam, membebaskan manusia dari naluri dasar seperti dendam, egoisme, dan kekerasan. Dalam dunia yang penuh konflik dan ketidakadilan, ajakan-Nya untuk mengasihi musuh dan mengampuni tanpa syarat merupakan tantangan besar, tetapi juga menjadi sumber harapan akan perdamaian sejati.

Dalam konteks ini, ajaran Yesus memberikan inspirasi yang lebih dari sekadar ideal spiritual—ajaran itu menawarkan paradigma untuk suatu tindakan nyata. Sejarah pun mencatat bagaimana nilai-nilai ini mewujud dalam gerakan sosial besar. Gandhi dan Dr. King menjadi teladan hidup bagaimana kasih dan pengampunan dapat menjadi strategi perlawanan nir-kekerasan, sebuah jalan yang menolak balas dendam, tetapi tetap teguh menuntut keadilan dan perubahan bagi mereka yang tertindas. Sejarah menunjukkan, ajaran Yesus memiliki daya transformasi yang luar biasa. Gerakan-gerakan sosial nir-kekerasan yang dipimpin oleh Gandhi dan Dr. King adalah bukti nyata bagaimana ajaran tentang cinta dan pengampunan dapat menjadi kekuatan yang efektif dalam melawan ketidakadilan. Mereka menolak kekerasan, tapi dengan penuh keberanian moral tetap menuntut keadilan dan perubahan sosial.

Prinsip-prinsip ini juga memiliki relevansi dalam kehidupan sehari-hari. Setiap orang memiliki kesempatan melampaui dirinya sendiri melalui tindakan-tindakan kecil tapi penuh makna—memaafkan kesalahan, membantu sesama tanpa pamrih, atau menahan diri dari membalas dendam. Dalam dunia yang sering diwarnai oleh konflik interpersonal dan prasangka, tindakan-tindakan ini menciptakan ruang bagi perbaikan hubungan dan harmoni sosial. Pada skala yang lebih besar, ajaran Yesus menantang kita untuk membangun sistem sosial yang lebih adil—sistem yang tidak hanya mengandalkan hukuman dan pembalasan, tetapi juga menawarkan peluang rekonsiliasi dan pemulihan. Ini adalah tugas besar yang membutuhkan keberanian moral luar biasa. Namun, sejarah membuktikan bahwa perubahan menuju dunia yang lebih adil bukanlah mimpi utopis yang tidak mungkin dicapai.

Dengan demikian, ajaran Yesus menantang kita melampaui diri—melewati batas-batas egoisme, prasangka, dan kekerasan. Seperti yang telah diuraikan oleh para filsuf, perjalanan ini adalah aspirasi kolektif yang terus perlu kita perjuangkan bersama. Dalam menghadapi realitas dunia yang penuh tantangan, tugas tersebut menjadi semakin penting: menciptakan sebuah dunia di mana cinta, keadilan, dan pengampunan dapat benar-benar berakar dan berbuah. Lebih dari sekadar filsuf moral, Yesus menunjukkan jalan filosofis menuju kehidupan yang penuh cinta, dengan pengakuan luar biasa bahwa Dia adalah Sang Sumber dari cinta dan keadilan itu sendiri.

Dipublikasikan oleh

avatar Tidak diketahui

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Kesadaran, Agama dan Politik. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023), Zendemik (2024), Teori Politik Progresif Inklusif (2024), Kesadaran, Agama dan Politik (2024) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.