Hantu Feodalisme di Jantung Republik

feudcap6

Oleh Reza A.A Wattimena

Soekarno, sang proklamator dan presiden pertama Republik Indonesia, jelas adalah orang hebat. Pemikiran dan sepak terjangnya membawa bangsa ini keluar dari cengkraman penjajahan. Namun, ia bukan Tuhan ataupun dewa. Ia tidak layak dipuja, tanpa setitik sikap kritis.

Sebagai manusia biasa, Soekarno jatuh ke dalam godaan kekuasaan. Ia menjadi tiran yang ingin berkuasa secara mutlak. Inilah kiranya godaan kekuasaan yang begitu mempesona. Hanya sedikit yang mampu lolos darinya.

Hantu Feodalisme

Di abad 21, kita melihat pola serupa. Pemimpin yang terpilih lewat prosedur demokratis berubah menjadi tiran yang bersikap sewenang-wenang. Hukum dipermainkan demi kepentingan diri dan keluarganya. Sementara, rakyat tetap hidup dalam kebodohan serta kemiskinan yang mencekik.

Partai-partai, yang mengaku demokratis, sama sekali tidak mencerminkan mental demokratis. Sebaliknya, feodalisme berakar kuat di dalamnya. Sikap menjilat, dan menuhankan ketua umum, menjadi penyakit sistemik yang mematikan partai-partai ini. Tak ada kemajuan berarti dari mereka di dalam mewujudkan keadilan serta kemakmuran untuk Indonesia sebagai keseluruhan.

Hantu feodalisme memang berakar dalam di jantung republik kita. Ia seperti bayang-bayang yang terus menempel dan mengikuti perkembangan bangsa ini. Karena begitu dalam tertanam, ia tidak lagi dirasakan sebagai sesuatu yang salah, tetapi semata sebagai sesuatu yang wajar. Kita menghirup racun yang mematikan, namun melihatnya semata sebagai udara yang wajar.

Anatomi Feodalisme

Secara mendasar, feodalisme adalah kecintaan berlebihan pada gelar dan jabatan yang dianggap tinggi di dalam masyarakat. Orang melekatkan kebahagiaan dan kehormatan hidup dengan jabatan maupun gelar tersebut. Ketika memegang jabatan, ia merasa menjadi penguasa yang bisa bersikap seenaknya. Ketika menjadi bawahan, ia siap menjilat dan tunduk patuh secara buta pada atasan, demi kelancaran karirnya.

Feodalisme membunuh akal sehat. Tidak hanya itu, feodalisme membunuh hati nurani. Seluruh tata hidup bersama menjadi korup, alias membusuk. Inilah yang kiranya terjadi di Indonesia sekarang ini.

Feodalisme membunuh kemungkinan kemajuan. Tak ada kemajuan ekonomi. Tak ada kemajuan di dalam politik. Keadilan tidak ditemukan di dua bidang kehidupan mendasar tersebut.

Alih-alih kemajuan, masalah yang justru muncul. Partai politik menjadi organisasi busuk yang menipu rakyat. Penegak hukum justru menjadi pelanggar hukum yang paling ganas. Di balik semua masalah tersebut, hantu feodalisme mencekik dan meremas remuk jantung republik ini.

Feodalisme juga pelestari kebodohan. Sikap kritis dibunuh atas nama kepatuhan buta. Pertanyaan dilibas atas nama stabilitas. Tidak hanya tubuh yang ditutupi dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan seragam, pikiran pun juga dipasung, sehingga terus menjadi buntung.

Buahnya adalah kemiskinan. Kebutuhan dasar sulit dipenuhi. Di negara yang kaya raya ini, mayoritas warganya hidup dalam cekikan kemiskinan. Data angka statistik bisa menipu untuk menghibur hati para pemimpin korup. Namun, mata kepala melihat langsung cekikan kemiskinan serta ketimpangan yang merusak nurani, dan jauh dari akal sehat.

Ragam Feodalisme

Feodalisme jelas menusuk jantung partai-partai politik Indonesia. Seperti sudah sedikit disinggung sebelumnya, partai-partai politik menuhankan ketua umumnya. Seolah, kata-kata mereka adalah aliran kebenaran mutlak. Inilah salah kaprah yang berbuah pada pembusukan politik sampai ke akarnya.

Politik selalu berpaut dengan ekonomi. Ketika politik menjadi busuk, karena tikaman feodalisme, ekonomi pun turut serta membusuk. Pemilik modal menjadi tuhan-tuhan yang dijilat dan disembah. Nyawa manusia tak bernilai di hadapan kuasa yang menuhankan uang di atas segalanya.

Dengan mental feodal yang tak kalah busuknya, agama menjadi pembenar semua keadaan ini. Seolah, kebusukan adalah kehendak dari sang pencipta. Seolah, surga hanya bisa diperoleh nanti, setelah hidup yang penuh nestapa itu mencapai akhirnya. Agama kehilangan daya pembebasnya, dan ikut menikmati keuntungan dari berbagai kebobrokan yang ada.

Indonesia adalah bangsa feodal. Itulah alasan dasar kegagalannya mewujudkan keadilan dan kemakmuran untuk seluruh warganya. Sikap mengejar jabatan dan gelar, demi memuaskan hasrat kerakusan, telah merusak sendi-sendi hidup bersama. Sikap gila hormat, dan menjilat yang berkuasa, membunuh nurani serta akal sehat bangsa.

Melampaui Feodalisme

Ada empat hal kiranya yang bisa dilakukan. Pertama, kita mesti peka pada pola-pola feodalistik di sekitar kita. Tata nilai diwariskan dari keluarga, lalu menyebar ke masyarakat luas. Ketika feodalisme di dalam keluarga dibongkar, langkah perbaikan bisa dimulai.

Dua, kita harus bergerak dari pemahaman sederhana, bahwa semua mahluk hidup memiliki kedudukan yang setara. Tidak ada manusia yang lebih mulia. Tidak ada mahluk yang lebih berkuasa. Di hadapan keluasan semesta ini, kita, dengan segala yang ada, adalah satu dan sama. Dengan menghidupi pemahaman ini, feodalisme pun rontok secara alami.

Tiga, senjata paling ampuh melawan feodalisme adalah filsafat. Dengan pengembangan akal sehat dan sikap kritis, pola pikir dan praktek-praktek feodal bisa dibongkar. Kebusukan yang diselubungi slogan-slogan moralis agamis lalu bisa ditelanjangi. Kemunafikan pun menjadi jelas, dan langsung bisa dihantam sampai ke akarnya.

Empat, dan mungkin yang terpenting, kita mesti melakukan tranformasi kesadaran. Feodalisme berakar pada kesadaran dualistik-distingtif yang meruncing tajam, sehingga menciptakan ilusi yang berakar pada kebodohan, atau kesalahan berpikir. Lebih jauh bisa lihat buku berikut: Kesadaran. Dengan melakukan tranformasi kesadaran ke tingkat yang lebih tinggi, feodalisme juga lenyap bersama dengan kebijaksanaan yang muncul di dalam hati.

Hantu feodalisme memang telah menikam republik kita. Inilah akar dari semua masalah serta krisis yang terjadi. Namun, ini bukanlah takdir yang tak bisa diubah. Sang hantu bisa diusir dengan daya penerang akal sehat serta tingkat kesadaran yang meluas.

Jangan ditunda lagi…

===

Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

cropped-rf-logo-done-rumah-filsafat-2-1.png

Dipublikasikan oleh

avatar Tidak diketahui

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Kesadaran, Agama dan Politik. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023), Zendemik (2024), Teori Politik Progresif Inklusif (2024), Kesadaran, Agama dan Politik (2024) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.