
Oleh Reza A.A Wattimena
Dua minggu ini, badan saya sedang sakit. Pegal terasa di bahu dan pinggang. Mungkin, karena saya terlalu lama berkendara motor. Mungkin juga, saya terlalu lama bekerja di depan komputer.
Tidak hanya itu, emosi pun menjadi gampang tersulut. Sumbu emosi terasa semakin pendek. Hal-hal kecil kerap membuat emosi saya naik. Beberapa kali, saya terlibat konflik dengan orang lain.
Badan saya juga selalu merasa lelah. Berat untuk melakukan kegiatan yang biasa dilakukan. Apalagi, masa liburan dan cuaca hujan membuat saya begitu nyaman di rumah. Saya merasa jadi kurang hidup.
Ternyata, saya mengalami flu. Hidung mampet dan tenggorokan terasa gatal. Tidak ada demam. Namun, saya merasa, ada hal lain yang terjadi.
Saya mencoba hening, dan mengamati batin saya. Satu hal menarik yang saya temukan. Ternyata, saya mengalami overdosis Zen. Saya terlalu banyak membaca, mendengar kuliah, berdiskusi dan berpikir soal Zen secara khusus, maupun Dharma sebagai ajaran pembebasan secara umum.
Zen dan Dharma adalah obat untuk derita manusia. Namun, dalam kadar yang berlebih, obat pun menjadi racun. Dalam kadar yang berlebih, Zen dan Dharma justru menjadi sumber derita. Mereka tidak lagi membebaskan, melainkan memenjara batin manusia.
Butuh waktu cukup lama bagi saya untuk sadar soal hal ini. Seperti banyak orang, saya terkesima dengan Zen. Saya mendalaminya, menerapkannya dan, akhirnya, kecanduan. Akhirnya, Zen pun justru menjadi obyek kelekatan baru yang menghasilkan penat serta derita.
Memang, Zen yang sejati adalah melepas Zen itu sendiri. Kebenaran itu berada sebelum konsep dan bahasa. Seringkali, konsep dan bahasa bisa mengantar kita pada kebenaran yang menyelamatkan. Namun, sebaliknya juga kerap terjadi: bahasa dan konsep menghalangi kita mencapai kebenaran, serta justru menjadi penjara bagi batin kita.
Begitu pula Dharma yang sejati tidak terjebak pada konsep dan bahasa. Kata Dharma pun harus dilepas, supaya orang bisa merasakan Dharma yang sesungguhnya. Jika tidak, ia juga akan mengalami overdosis Dharma. Ajaran pembebasan tidak hanya akan menjadi penjara, tetapi justru bisa mendorong perilaku kekerasan.
Lalu, kita mesti bagaimana? Cukup menjadi pribadi yang terbuka, yakni terbuka terhadap segala bentuk pikiran dan perasaan yang ada. Cukup menjadi pribadi yang kosong, yakni kosong dari dorongan untuk memahami dan menamai sesuatu secara konseptual. Juga cukup menjadi pribadi yang sadar, yakni tahu atas apa yang sedang terjadi disini dan saat ini, cukup tahu.
Pribadi yang terbuka, kosong dan sadar ini adalah ciri dasar kehidupan. Kita menjadi sepenuhnya hidup. Kita tidak lagi tenggelam di dalam ingatan, pikiran dan perasaan yang sementara. Melepas Zen dan Dharma, saya justru mengalami Zen yang sebenarnya. Ada kesadaran, kelegaan dan kejernihan yang terasa.
Untuk renungan kecil, coba jawab pertanyaan sederhana ini:
Pikiran dan perasaan itu sementara, lalu dari mana ia datang, dan kemana ia akan pergi? (Jangan jawab secara konseptual. Rasakan jawabannya!)
===
Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/
