
Oleh Reza A.A Wattimena
Apakah anda punya kepala? Sekilas, ini seperti pertanyaan bodoh. Sudah jelas, saya punya kepala. Apakah anda sungguh yakin?
Apakah anda pernah melihat kepala anda sendiri? Tentu saja tidak. Kita pernah melihat cermin yang seolah menampilkan kepala kita. Tetapi, kita tidak pernah secara langsung melihat kepala kita sendiri. Yang kita lihat hanya cermin, dan kepala orang lain.
Bukankah kita bisa menyentuh kepala kita sendiri? Kita menyentuh sesuatu. Tetapi, apakah yakin, bahwa kita sungguh menyentuh kepala kita sendiri? Tak ada kepastian mutlak disini.
Pola pikir ini dikembangkan oleh Douglas Harding. Ia menulis buku yang menarik. Judulnya On Having No Head: Zen and the Rediscovery of the Obvious. Buku kecil ini merupakan upaya untuk memahami inti dari batin manusia (nature of mind).
Eksperimennya sederhana. Ketika kita mengalami sesuatu, coba sadari, bahwa kita tidak memiliki kepala. Ketika merasakan atau berpikir sesuatu, coba sadari betul, bahwa tidak ada kepala di tubuh kita. Apa yang kemudian terjadi?
Kepala, dalam konteks ini, tidak hanya diartikan secara biologis. Kepala adalah simbol untuk pikiran dualistik. Dengan pikiran ini, kita melakukan analisis di dunia. Pikiran dualistik amat berguna, supaya manusia terhindari dari bahaya, dan mampu bertahan hidup.
Pikiran dualistik membantu kita menata ekonomi. Kita bisa meraih untung di dalam bisnis, ataupun pekerjaan. Kita bisa membedakan, apa yang aman untuk diri, dan apa yang berbahaya. Pikiran dualistik analitik ini disimbolkan dalam konsep “kepala”.
Apa yang terjadi, ketika kita menyadari, bahwa kita tidak sungguh memiliki kepala? Pikiran dualistik analitik berhenti. Konsep dan bahasa tertunda. Yang ada hanyalah persepsi murni tentang dunia sebagaimana adanya.
Setelah pikiran dualistik analistik tertunda, apa yang tersisa? Tidak ada kata yang bisa menggambarkannya, karena kata juga adalah bentuk pikiran dualistik tersebut. Namun, sebuah konsep kiranya diperlukan untuk penjelasan. Di dalam tradisi Asia, titik sebelum pikiran ini disebut juga kesadaran murni.
Kesadaran murni memiliki tiga ciri unik. Pertama, ia sepenuhnya bebas dari segala bentuk konsep dan bahasa. Justru, konsep dan bahasa adalah ekspresi sementara dari kesadaran murni tersebut. Dalam arti ini, kesadaran murni bersifat sepenuhnya kosong.
Dua, kesadaran murni tak mengenal batas. Segalanya adalah bagian dari kesadaran murni. Batas dan sekat hanyalah ciptaan pikiran yang bersifat semu. Kesadaran murni yang kosong mampu menampung semua jenis pengalaman manusia, mulai dari bahagia sampai derita.
Tiga, kesadaran murni berada di luar waktu. Ia tidak pernah lahir, dan tidak akan mati. Waktu dan ruang adalah ciptaan pikiran manusia. Sebelum pikiran, yang ada adalah kesadaran murni yang abadi, karena tak tersentuh oleh konsep waktu dan ruang.
Kesadaran murni adalah jati diri kita yang sebenarnya. Kita bukanlah kepribadian dengan nama dan beragam identitas sosial lainnya. Kita juga bukanlah pikiran maupun perasaan yang datang dan pergi. Bahkan, tak berlebihan dikatakan, bahwa tujuan hidup manusia adalah menemukan jati diri sejatinya yang bersifat kosong, abadi dan tak terbatas.
Ada bahaya menyelinap disini. Kita suka membuat konsep berlebihan tentang kesadaran murni ini, sampai justru kehilangan intinya. Beberapa tradisi menyebutnya sebagai Tuhan, Dewa atau Buddha. Ini berbahaya, karena orang lalu memuja konsep, dan justru semakin jauh dari kesadaran murni sebagai jati diri aslinya.
Agama cenderung mengalami ini. Karena teologi yang berlebihan, mereka membuat konsep yang berlebihan tentang kesadaran murni. Pengikut agama itu pun tersesat, dan justru hidup dalam derita serta berkonflik satu sama lain. Indonesia sudah kenyang dengan pengalaman semacam ini.
Menjadi tanpa kepala berarti mengalami dunia tanpa konsep dan bahasa. Pengalaman pun tidak dinamai. Kita hanya mengalaminya dari saat ke saat. Mengetahui ini tidaklah cukup. Kita mesti terbiasa berada di dalam kesadaran murni yang mengalami segalanya tanpa kerangka konsep dan bahasa.
Jadi, dimana kepalamu?