Berkelana di Rimba Lelaki

unnamed

Lima Tipe Cowok Ideal di Aplikasi Kencan Berdasarkan Foto dan Wicaranya

Oleh Gilang Desti Parahita, Feminis Postrukturalis, Peneliti Doktoral di Culture, Media, and Creative Industries (CMCI), King’s College London.

Foto-foto yang diunggah pengguna di aplikasi kencan adalah seperti etalase pribadi— untuk memamerkan versi terbaik diri mereka, yang diukur berdasarkan standar ideal gender. Judith Butler, filsuf edgy dari Amerika Serikat, pernah bilang, bahwa kita semua sedang main role-playing game tanpa sadar. Kita terus berusaha “jadi cowok ideal” atau “cewek sempurna.” Ada aturan tidak tertulis soal bagaimana harus tampil, berbicara, bertingkah laku, sampai menjalankan peran sosial, supaya terlihat pas dengan kotak gender. Gender yang, kalau kata Trump dan agama-agama Abrahamik, cuma ada dua. Tapi, plot twist: nobody wins. Standar itu seperti game level tak berujung. Alasan idealita gender mustahil dicapai berjumlah lebih banyak daripada match swipe-kananku.

Kadang, kita coba berdamai dengan ketidaksempurnaan itu, sambil tetap membela diri. “Aku cewek, tapi aku nggak suka menye-menye.” Atau temanku bilang, “Cowok ini udah mapan, tapi ngomongnya bawel kayak tante-tante.” Bahkan tanpa kita sadari, usaha mencapai gender ideal itu juga terpampang jelas lewat foto.

Sebagai pengguna aplikasi kencan, saya sering memperhatikan foto-foto laki-laki yang muncul di algoritma swipe kanan atau kiri saya. Mungkin saya punya imaji cowok ideal versi saya sendiri, sehingga apa yang saya lihat di aplikasi itu sering kali terasa jauh dari bayangan tersebut. Di sisi lain, saya juga memikirkan bagaimana menampilkan diri terbaik saya—dengan strategi matang. Biasanya, foto full body di tempat wisata outdoor adalah andalan. Kalau indoor, fotonya harus punya vibe aktif, misalnya sedang nge-gym. Ada juga close-up, karena penting menampilkan wajah dengan dan tanpa makeup. Semuanya harus terlihat jelas, terang, angle sempurna, dan postur saya terlihat baik. Saya pikir foto-foto itu cukup menggambarkan sisi feminin saya. Bahkan, saya memilih menggunakan nama tengah yang lebih manis, ketimbang nama depan saya yang terdengar maskulin.

Menariknya, foto-foto itu sebenarnya tidak saya buat khusus untuk aplikasi kencan. Itu adalah gambaran kehidupan saya sehari-hari—atau setidaknya, kehidupan yang ingin saya perlihatkan. Saya juga upload foto-foto itu di medsos. Tapi, bagaimana dengan foto-foto laki-laki yang muncul di aplikasi kencan? Nah, ini dia yang umumnya mereka tampilkan, yang menunjukkan versi “standar laki-laki ideal” menurut mereka masing-masing.

1661327925285

Cowok Misterius dan Romantis (dengan Diri Sendiri)

Tipe cowok ini punya vibe ala pujangga yang hanya ingin dipahami oleh alam semesta—bukan manusia biasa seperti kita. Wajah mereka? Jarang terlihat. Kalau pun muncul, biasanya buram atau tertutup HP saat selfie. Koleksi fotonya terasa seperti katalog estetika: gelas kopi, sudut rumah, meja kerja dengan laptop menyala, kamera profesional, asbak rokok, daun tanaman yang berembun, hewan peliharaan (biasanya kucing), pemandangan pegunungan, motor, atau mobil. Kadang-kadang, ada juga foto mereka sendiri, tapi mengenakan masker atau berdiri membelakangi kamera, menghadap laut saat matahari terbenam.

Saya jujur nggak paham dengan estetika foto-foto ini. Terlalu berat untuk saya, yang lulusan ilmu komunikasi, untuk mendekode pesan di baliknya. Apa maksudnya? Apakah ini bentuk kontemplasi? Atau mereka sedang berjualan tanaman, kopi, atau kamera? Atau mungkin itu semua adalah simbol pencapaian hidup mereka?

Yang jelas, tipe ini membuat saya bingung. Alih-alih terlihat misterius, kadang saya justru merasa mereka sedang berbicara lebih banyak dengan benda-benda di sekitar mereka, daripada dengan calon match di aplikasi kencan. Atau mungkin, bagi mereka, keberadaan aesthetic vibes lebih penting daripada keberadaan mereka sendiri, apalagi user yang mau swipe. Apakah ini yang dimaksud dengan lelaki tak berbicara?

Cowok Perut Roti Sobek, tapi Lemah Akhlak

Di luar ekspektasi, ternyata ada cukup banyak pria 30-an ke atas yang berhasil lolos dari stereotype bapak-bapak buncit khas Indonesia. Mereka punya badan yang luar biasa fit—otot trisep, bisep, dan perut roti sobek dipajang seperti piala kemenangan. Biasanya, foto mereka di aplikasi kencan itu cuma dua jenis: pertama, close-up badan sambil olahraga; kedua, foto di gym dengan pose memegang mesin seolah mesin itu sahabat karibnya. Wajah? Kadang disembunyikan, mungkin biar aura misterius terjaga. Tapi kalau mereka ganteng, oh please, wajahnya langsung terpampang jelas di foto lain.

Lucunya, hampir nggak ada foto lain di luar aktivitas ngegym. Saya sering berpikir, cowok ideal zaman sekarang nggak harus ganteng, yang penting dia punya arah yang jelas dalam hidup untuk menopang diri sendiri dan keluarganya kelak. Nah, untuk menjadi berotot, butuh  waktu, dedikasi, dan privilege. Jadi, probabilitasnya cuma dua:

  1. Mereka punya passive income yang memungkinkan mereka fokus ngegym tanpa pusing cari nafkah.
  2. .. hidup mereka berkutat di dunia fitness, influencer wannabe, atau, jujur saja, hal-hal lain yang “lemah akhlak.”

Dan ya, kemungkinan besar yang kedua.

Saya pernah iseng swipe kanan ke salah satu modelan begini. Lalu dia bilang sesuatu yang bikin saya ngakak sekaligus mengelus dada: “Sebenarnya umurku 29, bukan 39. Salah ketik pas ngisi, tapi nggak bisa ganti.” Oke, saya masih mencoba maklum. Tapi kemudian dia bilang, “Saya pengangguran.” Oke, red flag mulai berkibar. Dan setelah saya tanya apakah dia ingin jadi bapak rumah tangga yang ngurus rumah, masak, atau mengasuh anak, jawabannya makin bikin ngelus dada: “Itu urusan perempuan.”

Oh, ya sudah. Ternyata, beauty privilege itu nggak cuma berlaku buat cewek cantik. Cowok ganteng berperut six-pack juga merasa berhak mendapat lebih, meski kontribusinya nol besar. Segera ku-unmatch, terima kasih.

Cowok Mapan yang Too Good To Be True

Tipe ini nggak ganteng-ganteng amat, tapi foto-fotonya memancarkan aura “sukses dan stabil.” Mereka pamer hobi, mobil atau motor keren, aktivitas kerja—biasanya di site project atau sambil laptopan ala workaholic produktif. Kadang ada juga foto liburan ke luar negeri yang bikin mereka terlihat seperti oase di gurun algoritma aplikasi kencan. Tambahkan fakta bahwa di profilnya mereka sering mengaku sudah punya anak, dan kesannya jadi seperti paket lengkap: mapan, dewasa, dan bertanggung jawab.

Tapi jangan terkecoh! Ini dia big red flag yang sering kali terselip di balik pencitraan tersebut: mereka cuma cari “teman” atau “short-term relationships.” Tipe cowok ini, setelah dicari tahu lebih jauh, sering kali masih punya istri. Dan meskipun cara bicaranya sopan banget, begitu dicecar, akhirnya mereka mengaku: ya, mereka masih beristri, tapi katanya cuma “mau cari teman” di sini. Ahem, teman macam apa? Kenapa nggak cari teman cowok aja? #helanapas

Inilah para gadun (gagah dungu?) yang beroperasi lewat aplikasi kencan, diam-diam mencari “mangsa” baru tanpa sepengetahuan istrinya. Profesi mereka beragam, mulai dari dokter, pilot, dosen, ASN di kementerian, pengusaha, sampai pekerja kantoran biasa. Dan mereka cukup pintar menutupi jejak digitalnya.

Jadi, buat para perempuan, ini tipsnya: coba cek HP pasangan kalian. Siapa tahu ada aplikasi kencan atau “pertemanan” yang sebenarnya cuma jadi kedok untuk gadun cari gendakan. Jangan cuma fokus ke Tinder, Bumble, atau Tantan—ada banyak aplikasi lain yang nggak terlalu terkenal tapi sering jadi tempat bermain mereka. Buat yang nemu laki-laki beginian, waspada adalah kunci, karena cowok “too good to be true” biasanya memang terlalu baik untuk jadi kenyataan, haha.

Cowok Bule Kere yang Santun, tapi Kayak Layangan Putus

Ini tipe yang menarik sekaligus bikin frustrasi. Entah kenapa, saya sering match dengan cowok-cowok bule begini. Mungkin karena tiga tipe sebelumnya bikin capek hati: tipe misterius nggak pernah saya swipe kanan, tipe gym bros dan cowok mapan “zonk” bikin malas. Nah, bule kere ini muncul sebagai variasi yang bikin penasaran. Tapi jelas, saya nggak asal swipe bule. Pilihannya yang seusia, punya banyak foto keliling Indonesia, dan asal negaranya jelas. Harapannya sih, siapa tahu ketemu bule yang vibe-nya kayak suaminya Maudy Koesnaedi atau Jessica Iskandar. Tapi niat awal saya sederhana: buat temenan aja.

Di awal, mereka biasanya sopan banget di teks—terlihat terdidik, atraktif. Tapi masalahnya, karena saya tinggal di Jogja, kebanyakan bule di sini cuma mampir untuk traveling, stay maksimal empat hari, lalu hilang entah ke mana. Nyari waktu buat ketemuan itu rasanya mission impossible. Mereka ini benar-benar kayak layangan putus—terbang ke segala arah tanpa arah dan kejelasan.

Dan ya, ternyata faktor struktural juga ikut main peran dalam urusan mencari jodoh.

Dari sekian banyak swipe dan match, saya cuma berhasil ketemu satu orang. Itu pun awalnya saya ragu-ragu. Di fotonya, dia kelihatan tinggi kekar, tapi teks Bahasa Inggrisnya sempurna banget, jadi saya pikir, “Oke, bisa dicoba.” Begitu ketemu? Plot twist, dong, gaes. Memang kekar, tapi ternyata lebih pendek dari saya! Dan… dia nggak bisa ngomong pake Bahasa Inggris! Dia ngechat pake app untuk translasi.

Si bule itu ternyata orang Brasil yang pernah lama tinggal di Italia dan sekarang berdomisili di Rusia. Katanya, dia di Jogja agak lama karena ada kerjaan di sini. “Wow,” pikir saya, “tumben ada bule yang stay lebih dari seminggu.” Tapi momen ini langsung dirusak oleh komentar dia tentang makanan Indonesia. Menurut dia, makanan kita nggak enak. Semuanya terlalu pedas. Yang paling enak, katanya, makanan Brasil. Dan ini yang bikin saya speechless: katanya pizza di Brasil lebih enak daripada pizza Italia, karena “di Brasil, pizza itu pakai cream cheese dan strawberry.”

Karena penasaran, saya cek Google, dan ternyata benar. Di Brasil, ada pizza dengan topping meses dan cookies. Aduh, model chauvinis begini mending balik aja ke Rusia, deh. Lama tinggal di Itali tapi dia bilang makanan Itali nggak enak itu sesuatu banget, sih. Jogja nggak butuh vibe kayak gitu.

Cowok Sok Culun tapi Judging dan Cringey Banget

Begini, ya. Setelah masuk usia tiga puluhan, saya makin sadar, bahwa kedewasaan itu sama sekali nggak ada hubungannya dengan umur. Cowok usia kepala empat bisa aja kelakuannya lebih childish daripada yang usia dua puluhan. Jadi, saya memutuskan untuk lebih terbuka dan swipe cowok-cowok di bawah 40. Cowok-cowok sok culun muncul dalam berbagai pose foto yang trendi, angle-nya jelas, dan terang. Ada yang full-body, half-body, close up dan selfie. Dari foto, keliatan normal, kan?

Tapi masalahnya, otak mereka ini kayak korsleting. Cowok-cowok ini sering banget nanya hal-hal yang udah jelas ada di profil saya. Kayak, “Kamu masih ada suami?” atau “Anakmu berapa?” Padahal, di bio saya sudah tertulis bahwa saya pernah menikah, punya anak, dan preferensi saya soal pasangan, seperti “non-smokers only.” Mungkin kemampuan memahami teks kurang, ya. Atau cuma basa-basi aja. Tapi masa sih ungkapan sesimpel itu nggak ngerti?

Setelah saya jawab, misalnya, “Saya sudah lama sendiri,” bukannya move on ke topik lain, mereka malah mulai nanya hal-hal yang bikin nggak nyaman. Biasanya pertanyaan mulai menjurus aneh, dan ketika saya bilang nggak mau jawab, ada yang paham dan berhenti, tapi kebanyakan malah langsung nge-judge. “Oh, pasti kamu begini ya… begitu yaa…”

Dan yang bikin makin cringey, ada juga yang malah tertarik nanya-nanya soal anak saya. Serem nggak, tuh? Pernah ada yang dengan santainya bilang, “Jadi, aku mau dijodohin sama kamu atau anakmu?” EXCUSE ME?! Langsung unmatch saat itu juga. Gilak, ya. Susah banget ketemu yang bisa diajak ngomong lempeng tanpa drama, atau bikin saya jadi objek weird fantasy mereka.

Pfff. Jadi begitulah, gaes. Kalau dari pengalaman pribadi saya, rasanya saya selalu berusaha menunjukkan sisi feminin di foto-foto maupun informasi yang saya bagikan di aplikasi. Tapi dari pihak laki-laki, yang sering muncul justru maskulinitas yang toksik, rapuh, dan narsisistik. Mereka selalu berupaya memposisikan perempuan dalam posisi inferior—dijadikan gendakan, di-judge tanpa alasan, atau sekadar diperlakukan sebagai objek kesenangan belaka.

Jujur, ini menyedihkan banget. Nggak heran kalau makin banyak perempuan di Indonesia yang enggan menikah. Bukan cuma soal faktor ekonomi, tapi menemukan pasangan yang berkualitas, yang benar-benar setara secara intelektual, emosional, dan sosial, itu rasanya seperti mencari jarum di tumpukan jerami.

===

Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

cropped-rf-logo-done-rumah-filsafat-2-1.png

Dipublikasikan oleh

avatar Tidak diketahui

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Kesadaran, Agama dan Politik. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023), Zendemik (2024), Teori Politik Progresif Inklusif (2024), Kesadaran, Agama dan Politik (2024) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.