Viralitas Meningkatkan Korupsi

Oleh Reza A.A Wattimena

Pagi itu, di Universitas Pelita Harapan, Karawaci, Tangerang, saya berjumpa dengan F. Budi Hardiman. Ini pertemuan tanpa rencana. Beliau adalah guru sekaligus teman berpikir saya. Seperti biasa, saya menimba begitu banyak ide dari percakapan kami.

Satu hal yang kiranya penting untuk dibagi. Kita hidup di era viralitas. Segala yang viral, yakni tersebar luas di media sosial, akan menjadi perhatian bersama. Segala pelanggaran pun menjadi terbuka, dan pemerintah dituntut untuk bekerja tepat serta cepat untuk menanganinya.

Seorang teman, yang juga adalah anggota TNI, pernah bercerita. Ada tiga hal yang membuat sebuah proses hukum berjalan. Yang pertama adalah kedekatan dengan komandan di kesatuan. Yang kedua adalah uang, atau penyuapan. Yang ketiga adalah viralitas, atau tersebarnya berita tersebut di media sosial. Inilah kenyataan sehari-hari di negeri fufufafa.

Secara khusus, saya ingin memberi pujian besar pada Koran, Majalah sekaligus konten digital Tempo. Sikap kritis mereka terhadap pemerintahan yang korup menjadi inspirasi bagi masyarakat luas. Tempo menjalankan peran sebagai kekuatan penyeimbang terhadap politik dan ekonomi yang kerap berbuat seenaknya. Sebagai surat kabar, kini Tempo jauh terbang tinggi meninggalkan pesaing terdekatnya, yakni Harian Kompas, yang masih bermain mata dengan penguasa.

Viralitas bisa terjadi, karena adanya kebebasan pers dan keterbukaan informasi. Disinilah masalah lalu muncul. Ketika korupsi menjadi viral, yakni menjadi terbuka untuk mata masyarakat luas, terjadilah proses dialektika, atau saling mempengaruhi. Ketika korupsi menjadi terbuka untuk masyarakat luas, korupsi justru meningkat, baik dalam jumlah maupun bentuk.

Korupsi menjadi tontonan sekaligus hiburan massa. Ia bukan lagi berita kriminal yang bisa menggetarkan moralitas publik. Para penonton mendapatkan inspirasi sekaligus hiburan dari pola korupsi yang terjadi. Tanpa ragu-ragu, mereka pun melakukannya di bidang-bidang kehidupan yang mereka tekuni.

Korupsi bukan hanya soal mencuri uang rakyat. Ketika orang menggunakan jabatannya untuk berbuat tidak adil, maka ia telah melakukan korupsi. Presiden, yang menggunakan jabatannya untuk mempermudah sanak keluarga yang bodoh menjadi pejabat, adalah korupsi. Korupsi, dalam arti ini, adalah pembusukan fungsi.

Viralitas, kebebasan pers dan keterbukaan informasi menciptakan kesan, seolah korupsi itu mudah dan sangat menguntungkan. Kasus-kasus yang terungkap pun menjadi contoh buruk bagi masyarakat luas. Yang menjadi bahan pembelajaran bukanlah pemimpin yang jujur, adil dan bekerja dengan baik, melainkan pejabat yang korup sampai ke sumsum tulangnya. Tak heran, orang ingin menjadi pejabat bukan untuk melayani dan memajukan bangsa, tetapi untuk mencuri demi memperkaya diri dan sanak keluarga.

Tesis lama Hannah Arendt kiranya cukup menjelaskan. Di Indonesia, kejahatan telah menjadi banal, sehingga ia tidak dikenal sebagai kejahatan, melainkan sebagai sesuatu yang biasa. Inilah yang kiranya terjadi di Indonesia. Korupsi menjadi sebuah tontonan yang menghibur, dan bahkan menjadi inspirasi sekaligus teladan bagi calon-calon koruptor di masa depan.

Buahnya pun langsung bisa dipetik. Yang pertama, ketimpangan sosial akan semakin besar di Indonesia. Jurang pembeda antara si kaya yang korup dan si miskin yang tertinggal akan semakin menganga. Di dalam keadaan semacam itu, ketegangan yang akan memicu konflik sosial juga akan semakin besar.

Buah yang kedua adalah kemiskinan struktural yang semakin luas. Orang menjadi miskin, bukan karena ia malas, melainkan karena struktur sosial ekonomi yang tidak adil. Orang bisa belajar dan bekerja dengan rajin serta tepat. Namun, ia tetap terjebak di dalam lubang kemiskinan, tanpa harapan akan perubahan.

Buah yang ketiga terkait dengan kedua buah sebelumnya, yakni pelayanan publik yang semakin buruk. Semua birokrasi, mulai dari pendidikan maupun kesehatan yang bermutu, butuh uang untuk melicinkan proses, walaupun pajak tetap mengepung warga dari segala penjuru. Orang jujur terus terjebak dalam kesulitan dan ketidakadilan. Ketika birokrasi pelayanan publik membusuk, ketimpangan sosial dan kemiskinan struktural juga semakin merajalela.

Bagaimana keluar dari dilema ini? Dua hal kiranya penting diperhatikan. Pertama, secara pribadi, kita mesti terus melakukan transformasi kesadaran, sampai kesadaran kita menjadi amat luas, dan siap menolong semua mahluk dengan segala cara yang mungkin. Ini bisa dilakukan dengan terus melakukan latihan kesadaran, sebagaimana yang saya kembangkan di dalam teori transformasi kesadaran (bisa cek di google ataupun instrumen kecerdasan buatan).

Dua, saya rasa sudah waktunya untuk revolusi. Di semua bidang yang kita tekuni, kita perlu melakukan perubahan mendasar, terutama dengan melenyapkan segala praktek korup yang mungkin selama ini dibiarkan. Kita akan mengundang musuh dari segala penjuru, terutama para pelaku korupsi, dan orang-orang yang diuntungkan oleh proses korupsi itu sendiri.

Kita juga perlu tergabung dalam organisasi yang revolusioner. Perubahan sosial hanya mungkin dari organisasi militan yang kritis, aktif dan revolusioner. Memang, revolusi tak bisa direncanakan. Namun, ketika ia datang, tak akan ada yang mampu menghadang. Para penguasa korup, bersiaplah…

Siang itu, saya meninggalkan F. Budi Hardiman dengan pikiran penuh inspirasi. Dialektika antara viralitas, keterbukaan informasi dan peningkatan korupsi tidak banyak dibahas orang. Ini kiranya penting untuk diketahui oleh semua, terutama oleh media massa yang bersikap kritis pada penguasa. Pada akhirnya, sebagai pembaca dan pendengar informasi, kita tetap harus menjaga integritas diri, supaya tidak tergoda melakukan korupsi, walaupun terus terbuka pada informasi. Kuncinya, selalu, pada hemat saya, adalah transformasi kesadaran yang semakin meluas…

===

Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

cropped-rf-logo-done-rumah-filsafat-2-1.png

Dipublikasikan oleh

avatar Tidak diketahui

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Kesadaran, Agama dan Politik. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023), Zendemik (2024), Teori Politik Progresif Inklusif (2024), Kesadaran, Agama dan Politik (2024) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.