Membangun Masyarakat yang Layak

surreal-meets-aI-1024x640

Oleh Dhimas Anugrah, Pendiri dan Direktur Eksekutif CIRCLES Indonesia

Di era digital ini, makna komunikasi mengalami pergeseran yang serius. Kata-kata tidak lagi sekadar alat penyampai informasi, melainkan telah berinkarnasi menjadi senjata yang efektif melukai martabat manusia secara mendalam. Ujaran kebencian dan penghinaan yang marak di Indonesia, khususnya di platform media sosial, mencerminkan lebih dari sekadar fenomena komunikasi yang buruk: ia adalah gejala erosi nilai etika publik yang mengancam keharmonisan sosial.

Fenomena ujaran kebencian, baik dalam bentuk penghinaan personal maupun serangan berbasis identitas agama, ras, atau afiliasi politik, menandakan adanya krisis mendalam dalam cara masyarakat memandang dan menghargai sesama manusia. Ketika ruang digital yang seharusnya menjadi wadah dialog berubah menjadi arena penghinaan, martabat manusia menjadi taruhannya. Tentu, ini tidak sekadar masalah degradasi cara berbahasa, tetapi juga krisis dalam pemahaman nilai kemanusiaan yang selayaknya menjadi fondasi bagi tatanan sosial yang sehat.

Meratapi Erosi Etika Publik

Maraknya ujaran kebencian menandakan persoalan mendasar dalam struktur etis masyarakat. Jika martabat manusia dapat dilukai hanya dengan kata-kata yang merendahkan, jelas ada krisis dalam cara kita memandang sesama. Di sinilah konsep filsafat Avishai Margalit tentang masyarakat yang layak menjadi relevan. Dalam bukunya “The Decent Society” (1996), Margalit menegaskan, bahwa masyarakat yang layak bukan hanya diukur dari kesejahteraan ekonomi atau stabilitas politik, melainkan dari bagaimana anggotanya saling memperlakukan dengan menghargai martabat kemanusiaan.

Margalit mendefinisikan masyarakat yang layak sebagai komunitas yang tidak mempermalukan atau merendahkan anggotanya, terutama mereka yang paling rentan. Penghinaan, baik dalam bentuk ujaran maupun tindakan diskriminatif, merupakan kekerasan simbolik yang merusak kohesi sosial. Dalam konteks Indonesia, ujaran kebencian berbasis identitas mencerminkan penghinaan sistemik yang memperdalam eksklusi sosial dan polarisasi.

Lebih jauh, Margalit membedakan antara masyarakat sipil (civil society) yang diatur oleh keadilan hukum dan masyarakat layak (decent society) yang menolak tindakan yang merendahkan martabat seseorang. Prinsip ini menegaskan, bahwa penghormatan terhadap martabat manusia perlu menjadi landasan moral, bukan sekadar kepatuhan pada regulasi formal.

Konsep ini memperlihatkan betapa ujaran kebencian berbahaya pada jangka panjang. Ia tidak hanya menciptakan luka psikologis, tetapi juga membentuk hierarki sosial yang tidak adil. Dalam masyarakat yang layak, ketidaksetaraan struktural yang memungkinkan penghinaan perlu ditangani melalui perubahan budaya yang mendorong empati, penghargaan atas keberagaman, dan penolakan terhadap narasi diskriminatif dalam semua aspek kehidupan sosial, termasuk media, pendidikan, dan kebijakan publik.

Dalam isu yang sama, pemikir Emmanuel Levinas menawarkan perspektif mendalam mengenai tanggung jawab etis dalam berinteraksi dengan sesama. Konsep wajah (face) dalam pemikiran Levinas adalah simbol kehadiran etis yang mengundang penghormatan dan tanggung jawab moral. Wajah bukan sekadar penanda fisik, melainkan panggilan untuk mengakui kemanusiaan yang sama pada setiap individu.

Dalam konteks ujaran kebencian, konsep “wajah” ini menjadi relevan. Ujaran kebencian pada dasarnya adalah penolakan untuk mengakui wajah orang lain sebagai subjek yang setara. Ketika seseorang dihina, baik secara fisik maupun digital, penghinaan tersebut menghapus pengakuan atas wajahnya sebagai makhluk bermartabat, menjadikannya sekadar obyek yang dapat direndahkan.

Levinas menegaskan, menghargai “wajah” berarti menolak segala bentuk kekerasan simbolik, termasuk penghinaan verbal. Namun, dalam budaya digital saat ini, wajah sering kali tersamarkan di balik anonimitas, sehingga memungkinkan tindakan merendahkan martabat tanpa konsekuensi langsung. Tantangan etika publik di era digital bukan hanya tentang regulasi formal, tetapi juga kesadaran moral bahwa setiap individu, meskipun di balik layar, tetap memiliki wajah yang layak dihargai.

Fenomena di Indonesia

Fenomena ujaran kebencian di Indonesia tercermin dalam berbagai peristiwa nyata yang memperlihatkan dampak buruk penghinaan terhadap kohesi sosial. Kasus penghinaan terhadap kelompok agama tertentu yang viral di media sosial, misalnya, kerap berujung pada konflik horizontal di dunia nyata.

Pada Pemilu 2024, ujaran kebencian berbasis politik semakin memperdalam polarisasi antara kelompok pendukung yang berlawanan. Begitu pula pada masa kampanye Pilkada di tahun yang sama, ujaran kebencian terhadap kelompok minoritas meningkat tajam, terutama melalui platform seperti TikTok. Laporan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menunjukkan bahwa 18,15% video terkait Pilkada yang dipantau mengandung ujaran kebencian.

Ujaran kebencian yang terjadi dalam konteks sosial-politik sering kali dipicu oleh konstruksi identitas yang eksklusif. Ketika seseorang merasa kelompoknya lebih superior, narasi penghinaan digunakan untuk mempertahankan dominasi. Fenomena ini diperparah dengan kehadiran buzzer politik yang secara terstruktur menyebarluaskan narasi kebencian untuk menggalang dukungan politik. Hal ini menunjukkan, bahwa ujaran kebencian bukan hanya fenomena individual, tetapi mencerminkan persoalan struktural yang membutuhkan pendekatan menyeluruh.

Menata Ulang Etika Publik

Mengatasi ujaran kebencian tidak dapat hanya mengandalkan regulasi formal. Margalit dan Levinas menekankan, bahwa penghinaan terhadap martabat manusia adalah pelanggaran etis yang membutuhkan perbaikan nilai budaya dan moral masyarakat. Pendidikan etika publik perlu diterapkan sejak dini dengan memasukkan kurikulum yang menekankan penghargaan terhadap martabat manusia dan bahaya ujaran kebencian.

Literasi digital yang mempromosikan tanggung jawab dalam berkomunikasi secara etis di media sosial harus diperkuat, terutama bagi generasi muda yang tumbuh dalam lingkungan digital. Reformasi kebijakan yang mengatur ujaran kebencian harus diimbangi dengan program edukasi publik yang mengutamakan pencegahan daripada hanya menitikberatkan pada penindakan hukum.

Membangun masyarakat yang beradab berarti menciptakan ruang publik yang menjunjung tinggi martabat manusia. Mengacu pada pemikiran Margalit dan Levinas, masyarakat yang layak bukan hanya yang bebas dari penindasan fisik, tetapi yang melindungi anggotanya dari penghinaan simbolik dan kekerasan verbal. Dengan memperkuat pendidikan etika, literasi digital, dan kebijakan yang berbasis penghargaan terhadap martabat manusia, masyarakat yang benar-benar beradab dapat terwujud. Hanya dengan cara ini, kita dapat menciptakan ruang sosial yang aman, harmonis, serta mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab.

===

Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

cropped-rf-logo-done-rumah-filsafat-2-1.png

Dipublikasikan oleh

avatar Tidak diketahui

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Kesadaran, Agama dan Politik. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023), Zendemik (2024), Teori Politik Progresif Inklusif (2024), Kesadaran, Agama dan Politik (2024) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.