Oleh Reza A.A Wattimena
Kurang lebih lima belas tahun, saya menjadi dosen. Saya mengajar di berbagai universitas. Saya melakukan begitu banyak penelitian ilmiah, terutama di bidang filsafat politik, filsafat pendidikan dan filsafat kesadaran. Sebagian besar sudah diterbitkan di berbagai media.
Namun, saya merasa, itu semua sia-sia. Penelitian ilmiah yang begitu banyak kini menjadi bagian dari data universitas, maupun pemerintah. Para pengambil kebijakan yang berpengaruh pada hidup jutaan orang tak pernah menyentuhnya. Penelitian saya seolah menjadi onani intelektual, tanpa buah nyata.
Kemiskinan tetap mewabah di Indonesia. Lebih dari 50% warga Indonesia hidup dalam kemiskinan. Saya menggunakan data tingkat kemiskinan yang diacu secara internasional. Politik semakin kacau, karena diisi beragam bentuk kebohongan serta kemunafikan.
Ketika lebih dari setengah warga Indonesia dicekik kemiskinan, yang kaya justru semakin kaya. Mereka bermain curang di dalam profesi mereka. Korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi makanan keseharian. Di tengah hamparan pemukiman kumuh, mereka bermewah-mewah di atas darah dan air mata bangsa.
Berjuta penelitian dilakukan. Berjuta saran baik diberikan. Berjuta rekomendasi strategis kebijakan yang mengacu pada keadilan sosial diabaikan. Semua seolah menjadi sia-sia belaka, karena jatuh di telinga pemerintah yang bodoh dan bebal.
Inilah pemerintah yang memeluk ideologi bebalisme. Dalam arti ini, sikap bebal adalah sikap keras kepala, menolak nasihat-nasihat baik dan sulit menerima apa yang adil dan benar untuk semua. Ada kebutaan epistemologis di dalam kebebalan. Ketika bebalisme menjadi ideologi resmi bangsa, kemiskinan dan kebodohan adalah buah yang kita petik bersama.
Lima hal menjadi penting diperhatikan. Pertama, orang bebal adalah orang dengan kesadaran dualistik-distingtif yang sangat kuat (Lihat Teori Transformasi Kesadaran: Kesadaran, Agama dan Politik). Ia menutup telinga dari sudut pandang yang berbeda. Ia terjebak di dalam tingkat kesadaran yang sangat rendah, yang berbuah penderitaan, baik bagi dirinya, maupun bagi mahluk hidup lainnya.
Politik bebalisme juga adalah politik dengan tingkat kesadaran sangat rendah. Politik hanya menjadi alat untuk mencuri dan memperkaya diri. Manusia lain dikorbankan, dan dibiarkan hidup dalam kemiskinan serta kebodohan. Di dalam politik bebalisme ala pemerintah Indonesia, penderitaan adalah buah yang dipetik bersama.
Dua, mental bebal ini rupanya dekat dengan agama kematian. Akal sehat dibunuh atas nama kepatuhan pada ajaran tua yang sudah tak relevan. Nurani menjadi tumpul, karena dihantui ketakutan akan surga dan neraka. Karena meredupnya akal sehat dan nurani, sikap bebal lalu lahir, serta menguasai pemerintah yang semakin bebalistik.
Tiga, di dalam bidang politik, buah dari tingkat kesadaran rendah yang bersifat dualistik-distingtif adalah sikap konservatif tertutup. Pola-pola lama dipuja layaknya Tuhan yang tak dapat salah. Perbedaan budaya dan cara pandang dianggap masalah yang mesti dilenyapkan. Mental konservatif eksklusif inilah yang menciptakan serta melestarikan sikap bebal.
Empat, Martin Heidegger, pemikir Jerman, punya konsep bagus untuk ini, yakni ketidakberpikiran (Gedankenlosigkeit). Inilah ciri peradaban modern, katanya. Manusia hanya mampu berpikir teknis untuk mengembangkan hidup, supaya lebih mudah. Namun, pemikiran yang lebih mendalam tentang kehidupan tidak berkembang, dan cenderung untuk ditakuti.
Sikap bebal sungguh terlihat di dalam pola berpikir teknis semacam ini. Berbagai cara dilakukan untuk mempertahankan pola-pola lama yang korup dan merusak. Pemikiran kritis yang lebih mendalam dan merangsang perubahan cenderung dihindari, bahkan dimusnahkan, bila ia muncul. Agama kematian yang membunuh akal sehat serta nurani manusia berperan besar di dalam proses pembunuhan pemikiran kritis dan mendalam ini.
Lima, politik bebalisme berkembang pesat dan lestari di dalam masyarakat feodal. Inilah masyarakat yang disusun berdasarkan hirarki yang tak masuk akal. Darah dan kekayaan menjadi ukuran manusia. Semakin kaya seseorang, dan semakin ia dekat dengan penguasa-penguasa lama yang korup, semakin ia merasa tinggi, serta merasa berhak untuk menindas manusia serta semua mahluk lainnya. Masyarakat feodal hidup subur berdampingan dan politik bebalisme.
Apa yang bisa dilakukan? Kita perlu menyadari kelima hal di atas, dan mengubahnya. Transformasi kesadaran harus dilakukan. Agama kematian dari tanah gersang harus dilepaskan.
Politik yang bersifat progresif dan inklusif harus diciptakan. Pemikiran kritis dan mendalam tentang kehidupan harus dikembangkan. Dan budaya feodal harus sungguh dilampaui, serta dibasmi sampai ke akar. Dengan semua hal ini, kita bisa memerangi sampai habis politik bebalisme yang kini amat kuat menerkam politik kita.
